Rabu, 08 Maret 2017

KOTAK YANG JATUH DARI RUMAH TUHAN


SEBUAH kotak tiba-tiba menghantam kepala saya. Darah mengintip, ingin tahu siapa yang telah mengundangnya keluar. Saya lalu ingat pada pengampunan Tuhan. Di saat saya lelah, saya baru akan ingat Tuhan. Hei, mungkin saja kotak itu dikirim oleh Tuhan. Dia sengaja mengetuk kepala saya agar saya ingat pada-Nya.

Itu kotak yang jatuh dari rumah Tuhan!

Kotak itu berwarna putih. Bahkan lebih putih dari warna putih yang pernah saya tahu. Sisi-sisinya seperti diukir seseorangatau mungkin diukir oleh Tuhan?membentuk lekukan-lekukan yang tak mampu saya pahami. Bisa jadi itu bahasa Tuhan, saya berpikir demikian. Satu dari diri saya mengatakan bahwa kotak itu akan membawa berkah buat kehidupan saya yang sudah lama hilang. Tuhan mungkin telah mengingat nama saya.

Sebenarnya masih banyak yang mengingat tentang saya. Orang-orang yang memberi saya lemparan koin terbaiknya saat melintasi tubuh sayalah yang masih selalu mengingat saya. Koin-koin tanpa nilai bagi mereka, tapi setumpukan koin bisa mengenyangkan perut saya yang mengkerut seperti otak-otak dewan di gedung DPR.

Saya dan malam adalah sepasang kekasih. Pagi begitu membenci saya, sedangkan siang adalah sahabat yang durhaka pada saya.

Malam paling tahu, paling paham bahasa saya. Dia akan menyelimuti saya dengan kegigilannya. Malam sengaja menghadirkan kunang-kunang atau sekumpulan bintang sebagai penghibur saya. Malam juga menggandeng angin untuk membelai anak-anak rambut saya, lalu saya akan tertidur pada pangkuannya. Tapi malam tak akan menghadirkan perempuan, ia pecemburu yang handal.

Pagi selalu mencaci saya, padahal saya masih ingin melayang-layang, atau bergelantungan, atau melompat-lompat dalam mimpi saya. Pagi terlalu bising untuk saya jadikan seorang kekasih. Suaranya begitu pikuk. Mulutnya bau busuk. Teriakan pagi lebih lantang daripada teriakan para tukang demo yang hanya bisa tuntut sana tuntut sini, membuat pagi semakin marah kepada saya, menghina saya, lalu menendang-nendang punggung saya.

Bangun kau laki-laki pemalas! Kerja dan hangatkan tubuh anak-anakmu!

Jangan bermain dengan kelaminmu di sini, dasar bodoh!

Bisakah kau hilangkan wajahmu? Aku muak melihatnya!

Siang hampir sama jahatnya dengan pagi. Siang lebih sombong. Wajahnya lebih garang. Bau mulutnya lebih busuk. Siang telah mengkhianati saya. Setiap saya membuka mata, siang pasti akan meludahi mata saya, lalu tertawa-tawa. Seperti bangga karena telah berhasil ludahi mata saya.

Padahal siang pernah pecah, dulu. Saya menemukannya tercecer begitu saja di jalanan, ketika kemarau belum beranjak dari tidurnya. Orang-orang tak peduli jika siang telah pecah. Mereka menginjaknya. Bayangan-bayangan berlari, menangisi siang yang pecah. Saya mungkin bodoh, tapi saya iba melihat siang telah pecah. Saya kumpulkan puing-puing siang, lalu menimangnya dalam pangkuan, menyanyikan lagu paling indah yang pernah saya dengar. Siang melompat-lompat. Dia kembali utuh, lalu terbang. Berterima kasih pada saya. Mengatakan bahwa saya manusia paling baik, walaupun saya yang terbodoh di antara mereka. Sejak itu siang bersahabat dengan saya.

Suatu hari, kemarau bangkit dari tidurnya. Ia melenggak-lenggok gemulai. Siang menjadi tak acuh lagi pada saya. Dia lebih asyik berkelamin dengan kemarau. Saya patah hati. Saat itulah malam memeluk punggung saya yang sedang sedih.

Tenanglah, saya ada bersamamu.

Dan malam benar-benar ada bersama saya, hingga kini.

Kotak putih itu masih ada di depan saya. Satu dari diri saya mengajak tangan saya untuk mengambilnya. Tetapi satu dari saya yang lain melarangnya. Ia takut, kotak itu akan meledak seperti bom yang pernah meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Lalu satu dari diri saya yang mengajak tangan saya mengambil kotak itu tetap mengajak tangan saya untuk mengambil kotak itu.

Dalam tubuh saya ada tiga wujud saya. Satu pernah mati sebelum dilahirkan, lalu membangun sebuah gubuk di ujung kaki saya. Dia hidup damai dengan filsafat-filsafatnya yang konyol dan tak masuk akal di sana. Berocok tanam di sebuah ladang yang ia lunyah sendiri. Jagung, ubi, talas, ketela pohon, tomat dan sebatang pohon mangga.

Satu lagi seorang yang sok bijak dan arogan. Suka memerintah, menunjuk-nunjukkan jarinya ke muka yang lain, atau marah-marah tak jelas. Dia dulu seorang tuan yang paling berkuasa di kampung halamannya. Dia ikut pemilihan lurah, tapi gagal. Otaknya yang gila membuatnya ditendang ke jalanan. Dia lupa waktu telah banyak berubah tapi dia tak mau ikut berubah.

Satu lagi adalah saya, yang bercerita, yang berkasih-kasih dengan malam, yang dibenci pagi dan dikhianati siang.

Kotak putih itu sudah ada di telapak tangan saya. Tiba-tiba saya teringat lagi akan pengampunan Tuhan. Saya sudah banyak dosa. Apakah Dia benar-benar ingat saya kali ini? Kata mereka Tuhan Mahatahu, saya ingin Tuhan tahu kalau saya sudah lelah tinggal bersama pagi dan siang. Lelah jika hanya ada malam yang menemani saya, bukan perempuan. Lelah dengan kunang-kunang dan sekumpulan bintang. Lelah dengan tiga saya yang tak pernah duduk bersama dalam satu meja makan.

Saya ingin Tuhan tahu tentang itu.

Kotak putih ada di telapak tangan kiri saya. Saya yang sombong memerintahkan tangan kanan untuk membuka kotak putih itu. Tangan kanan melirik saya yang berkasih-kasih dengan malam dalam wajah cemas, lalu melirik saya yang pernah mati sebelum dilahirkan. Saya yang sombong menyeret tangan kanan tanpa ampun, membuat saya yang berkasih-kasih dengan malam dan saya yang pernah mati sebelum dilahirkan hanya bisa berdiri diam di rumah masing-masing.

Kotak itu terbuka sedikit. Terdengar tawa-tawa dari dalamnya. Semua saya menelan ludah. Apakah sebuah keputusan benar membuka kotak putih itu? Jangan-jangan itu kotak yang kelak akan membinasakan seluruh negara ini menjadi semakin bobrok dan konyol? Hei, negara ini butuh membeli sebuah mesin penggiling dosa saya rasa!

Tutup kotak terbuka sedikit lebih lebar lagi. Terdengar gesekan biola. Tiga saya menelan ludah sekali lagi. Kali ini keringat ikut mengintip di samping darah yang sudah mengumpal, di sela-sela kulit kepala yang terkelupas.

Mulut kotak semakin lebar terangkat. Tiga saya terperanjat. Saya yang pernah mati terjungkal-jungkal masuk ke dalam gubuknya. Saya yang sombong menghilang, satu hal yang lihai ia lakukan. Saya yang berkasih-kasih dengan malam hanya berkesap-kesip melihat isi kotak putih. Takjub. Sekaligus sedih.

Ternyata Tuhan masih ingat sama saya. Semua malaikatnya dihadirkan pada saya, di dalam kotak putih itu. Mereka memeluk saya, mengelus-elus punggung saya, memberikan seteguk anggur surga, lalu mengajak kaki-kaki saya berdansa. Saya melihatnya tertawa-tawa. Suara gesekan biola semakin lihai membelai teliga saya.

Terdengar saya yang pernah mati sebelum dilahirkan menangis-nangis di dalam gubuknya. Malam juga ikut terisak dalam persembunyiannya. Ia bilang takut pada malaikat. Saya tak paham tentang lagu kesedihan itu. Malaikat terus mengajak saya berdansa. Berdansa. Berdansa. Dan berdansa. Hingga saya lelah.

Ternyata Tuhan masih ingat saya.

Tak ada lagi pagi yang mencaci saya. Tak ada lagi siang yang meludahi mata saya. Tak ada lagi malam yang berkasih-kasih dengan saya.

Tuhan telah mengajak saya jalan-jalan bersama malaikatnya. []



Sidoarjo, 2015

Selasa, 07 Maret 2017

BOCAH YANG MEMUNGUT TUJUH BUTIR APEL BUSUK (RADAR MOJOKERTO, MINGGU 5 FEBRUARI 2017)



Sekantong apel busuk tergenggam di jari-jemarinya. Bocah itu memungutinya semenjak tadi, di tempat pembuangan sampah pasar. Aku telah menghitungnya. Tujuh butir. Dengan tujuh butir itu ia akan memberi makan ibunya. Demikian yang digumamkannya beberapa saat lalu. Aku sedikit mendengarnya, lalu merasai iba yang melesak.

Bocah itu melangkah keluar dari pasar yang hiruk ini. Langkahnya sempoyongan. Mungkin ia tengah lapar, atau mengantuk. Sesekali aku lihat ia menabrak bokong gendut yang tidak pernah mau mengalah pada sebatang tubuh ringkih. Sesekali kedua kakinya terjebak pada genangan air keruh sisa hujan semalaman, atau terhimpit tubuh-tubuh besar yang memboyong keranjang berisi belanjaan. Tapi bocah itu tidak berkeluh-kesah. Ia tetap berjalan diam sambil mempererat genggemannya.

Aku membuntutinya diam-diam. Karena hanya dengan diam kamu mampu melihat hal-hal yang tidak nampak ketika kamu hanya bisa berbicara saja. Begitulah ibuku pernah berkata. Aku melangkah tanpa membentuk bunyi-bunyi. Dan ia tidak menyadari itu. Ia memang pernah menatapku, dua kali di tempat pembuangan sampah itu, tetapi pasti tidak akan mengira kalau aku akan berjalan mengikutinya.

Kami melintasi jalanan aspal di pinggir pasar yang selalu riuh pikuk setiap pagi. Motor-motor mengaung geram, tidak sabar ingin bersegera tiba di kantor mereka. Suara bel mikrolet yang berebut penumpang dan teriakan kernetnya yang sahut-menyahut. Seorang ibu dengan perut membuntal memaki sopir karena kembalian ongkosnya yang kurang. Tukang parkir kurus memelototi seonggok tubuh becak yang berbaris tak teratur. Ditendangnya roda becak itu, lalu meludah, tetapi becak tetap bergeming. Tetap diam tak peduli kegilaan seorang tukang parkir.

Bocah itu akhirnya berhenti di sebuah zebracross dan memencet tombol merah di batang sebuah tiang listrik. Lampu penyeberangan berkedip-kedip, diikuti suara bel nyaring yang memekak telinga. Kendaraan berhenti perlahan. Berjajar rapi, walau wajah-wajah pengemudinya bersungut-sungut. Bocah itu melangkah kembali, melalui bongkahan mesin berderum-derum yang membeku seketika.

Dengan lesat aku mengkutinya. Kami melanjutkan langkah di seberang pasar. Berjalan dan berjalan. Melintasi selokan yang cukup lebar dan sisi barat sebuah rumah sakit umum kota kami. Bau kematian menguar pekat. Mengendus-endus. Rambut-rambutku menggigil. Aku mempunyai kenangan buruk akan kematian.

Ibuku.

Malam itu, hujan turun mericis sepanjang hari. Ibu dan aku berteduh di dalam sebuah pos ronda yang sempit dan bocor. Tidak ada seorang pun yang melintas dan Ibu menggigil. Suatu siang, dua hari sebelum malam itu datang, seorang lelaki memukul kepala Ibu dengan sebatang kayu karena mencuri makanan. Kepala Ibu bengkak, tapi ia tidak mengeluh kesakitan.

Aku memeluk tubuh Ibu di malam itu. Tidak sedikit pun melepaskannya. Keesokan harinya, napas Ibu tidak terdengar lagi dan aku menjadi seorang piatu yang telah lama tak mengenal wujud seorang bapak.

***

Rumah bocah itu kecil dan lusuh. Hampir mirip sebuah kandang kambing, bukan rumah untuk manusia. Dinding-dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Hampir roboh. Baunya lembab dan sedikit busuk. Seperti bau milik orang sekarat.

Aku tidak ikut masuk ke dalamnya. Aku duduk di bawah pohon mangga yang berbunga lebat. Halaman rumahnya penuh dengan rerumputan. Tidak terurus. Aku diam sampai tertidur, dan terbangun ketika mendengar langkah-langkah kecil yang gusar.

Ketika aku membuka mata, bocah itu sudah melesat keluar rumah dengan baju koko lusuh dan sarung butut berwarna kecokelatan. Peci hitamnya bertengger manis. Ia nampak bersinar. Tanpa berpikir lagi aku mengikutinya kembali.

Ia memasuki sebuah musalah kecil yang tidak jauh dari rumahnya. Ia mencium tangan seorang pria dewasa yang berjenggot, lalu melangkah di depan mimbar. Suara merdunya berkumandang, memantul-mantul menyeruhkan adzan.

Dadaku terenyuh. Entah mengapa (lagi-lagi) aku rindu pada Ibu.

Aku pernah bertanya pada Ibu, perihal siapa yang telah menciptakan kami. Ibu menyebut nama Tuhan. “Siapa Tuhan itu, Bu?” tanyaku kembali. “Apa kita bisa menemuinya?”

“Tentu saja kita bisa menemuinya, Sayang. Kita bisa berdoa padanya,” jawab Ibu. Dengan sukacita aku berdoa pada Tuhan. Setiap hari. Sepanjang waktu. Setiap aku ingat pada Tuhan. Tetapi Tuhan tetap tidak datang kepadaku.

“Tuhan selalu bersama kita. Dia melihat kita, tapi kita tidak akan bisa melihat-Nya.”

“Kenapa, Bu? Kenapa kita tidak bisa melihat Tuhan?”

“Karena itulah keajaiban Tuhan, Sayang.”

Keajaiban.

Di pagi ketika napas Ibu menghilang, aku ingin ada keajaiban yang dikatakan Ibu itu datang dan menggembalikan ibuku. Tapi aku begitu kecewa pada keajaiban.

***

Ketika aku dan bocah itu kembali pulang, orang-orang sudah berkumpul di halaman rumahnya. Dua mobil dan enam orang. Salah dari mereka berpakaian paling rapi dan berwibawa, berpeci hitam dan berjas abu-abu. Wajah orang itu mirip sekali dengan gambar seorang pria yang menempel di tubuh mobil sambil mengacungkan jempolnya yang besar.
Di antara mereka ada perempuan yang teramat sibuk mengambil foto-foto. Ia yang paling disibukan siang ini. Dan aku tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Bocah itu menghambur ke arah kerumunan dengan wajah gusar, seolah ketakutan perihal ibunya. Seseorang meraih tangannya, lalu mengajaknya masuk. Aku ikut masuk ke dalam rumah, dan mendengarkan suara-suara percakapan.

“Bapak ini akan membantu ibumu sampai sembuh, Le,” ujar seorang pria tua yang wajahnya ditumbuhi bintil-bintil. Aku melihat lebih dalam lagi ke kamar tidur. Bau semacam manusia yang sekarat yang aku temui pertama kali di halaman rumah ini, ternyata berasal dari ibu bocah itu. Perempuan itu kurus kering, tergeletak lemah di atas pembaringan. Tubuhnya penuh luka-luka yang membusuk. Bau kencing menyengat, menusuk-nusuk cuping penciuman. Beberapa orang yang ada di ruangan itu sampai menutupi hidung dan mulut mereka dengan berlembar-lembar tisu karena tidak betah dengan baunya.

Di atas meja kayu di samping ranjang ibu bocah itu, aku melihat ada tiga butir apel di dalam piring plastik. Apel-apel itu sudah dikupas dan bagian yang membusuk sepertinya sudah dibersihkan. Empat apel mungkin sudah dimakan bocah itu dan ibunya sebagai santapan pagi yang apa adanya.

“Coba kau duduk bersama ibumu di sana, Le.” Perempuan yang memegang kamera tadi memberi perintah. Bocah polos itu mengikutinya. Wajahnya masih kebingungan. Perempuan yang memegang kamera mulai membidik dan kilatan-kilatan cahaya terlihat. Sudut demi sudut.

“Ada lagi yang diperlukan Anda, Pak?” tanya perempuan yang memegang kamera itu pada pria yang berwibawa. “Bagaimana kalau Anda ikut foto bersama ibunya juga?” Pria yang berwibawa itu menggeleng, masih menutup rapat hidungnya. Rona ngeri dan jijik terlihat jelas di wajahnya.

“Foto saja aku di depan rumah sama dia,” ucap pria itu sambil menunjuk ke arah si bocah yang kebingungan, lalu bersegera keluar rumah. Mereka semua kemudian mengikutinya, termasuk aku dan si bocah.

Di depan rumah, pria yang berwibawa itu bersiap berdiri tegap. Dadanya dibusungkan, seolah hendak berperang melawan kebatilan. Seseorang memberinya sebuah bingkisan yang diambil dari dalam mobil. Pria yang berwibawa membopong bingkisannya dengan hati-hati dan memberikannya pada si bocah, lalu perempuan yang membawa kamera membidik kembali. Setelah itu, sebuah amplop. Dibidik berkali-kali lagi. Sampai mereka puas dan berjalan tekun menuju mobil sambil sedikit tertawa dan bercakap-cakap. Mereka meninggalkan bocah itu seorang diri, mematung di depan rumahnya dengan tercengang dan tanpa mengerti apa-apa.

***

Dua minggu telah berlalu setelah siang yang mencengangkan itu. Tidak ada hal apapun yang terjadi. Uang tiga lembar ratusan ribu dan isi bingkisan itu telah habis. Kini bocah itu kembali berjalan menuju pasar di pagi yang baru saja menetas. Mungkin akan memungut beberapa apel busuk lagi. Atau mungkin akan memunguti yang lainnya saja, yang lebih baik daripada tujuh apel busuk di hari lalu itu.

Aku dan bocah itu menjadi seikat kawan. Kami tidur bersama, makan bersama, bermain bersama, menuju musala bersama, dan sesekali mandi bersama. Subuh tadi, setelah memandikan ibunya dengan kain basah, ia mengajakku makan sepiring nasi dan ikan asin. Hal terakhir yang ada di dalam rumah, tapi kami menikmatinya dengan sukacita. Bocah itu tetap tidak mengeluhkan apapun walaupun aku tahu masih ada kebingungan di dalam kepala kecilnya itu.

Ia dan aku terus berjalan menuju arah pasar. Kaki-kaki kami terasa ringan. Dan kami saling mengamati apa yang terlihat oleh mata, dan membaui segarnya udara pagi tanpa aroma kepadatan.

Di depan dua batang pohon sono keling yang menjulang di pinggir jalan, bocah itu seketika berhenti. Ia mendongak ke atas. Berkesip-kesip. Menekuni sesuatu. Aku ikut menengadah. Mengernyit. Memicingkan mata hijauku yang bulat.

Di antara dua pohon itu terpampang sebuah spanduk panjang dan lebar. Warnanya merah menyala, dengan tulisan-tulisan berjajar. Besar dan kecil. Foto pria yang berwibawa itu ada di sana. Ia mengacungkan jempolnya yang besar. Lalu foto-foto kecil lainnya tertata rapi di sisi kanan. Dan kami berdua melihatnya.

Di dalam foto-foto kecil itu, kenangan dua minggu lalu di siang yang mencengangkan itu terpampang jelas. Aku seketika teringat Ibu. Ibuku pernah berkata, “Manusia lebih lihai mengeong dengan lantang daripada para kucing seperti kita. Tapi eongan itu isinya kosong.” Dan aku kini percaya pada Ibu. []



Sidoarjo, 2017



~ Ajeng Maharani. Lahir di Surabaya. Perempuan pendongeng yang mencintai buku dan sastra. Buku kumpulan cerita pertamanya yang akan segera terbit: Ia Tengah Menanti Kereta Uap Tuhan yang Akan Membawanya ke Bulan (Penerbit Basabasi)