Selasa, 11 Maret 2014

SANG PEREMPUAN GILA



  
Sekali lagi perempuan itu kutatap dengan iba. Selalu saja terduduk di bawah pohon sono yang bahkan ranting-rantingnya telah dijemput kematian, kering, tak kuasa tuk hidup kembali.

Sang perempuan tetap dengan baju putih kucel yang sama dengan bulan-bulan lalu. Bercakap diam bersama sang hening yang merajut sunyi di antara keduanya. Sesekali tertawa, sesekali bisu. Berkali-kali terkekeh ringan dengan pandangan yang seperti hendak menyibak lalu lalang kendaraan di jalanan yang tak pernah lengang.

Aku terkesima seketika. Apa karena terlalu sering memperhatikan keberadaannya, atau karena memang mataku yang tengah sigap memandang perutnya. Lihatlah itu, dia mulai membuncit. Siapakah gerangan yang telah tak senonoh tega mencabuli perempuan gila di ujung lampu merah?

Ah, hatiku sakit. Bagai terhunjam beribu-ribu parang tajam. Setega itukah mereka, lelaki itu?

***

Ini sudah hari ketujuh. Pikiranku masih terus berpusat pada perut buncit sang perempuan gila. Bahkan sudah tiga hari ini tak tampak dia di tempat duduknya.

Lalu ke manakah? Entah..

“Bunda kenapa? Kok akhir-akhir ini sering melamun?”

Suamiku datang menghampiri kesendirianku. Kutatap dia lemah.

“Bunda memikirkan perempuan itu lagi?”

Aku mengangguk, “dia menghilang.”

“Menghilang bagaimana? Ah, mungkin saja dia berpindah tempat nongkrong. Bukankah berjalan itu sudah kebiasaannya.”

“Tidak. Seharusnya setiap pagi saat aku berangkat kerja, perempuan itu selalu ada di sana.”

Suami mengangkat bahunya tinggi-tinggi.

Kuhela nafas satu hembusan, “sepertinya dia sedang hamil.”

“Ah, masa!” mata suamiku memelotot tajam, seakan tak percaya benar dengan ucapanku.

“Siapa yang mau meniduri perempuan kotor seperti itu?”

“Entahlah, Yah. Jika memang ada dan nyata, justru yang kupikirkan selama ini adalah, bagaimana dia bisa setega itu?” tanyaku, dan tentu saja takkan mampu dijawab oleh suami.

Iya, bukankah manusia itu makhluk paling beradab? Tapi lihatlah ini, pada kenyataannya, manusia tega memangsa manusia lain.

Mereka ibarat setan, iblis di atas iblis. Limbung, jika tanpa agama di jiwa kotor mereka...

***

Hari kesebelas, perempuan gila itu kembali menduduki singgasananya. Aku bernafas lega.

Namun sedikit mataku terusik kembali dengan penampakannya yang semakin bersih. Iya, bersih dan lebih terawat dari terakhir kali aku menjumpainya.

Rambutnya tidak gimbal, malah lembut terurai, jatuh mengombak. Kulitnya yang telah melegam dibakar matahari, tampak licin mengkilap. Lalu baju putih kumalnya musnah, berganti daster bunga berwarna biru cerah.

Siapakah gerangan yang telah merawatnya?

Jika itu adalah sosok manusia yang berhati besar, mau mempercantik sang perempuan yang hidup terluntah di jalan dengan pikirannya yang kosong, lalu, mengapa dilepaskan kembali?

Pertanyaan-pertanyaan itu tercekat di hatiku. Ada suatu kejanggalan tersungging di sana.

***

Semangkok bakso hampir bersih karena kulahap isinya. Ini adalah jam istirahat para karyawan. Semua tengah asyik bercengkrama dengan rekan sejawat. Namun tidak denganku, yang justru lebih tertarik dengan sosok perempuan yang berdiri menyendiri di samping pohon pinang, tak jauh dari tempat kami makan.

“Kau lihat perempuan itu, Sus. Sebentar lagi dia akan melahirkan.” Pak Sarip si tukang mie ayam tiba-tiba membisikkan kalimat di sampingku.

Memang benar, perutnya yang membuntal itu semakin besar. Sudah hampir menetas.

Mesak’e, kuwi kerjaannya si tukang-tukang becak iku, Dek Sus.” Kali ini Pak Darwan yang menyelah. Lelaki empatpuluh tahun itu sepertinya paham benar dengan kisah pahit sang perempuan.

“Gitu kok tega yo, Pak? Kasihan,” jawabku.

Ngunu kuwi dudu manungso, Dek Sus. Mereka binatang.”

Benar, manusia berhati binatang tepatnya.

Ah, wahai engkau perempuan gila, ke arah manakah kelak jabang bayimu itu kau bawa? Apakah masih ada sanak saudara yang memperdulikan setiap jengkal hidup matimu? Ataukah mereka tengah berpura buta, apa memang hatinya telah mati rasa padamu?

Begitulah. Pikiranku hanya bisa kembali mendarat pada kata entah. Hanya bisa mendecap doa setiap kali bersujud pada kaki-Nya, agar kebaikan datang kepadamu, hai perempuan gila.

***

Aku ingin menjadi burung kenari yang terbang menjajah sang bumi. Menghilangkan derita gila yang mencekik leherku...

Atau menjadi senja kesumba yang menggagahi alam. Datang tanpa suara, pun pergi tanpa sisa, dilumat gulita malam yang hitam pekat...

Bisa juga kuharap berubah menjelma reranting pohon, bergelantungan tanpa arti. Menjadi dedaunan rimbun, atau mungkin kelopak bunga sono yang kuning kecil-kecil, jatuh diterbangkan angin, melepaskan segala sengguk pada kuasa-Nya...

Apakah kau ijinkan, wahai Tuhan, kepada perempuan yang dianggap gila ini?

Hah, padahal aku tak pernah jatuh pada kegilaan. Hanya sedang mengembara pada duniaku sendiri. Dan mereka tidak pernah tahu tentang ciak miak alam pikiranku yang telah bertingkat-tingkat lebih tinggi dari peradaban mereka...



Nda, 110314

( salah satu cerpen dalam buku antologi yang sedang saya godok dengan hati, Bismillah...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar