Sabtu, 07 Februari 2015

KARENA PEREMPUAN YANG BERTANDANG di RUMAH KAMI



  

SEJAK kulihat wajah ayah yang mengigil ketika tahu kekuatan yang dimiliki ibu, aku belajar satu hal, bahwa manusia adalah makhluk yang egois. Mereka tak mau menerima kenyataan atau mengakui saat ada seseorang yang pernah dianggapnya lemah itu menjadi kuat.

Malam itu, ayahku lari ketakutan. Meninggalkan ibu yang masih berdiri dengan mata membuntang, sambil menggenggam sebuah pisau dapur. Kupeluk tubuh ibu dari belakang, kemudian tangisan kami membuncah. Malam yang menggetarkan bagi kami. Setelah itu, ibu mengajakku pergi dan hidup di tempat baru.

Ibu pernah berkata, “Kau boleh menjadi diam, tetapi jangan menjadi lemah.” Aku paham. Bertahun-tahun aku bersembunyi di balik kekuatanku sendiri. Kekuatan seorang perempuan yang diturunkan ibu padaku. Hingga akhirnya, perempuan itu datang berkunjung ke rumah kami.

***

NAMANYA Linggar. Datang di suatu siang bersama suaminya ke rumah kami dengan alasan menjenguk anak ketigaku yang baru lahir bulan lalu. Aku tak pernah merasa mengenal perempuan itu. Tapi lelakiku berkata, dia teman kami ketika bersekolah dulu. Aku telah lupa. Tapi bukan itu yang membuatku gelisah. Wajahnya yang bersemu merah jambu, lalu binar matanya yang ceria tatkala berbincang dengan lelakiku, membuatku merasa kejanggalan ada dan tengah terselip di antara keduanya.

Bahasa tubuh Linggar begitu kentara jika dia sedang mengalami kecanggungan berada di rumah ini bersama kami. Namun aku belum tahu, dikarenakan apakah sikap itu terbuncah begitu kuat hingga mampu terbaca oleh mataku.

Satu jam setelah Linggar berpamit pulang, aku menemukan email-email itu di notebook milik lelakiku. Tubuh ini menggeligis karena amarah, sementara lelaki yang telah kunikahi selama tujuh tahun itu bersujud di kaki sambil memohon ampunan.

Tak ada rinai yang meleleh di sudut mataku. Tak ada kekata yang meluncur dari bibirku. Semuanya beku, diam dan berkecai entah ke mana.

Dari email yang kubaca, hubungan mereka telah terjalin kembali sejak aku hamil tua, enam bulan yang lalu. Mereka bertemu di media sosial, mengenang kembali masa-masa muda yang digadang-gadang indah bak pelangi yang menenggelamkan warnanya di atas nirwana, lalu pergi berdua meninggalkan pasangan mereka masing-masing untuk menikmati senja dan fajar di Pantai Jogan. Tak tanggung-tanggung, mereka melakukan itu sudah dua kali dan berjanji akan terus rutin ke tempat kenangan itu berdua.

Aku meradang. Entah apa lagi yang bisa kukatakan. Tak ada. Kekecewaan itu sudah terlalu pahit untuk diutarakan. Pada malam-malam pikuk, aku selalu tenggelam dalam kehampaan. Rohku lepas, menjelma menjadi kunang-kunang lalu lesat menerobosi kegelapan, berharap dijemput kematian.

Dalam pengembaraan bawah sadar, aku selalu bertanya, mengapa lelaki itu begitu mudahnya berkhianat? Mengapa perempuan itu begitu teganya merenggut kebahagiaan yang seharusnya tak boleh lagi dia kecap? Namun walau seberapa sering aku menaburkan lidah-lidah keluku dan bertanya pada hal yang tak mampu berkekata, aku tetap tak menemukan jawaban.

Fajar melata, aku kembali ke tubuhku dan mendapati lelaki itu sudah duduk menatapku dengan wajahnya yang memilu.

“Kau baik-baik saja?”

“Bagaimana aku bisa baik-baik saja?”

“Bukankah aku sudah meminta maaf dan takkan mengulangi perbuatanku?”

“Tapi desah-desah napas kenanganmu bersamanya masih mengendap di batinku, Sayang.”

“Aku tahu, tapi bisakah kau melupakan semuanya?”

“Itu tak mungkin, kau tahu itu, kan?”

Kami diam. Kerling matanya mengisyaratkan bahwa dia telah lelah dengan kebisuanku selama ini.

“Kalau begitu, terserah kau mau menjadi apa. Aku hanya sedih melihatmu seperti ini.” Setelah berkata, lelaki itu kembali keluar kamar dan meninggalkanku yang telah berhari-hari menyudutkan diri di kegelapan.

Denting sang waktu tak lagi kudengar. Penat kepala mencabik kesadaranku. Di antara limbung, aku berdiri lalu berjalan menuju kamar mandi. Mengguyur kepala ini berkali-kali dengan air yang semakin dingin saat tengah malam. Berharap semua ingatan tentang mereka ikut luruh dan raib bersama air yang mengalir masuk ke dalam selokan.

Tangisanku menjadi-jadi. Suara pompa air listrik melindapkan teriakan marah yang kuserukan. Aku ingin hilang, ingin mati, ingin bebas dari kemurkaanku.

“Ibu, bisakah kau jemput aku?” desisku di sela-sela air yang terus mengalir deras.

Diam, aku terkulai di lantai kamar mandi. Sesak, kucoba meraih kembali napasku yang hampir raib. Terbesit wajah ibu yang telah tiada. Aku ingat wajah murka ibu yang mengusir ayah, ketika ketahuan berselingkuh dengan beberapa perempuan dan menghabiskan semua uang simpanan. Iya, aku kini paham perasaan ibu.

Aku melenguh sejenak. Berdiri dan berjalan menuju kamar tempat suami tertidur lelap. Lantai rumah menjadi basah, aku tak peduli. Kulihat wajah lelaki pengkhianat itu begitu tenang, seolah tak terjadi apa-apa antara kami. Kebencian menepuk kembali pundakku. Ia berbisik, merayu dan meracau di cuping telinga.

Kuhapus air mata yang menggenang di pelupuk, lalu mengendap ke arah dapur. Lihatlah lelakiku, apa yang bisa diperbuat oleh seorang perempuan saat ia terluka dan memendam palak di hati.



-A.M.281114-





Tidak ada komentar:

Posting Komentar