Selasa, 07 Maret 2017

BOCAH YANG MEMUNGUT TUJUH BUTIR APEL BUSUK (RADAR MOJOKERTO, MINGGU 5 FEBRUARI 2017)



Sekantong apel busuk tergenggam di jari-jemarinya. Bocah itu memungutinya semenjak tadi, di tempat pembuangan sampah pasar. Aku telah menghitungnya. Tujuh butir. Dengan tujuh butir itu ia akan memberi makan ibunya. Demikian yang digumamkannya beberapa saat lalu. Aku sedikit mendengarnya, lalu merasai iba yang melesak.

Bocah itu melangkah keluar dari pasar yang hiruk ini. Langkahnya sempoyongan. Mungkin ia tengah lapar, atau mengantuk. Sesekali aku lihat ia menabrak bokong gendut yang tidak pernah mau mengalah pada sebatang tubuh ringkih. Sesekali kedua kakinya terjebak pada genangan air keruh sisa hujan semalaman, atau terhimpit tubuh-tubuh besar yang memboyong keranjang berisi belanjaan. Tapi bocah itu tidak berkeluh-kesah. Ia tetap berjalan diam sambil mempererat genggemannya.

Aku membuntutinya diam-diam. Karena hanya dengan diam kamu mampu melihat hal-hal yang tidak nampak ketika kamu hanya bisa berbicara saja. Begitulah ibuku pernah berkata. Aku melangkah tanpa membentuk bunyi-bunyi. Dan ia tidak menyadari itu. Ia memang pernah menatapku, dua kali di tempat pembuangan sampah itu, tetapi pasti tidak akan mengira kalau aku akan berjalan mengikutinya.

Kami melintasi jalanan aspal di pinggir pasar yang selalu riuh pikuk setiap pagi. Motor-motor mengaung geram, tidak sabar ingin bersegera tiba di kantor mereka. Suara bel mikrolet yang berebut penumpang dan teriakan kernetnya yang sahut-menyahut. Seorang ibu dengan perut membuntal memaki sopir karena kembalian ongkosnya yang kurang. Tukang parkir kurus memelototi seonggok tubuh becak yang berbaris tak teratur. Ditendangnya roda becak itu, lalu meludah, tetapi becak tetap bergeming. Tetap diam tak peduli kegilaan seorang tukang parkir.

Bocah itu akhirnya berhenti di sebuah zebracross dan memencet tombol merah di batang sebuah tiang listrik. Lampu penyeberangan berkedip-kedip, diikuti suara bel nyaring yang memekak telinga. Kendaraan berhenti perlahan. Berjajar rapi, walau wajah-wajah pengemudinya bersungut-sungut. Bocah itu melangkah kembali, melalui bongkahan mesin berderum-derum yang membeku seketika.

Dengan lesat aku mengkutinya. Kami melanjutkan langkah di seberang pasar. Berjalan dan berjalan. Melintasi selokan yang cukup lebar dan sisi barat sebuah rumah sakit umum kota kami. Bau kematian menguar pekat. Mengendus-endus. Rambut-rambutku menggigil. Aku mempunyai kenangan buruk akan kematian.

Ibuku.

Malam itu, hujan turun mericis sepanjang hari. Ibu dan aku berteduh di dalam sebuah pos ronda yang sempit dan bocor. Tidak ada seorang pun yang melintas dan Ibu menggigil. Suatu siang, dua hari sebelum malam itu datang, seorang lelaki memukul kepala Ibu dengan sebatang kayu karena mencuri makanan. Kepala Ibu bengkak, tapi ia tidak mengeluh kesakitan.

Aku memeluk tubuh Ibu di malam itu. Tidak sedikit pun melepaskannya. Keesokan harinya, napas Ibu tidak terdengar lagi dan aku menjadi seorang piatu yang telah lama tak mengenal wujud seorang bapak.

***

Rumah bocah itu kecil dan lusuh. Hampir mirip sebuah kandang kambing, bukan rumah untuk manusia. Dinding-dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Hampir roboh. Baunya lembab dan sedikit busuk. Seperti bau milik orang sekarat.

Aku tidak ikut masuk ke dalamnya. Aku duduk di bawah pohon mangga yang berbunga lebat. Halaman rumahnya penuh dengan rerumputan. Tidak terurus. Aku diam sampai tertidur, dan terbangun ketika mendengar langkah-langkah kecil yang gusar.

Ketika aku membuka mata, bocah itu sudah melesat keluar rumah dengan baju koko lusuh dan sarung butut berwarna kecokelatan. Peci hitamnya bertengger manis. Ia nampak bersinar. Tanpa berpikir lagi aku mengikutinya kembali.

Ia memasuki sebuah musalah kecil yang tidak jauh dari rumahnya. Ia mencium tangan seorang pria dewasa yang berjenggot, lalu melangkah di depan mimbar. Suara merdunya berkumandang, memantul-mantul menyeruhkan adzan.

Dadaku terenyuh. Entah mengapa (lagi-lagi) aku rindu pada Ibu.

Aku pernah bertanya pada Ibu, perihal siapa yang telah menciptakan kami. Ibu menyebut nama Tuhan. “Siapa Tuhan itu, Bu?” tanyaku kembali. “Apa kita bisa menemuinya?”

“Tentu saja kita bisa menemuinya, Sayang. Kita bisa berdoa padanya,” jawab Ibu. Dengan sukacita aku berdoa pada Tuhan. Setiap hari. Sepanjang waktu. Setiap aku ingat pada Tuhan. Tetapi Tuhan tetap tidak datang kepadaku.

“Tuhan selalu bersama kita. Dia melihat kita, tapi kita tidak akan bisa melihat-Nya.”

“Kenapa, Bu? Kenapa kita tidak bisa melihat Tuhan?”

“Karena itulah keajaiban Tuhan, Sayang.”

Keajaiban.

Di pagi ketika napas Ibu menghilang, aku ingin ada keajaiban yang dikatakan Ibu itu datang dan menggembalikan ibuku. Tapi aku begitu kecewa pada keajaiban.

***

Ketika aku dan bocah itu kembali pulang, orang-orang sudah berkumpul di halaman rumahnya. Dua mobil dan enam orang. Salah dari mereka berpakaian paling rapi dan berwibawa, berpeci hitam dan berjas abu-abu. Wajah orang itu mirip sekali dengan gambar seorang pria yang menempel di tubuh mobil sambil mengacungkan jempolnya yang besar.
Di antara mereka ada perempuan yang teramat sibuk mengambil foto-foto. Ia yang paling disibukan siang ini. Dan aku tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Bocah itu menghambur ke arah kerumunan dengan wajah gusar, seolah ketakutan perihal ibunya. Seseorang meraih tangannya, lalu mengajaknya masuk. Aku ikut masuk ke dalam rumah, dan mendengarkan suara-suara percakapan.

“Bapak ini akan membantu ibumu sampai sembuh, Le,” ujar seorang pria tua yang wajahnya ditumbuhi bintil-bintil. Aku melihat lebih dalam lagi ke kamar tidur. Bau semacam manusia yang sekarat yang aku temui pertama kali di halaman rumah ini, ternyata berasal dari ibu bocah itu. Perempuan itu kurus kering, tergeletak lemah di atas pembaringan. Tubuhnya penuh luka-luka yang membusuk. Bau kencing menyengat, menusuk-nusuk cuping penciuman. Beberapa orang yang ada di ruangan itu sampai menutupi hidung dan mulut mereka dengan berlembar-lembar tisu karena tidak betah dengan baunya.

Di atas meja kayu di samping ranjang ibu bocah itu, aku melihat ada tiga butir apel di dalam piring plastik. Apel-apel itu sudah dikupas dan bagian yang membusuk sepertinya sudah dibersihkan. Empat apel mungkin sudah dimakan bocah itu dan ibunya sebagai santapan pagi yang apa adanya.

“Coba kau duduk bersama ibumu di sana, Le.” Perempuan yang memegang kamera tadi memberi perintah. Bocah polos itu mengikutinya. Wajahnya masih kebingungan. Perempuan yang memegang kamera mulai membidik dan kilatan-kilatan cahaya terlihat. Sudut demi sudut.

“Ada lagi yang diperlukan Anda, Pak?” tanya perempuan yang memegang kamera itu pada pria yang berwibawa. “Bagaimana kalau Anda ikut foto bersama ibunya juga?” Pria yang berwibawa itu menggeleng, masih menutup rapat hidungnya. Rona ngeri dan jijik terlihat jelas di wajahnya.

“Foto saja aku di depan rumah sama dia,” ucap pria itu sambil menunjuk ke arah si bocah yang kebingungan, lalu bersegera keluar rumah. Mereka semua kemudian mengikutinya, termasuk aku dan si bocah.

Di depan rumah, pria yang berwibawa itu bersiap berdiri tegap. Dadanya dibusungkan, seolah hendak berperang melawan kebatilan. Seseorang memberinya sebuah bingkisan yang diambil dari dalam mobil. Pria yang berwibawa membopong bingkisannya dengan hati-hati dan memberikannya pada si bocah, lalu perempuan yang membawa kamera membidik kembali. Setelah itu, sebuah amplop. Dibidik berkali-kali lagi. Sampai mereka puas dan berjalan tekun menuju mobil sambil sedikit tertawa dan bercakap-cakap. Mereka meninggalkan bocah itu seorang diri, mematung di depan rumahnya dengan tercengang dan tanpa mengerti apa-apa.

***

Dua minggu telah berlalu setelah siang yang mencengangkan itu. Tidak ada hal apapun yang terjadi. Uang tiga lembar ratusan ribu dan isi bingkisan itu telah habis. Kini bocah itu kembali berjalan menuju pasar di pagi yang baru saja menetas. Mungkin akan memungut beberapa apel busuk lagi. Atau mungkin akan memunguti yang lainnya saja, yang lebih baik daripada tujuh apel busuk di hari lalu itu.

Aku dan bocah itu menjadi seikat kawan. Kami tidur bersama, makan bersama, bermain bersama, menuju musala bersama, dan sesekali mandi bersama. Subuh tadi, setelah memandikan ibunya dengan kain basah, ia mengajakku makan sepiring nasi dan ikan asin. Hal terakhir yang ada di dalam rumah, tapi kami menikmatinya dengan sukacita. Bocah itu tetap tidak mengeluhkan apapun walaupun aku tahu masih ada kebingungan di dalam kepala kecilnya itu.

Ia dan aku terus berjalan menuju arah pasar. Kaki-kaki kami terasa ringan. Dan kami saling mengamati apa yang terlihat oleh mata, dan membaui segarnya udara pagi tanpa aroma kepadatan.

Di depan dua batang pohon sono keling yang menjulang di pinggir jalan, bocah itu seketika berhenti. Ia mendongak ke atas. Berkesip-kesip. Menekuni sesuatu. Aku ikut menengadah. Mengernyit. Memicingkan mata hijauku yang bulat.

Di antara dua pohon itu terpampang sebuah spanduk panjang dan lebar. Warnanya merah menyala, dengan tulisan-tulisan berjajar. Besar dan kecil. Foto pria yang berwibawa itu ada di sana. Ia mengacungkan jempolnya yang besar. Lalu foto-foto kecil lainnya tertata rapi di sisi kanan. Dan kami berdua melihatnya.

Di dalam foto-foto kecil itu, kenangan dua minggu lalu di siang yang mencengangkan itu terpampang jelas. Aku seketika teringat Ibu. Ibuku pernah berkata, “Manusia lebih lihai mengeong dengan lantang daripada para kucing seperti kita. Tapi eongan itu isinya kosong.” Dan aku kini percaya pada Ibu. []



Sidoarjo, 2017



~ Ajeng Maharani. Lahir di Surabaya. Perempuan pendongeng yang mencintai buku dan sastra. Buku kumpulan cerita pertamanya yang akan segera terbit: Ia Tengah Menanti Kereta Uap Tuhan yang Akan Membawanya ke Bulan (Penerbit Basabasi)

8 komentar:

  1. Keren mbak....

    Di pertengahan mulai curiga tokoh si Aku nya ini hewan tp masih menebak-bebak hewan apa. Ternyata kucing. Hahha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Heiii sayyy, makasiihhh sudah mampir di mariii yaaa. Peluk cium...

      Hapus
  2. Balasan
    1. Monggo Mas. Terima kasih sudah berkenan membaca ^^

      Hapus
  3. Sudah kuduga itu kucing karena ibunya dipukul kepalanya gara-gara mencuri makanan 😀
    Tapi ini feel nyeseknya dapat banget mbak. Juga ending yang menohok kemanusiaan kita.

    BalasHapus
  4. Alhamdulillah dapat bacaan bergizi. Thanks Mbak Ajeng.

    BalasHapus
  5. Alhamdulillah dapat bacaan bergizi. Thanks Mbak Ajeng.

    BalasHapus
  6. Arrgghh...ketipu...awalnya kupikir yg nyeritain sama2 anak gelandangan...
    Taunya kuciang...
    Keren mbak...aku padamu daah😍

    BalasHapus