Rabu, 22 Februari 2017

SURGA DAN KECUPAN TERAKHIR


TERKADANG, aku berpikir ingin menikahi hujan agar aku bisa lebih lama berendam di dalam tubuhnya dan melupakan ketidakwarasan dunia, tapi di antara kita telah ada kecupan selamat tidur yang mengantarkan mimpi-mimpi buruk tentang kematian dalam ubin-ubin malam. Kamu suka berlindung di bawah pohon trembesi yang telah hangus dipanggang api-api ketidakpastian. Lalu lampu-lampu taman menangisi ketidakhadiranmu di pagi yang teramat senyap itu, menggantikan air mataku yang telah surut, lesap ke bawah kaki-kaki kesepian.

Ke manakah kamu setelah kecupan terakhir itu?

Pelangi bukanlah hal yang paling indah di dunia ini, kata kamu. Aku jadi ingat ibuku. Ingat surga yang kusam di telapak kakinya. Apakah aku juga akan memiliki surga semurung itu? Kamu tidak pernah hadir di dalam surga itu, apalagi Tuhan.

Tubuhmu seperti dapur yang penuh dengan panci-panci berpantat hitam. Tapi aku tetap suka memasak pasta dengan taburan daging cincang dan parutan keju di atas dadamu. Air dalam galon telah habis, ibuku malas mengisinya kembali. Jiwa ibuku terluka di siang itu. Isi kulkas diterlantarkan hawa dingin, dan aku terkencing-kencing saat baru mengenal cinta pertama. Mengenal kamu. Mengenal kecupmu.

Ibuku pernah berkata, lelaki hanya menyukai mata yang berwarna merah. Karena itu kutuang darah di mataku, dan kamu bilang itu menjijikan. Bangku taman masih saja kesepian, tidak ada tubuhmu, tidak ada mataku yang memerah. Dia melarikan diri dari kenangan-kenangan, dan putaran Jupiter mendadak lebih cepat dari batas normalnya.

Ke manakah kamu setelah kecupan terakhir itu?

Tuhan, aku akan mencuri surgamu, menjahitnya di telapak kakiku dengan jarum-jarum Ibu yang tidak pernah berkarat.

Tuhan, mungkin esok aku juga akan mencuri tubuhmu, matamu, bibirmu, mukjizat-mukjizatmu, kalammu, dan meletakan kesemuanya di dalam surgaku. Lalu malaikat-malaikatmu, sungai mata airmu, pelangi tujuh warnamu, pasir-pasir berlianmu, juga pohon-pohon kurmamu.

Anak-anak berlari riang, berceloteh dalam rahimku tentang kegilaan dan malapetaka yang orang-orang itu sebarkan dalam pamflet-pemflet kerohanian.

"Kiamat akan datang! Kiamat akan datang! Mari kita mati bersama, bergandengan tangan!"

"Kiamat datang! Surga menunggu kita! Mari masuk agama saya!"

"Masa bodoh dengan kiamat!"

"Masa bodoh dengan agamamu, Bangsat!"

Kecupan terakhirmu lesat. Aku ingin menikahi hujan saja, bolehkah? []




Sidoarjo, 2015

1 komentar: