Sabtu, 25 Februari 2017

KAMPUNG HALAMANMU


Di kampung halamanmu buih-buih pagi pecah, matahari mulai pikun, lupa cara berdenyar. Sebuah pohon nangka roboh melintang, menghalangi langkah bocah yang hendak berak di pematang. Kamu hari itu resah merengek, menarik-narik daster Ibu, menghisapi jempol yang masih bau tajin hangat.

Ibumu kesunyian. Ia terus saja berjalan, menenteng bungkusan nasi dalam keranjang bambu; ikan asin kepala batu, urap daun pepaya dan luntas, seikat teh hangat tanpa cinta.

Di kampung halamanmu bapakmu merobek dada bumi. Menjejali benih-benih. Menjejali peluh. Menjejali mimpi. Pagi itu lurah bapakmu diseret polisi. Tangannya diborgol besi. Menangis-nangis, dengan mulut bau korupsi. Bapakmu menggeleng-nggeleng girang. Berseru: Syukur aku hanya seorang petani biasa

Dari kampung halamanmu aku telah membawamu pergi. Kuseret kakimu dengan rantai perkawinan. Kucumbui birahimu dengan cinta-cinta perempuan kota. Kamu, aku, tanpa kampung halamanmu.

Suatu malam, ketika kamu tidur, kampung halamanmu mendarat di ranjangku. Warnanya biru, itu langit, tumpukan langit. Burung-burung tidak bisa terbang, mereka berenang di sekumpulan awan berwarna kapas. Tidak ada malam, ataupun siang. Yang ada hanyalah senja. Kampung halamanmu menjerit-jerit, hujan menimpahi ranjang, kamu jadi kuyup.

Aku ingin pulang, ujarmu merengek.

Kampung halamanmu mulai menangis. Pada lempengan-lempengan kenangan yang sudah kulebur, pada sekerat rindu yang sudah kulipat-lipat. Ingat Ibu, ingat Bapak, ingat kuburan kakekmu, ingat kerbaumu yang bunting, ingat sawah bapakmu yang sudah rata, ingat gadis kecil bersepeda kuning, rambutnya dikepang dua. Tapi aku tidak ingin dia membawamu pergi. Kutikam lehernya dengan belati, berkali-kali. Kampung halamanmu berpendar-pendar, lalu redup. Bintangnya berjatuhan, awan-awan menggelinding pulang. Kau membuka mata, ada yang hilang di sana.

Tenang, Sayang. Akulah kampung halamanmu sekarang. []



Sidoarjo, 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar