Senin, 20 Februari 2017

AKU DI RAHIM IBU


Suatu siang, Ibu duduk di antara wanita-wanita yang menggelembung. Wajah-wajah cemas berubah menjadi angin puyuh, menerbangkan kegelisahan, memutar-mutar ketakutan. Tapi tubuh Ibu selalu mengalir seperti laut. Terdengar tangisan di sampingku. Sebuah orok, cantik dan putih. Matanya sipit. Rambut lurus hitam kelam. Aku ingin memegang balon, warnanya merah, tapi Ibu marah. Dia memberi belati di tanganku. "Matilah saja kau!" Ibu membelalang. Aku menciut.

Ibuku sebentang lautan. Aku berenang di rahim Ibu. Dingin. Mencari cahaya, tapi laut Ibu terlalu dalam dan pekat. Ibuku sebuah belantara, sekumpulan karang, segulung awan hitam. Dia membentur dan memecah kapal-kapal yang berlabuh. Ibuku lonte, tujuh laki-laki terperangkap di rahim Ibu, menjelma aku.

Pintu, mana pintu?

Aku butuh pintu, Ibu.

Matilah saja kau!

Ada tangan melambai, lalu merayap. Tubuhku terjepit. Sesak. Aku tak mampu bernapas. Seekor kunang-kunang menari di dahiku. Kakinya kurus-kurus. Segumpal waktu yang menghilang, rahim yang mengkerut, suara-suara melindap. Lesap. Mati.

Ibu membuka rumah kembali. []



Sidoarjo, 2015 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar