Jumat, 09 Juni 2017

KISAH TENTANG ORANG-ORANG SAKIT DAN REALITA YANG BERPURA-PURA BAIK-BAIK SAJA


Judul: Ia Tengah Menanti Kereta Uap Tuhan yang Akan Membawanya ke Bulan (Kumpulan Cerita)
Penulis: Ajeng Maharani 
Penerbit: Basabasi
Penyunting: Gunawan Tri Atmodjo
ISBN: 978-602-391-352-7

Cerita-cerita dalam buku kumpulan cerpen 'Ia tengah Menanti Kereta Uap Tuhan yang Akan Membawanya ke Bulan', menurut saya berisi orang-orang yang sakit.  Seperti kata Freud,  kita semua sebetulnya sedang sakit,  hanya saja kita tidak menyadarinya. Sebagian dari kita pura-pura bahwa kondisi kita baik-baik saja. 

Kita hang-out bersama teman-teman,  membicarakan film, musik,  buku,  game,  atau ketertarikan kita pada asmara untuk memenuhi lubang yang semenjak dahulu kala ada di dada kita. As long as we live,  shits happen, dan cerita-cerita di dalam buku ini berusaha mengutarakan hal tersebut dengan caranya. 

'Maysa Rindu Menyusu pada Batu' misalnya,  ia secara hiperbolik berusaha mengkritisi kondisi sosial masyarakat kita.  Utamanya mengenai hubungan ibu dan anak.  Di samping banyaknya pasangan muda yang belum terlalu mengerti tentang tanggung jawab seorang ibu,  juga di masyarakat mulai terjadi asimilasi di mana peran ibu sekadar menyediakan apa yang bisa membuat anaknya bertahan hidup. Menilik kasus-kasus yang kerap saya jumpai meski tidak terlalu ekstrim, namun perilaku annoying ibu terhadap anaknya kerap terjadi.  Lihatlah di sekeliling kita, bisa kita temukan dengan mudah ibu-ibu yang asyik melakukan kegiatan sendiri dan memarahi anaknya begitu sang anak melakukan kesalahan. Kelihatannya sederhana dan remeh tetapi tugas seorang ibu tak hanya mencukupi kebutuhan material anaknya,  melainkan juga memiliki tanggung jawab terhadap perkembangan emosi sang anak serta perilakunya. Ibu memang tahu apa yang terbaik untuk sang anak,  tetapi tahukah ia bahwa kadang sang anak berbuat nakal hanya untuk mendapat perhatian? 

Cerita Maysa memang tidak menampilkan hal tersebut karena Maysa justru tergolong melankolis,  dan ia melampiaskan perasaan sedihnya itu pada khayalan yang ia buat berdasarkan perkataan ibunya. Bukankah melawan atau menurut sama-sama bentuk perhatian terhadap sesuatu? 

Dalam mbah Sumitroh, Ajeng Maharani bercerita mengenai budaya warok yang telah menghilang dan hampir tak berbekas. Zaman telah melindasnya. Dengan piawai penulis yang satu ini menampilkan kegelisahan seseorang yang melenceng dari kodratnya dan risiko-risiko yang bakal ditanggung pelaku atas kelakuannya. Meskipun dalam kasus ini termasuk tindakan kriminal sih,  tetapi kupikir jika itu terjadi pada sepasang kekasih pun, reaksi masyarakat yang buas akan tetap sama. 

Selain dua cerita di atas,  buku ini juga merangkum kasus-kasus KDRT dalam beberapa ceritanya.  Lumayan kelam dengan benturan karakter di sana-sini. 

Kita tidak sedang membicarakan agama ketika membicarakan sebuah buku, kita sedang membicarakan sebuah realitas. Tetapi selama kita tidak memahami bumi,  kita tidak akan pernah bisa memahami langit. Dan buku ini berhasil menunjukan cuilan demi cuilan realitas yang terjadi di sekitar kita melalui analogi kisah-kisah di dalamnya. 


~ Peresensi:
Damar Hening Sunyiaji, penikmat buku dan sastra

#NulisRandom2017 #Day9 #NulisBuku #AjengMaharani 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar