Minggu, 08 November 2015

JAMUAN MAKAN MALAM TUAN BERG (SOLOPOS, MINGGU 29 NOVEMBER 2015)

image : www.decoist.com


Ia merasa, mungkin tak seharusnya ia ada di ruang makan itu. Duduk di depan Tuan Berg yang menatapnya tajam. Mata yang menyimpan dendam padanya. Bisa saja ia mati bahkan sebelum ia berhasil keluar dari rumah mewah pria Belanda itu. Ia berpikir Tuan Berg pasti telah menyiapkan rencana-rencana paling kejam, seperti membubuhi racun di dalam makanan atau minuman, untuk membunuhnya agar Reina bisa didapatkan kembali. Tapi ia tepis pikiran itu. Wajah Reina yang kesakitan dan melolongkan penderitaan di pelukannya dua malam lalu, membuatnya bertahan untuk tetap di tempat itu.

“Aku tidak tahu apa makanan kesukaanmu. Aku berpikir keras agar pertemuan malam ini memberikan kenangan baik untukmu. Dan menyuruh juru masakku yang berasal dari negaramu, Lisa, agar menyiapkan segalanya. Ah, dia perempuan yang susah diatur. Lupakan saja dia. Silakan makan, semoga kau suka dan tidak kecewa dengan pilihanku.”

Ia menelan ludahnya dalam-dalam ketika pria itu mengangkat tangan dan mempersilakannya makan. Sajian khas dari tanah kelahirannya—Sie Itek, Gulai Kambing, secangkir kopi Aceh hitam kental yang mengepul, dan Rujak Aceh dengan parutan es di atasnya—telah memenuhi meja. Aromanya menguar, menusuk-nusuk hidungnya, namun lagi-lagi ia terlalu takut untuk memakannya.

Wajah Tuan Berg seperti berkata “Matilah kau!” setiap kali ia memandangnya. Kebencian sedaritadi ia rasakan menguap dari tubuh pria itu dan memenuhi ruang makan. Semua karena Reina. Ya, semua karena ia telah berani mengambil Reina.

Pertama kali bertemu dengan perempuan itu ia tidak mengira jika Reina telah bersuami. Perempuan itu masih muda, dua puluh tiga tahun. Mereka bertemu di sebuah pameran lukisan. Ketika itu Reina berdiri mematung di depan lukisan yang ia buat. Mata perempuan itu basah. Melihat itu, hatinya trenyuh. Ia melangkah pelan ke arah Reina. Seperti ada magnet di sekitar perempuan itu yang menariknya untuk mendekat.

Reina terkesiap saat melihatnya. Ia pun berdebar-debar. Dengan kikuk ia menyodorkan saputangannya pada perempuan itu. Mereka menikmati keheningan sejenak. Saling bersitatap. Hingga akhirnya, dengan cekatan yang gemulai perempuan itu meraih saputangannya, menghapus air mata dan berucap terima kasih.

Tidak ada manusia lain di antara mereka berdiri. Hanya sebuah lukisan seorang wanita telanjang dada yang mendekam dalam lingkaran sunyi berwarna pekat. Ia dan Reina menatap lukisan itu, menikmati setiap detik yang bermain-main di antara keduanya.  

“Apa kau suka lukisan itu?” tanyanya memecah hening.

“Iya. Lukisan ini menyentuhku.”

“Apa kau tadi menangis karena melihatnya?”

“Sedikit.”

“Itu karyaku.”

“Benarkah?”

Wajah Reina sedikit takjub. Perempuan itu memandanginya dengan bola mata berkesip. Seperti ada kesenangan yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Lalu meletup-letup.

“Ya. Aku melukisnya ketika merindukan Ibu. Ia sudah meninggal lima tahun lalu. Aku hidup sendiri dan kesepian sejak ia pergi, lalu aku lari ke negara ini.”

“Hmm, menarik. Apa judul lukisan ini?”

“Kematian Ibu dalam Kesunyian yang Lembut.”

“Indah sekali.”

“Ya, aku tahu itu. Tapi sungguh, sebenarnya kematian ibuku tidak seindah lukisan ini.”

Perempuan itu memandangnya dengan tatapan haru. Mereka seperti merasakan kesedihan yang sama dan terperangkap dalam sebuah ruangan yang gelap. Rasa itulah yang membuat mereka saling memahami walaupun baru saja bertemu. Membuat mereka dekat, untuk sama-sama merasakan sepi. Sama-sama mencintai. Dan setelah itu, mereka memutuskan untuk melakukan pertemuan-pertemuan berikutnya. Pertemuan yang hening sekaligus menggairahkan.

“Mengapa kau belum memakannya? Apa kau takut sesuatu akan terjadi padamu?”

Suara berat Tuan Berg menggelegar, membuat ia terbata-bata. Kikuk. Ia tidak tahu akan berkata apa untuk menjawab pertanyaan pria itu.

“Kalau kau berpikir aku akan membunuhmu dengan racun di makanan itu, aku kira itu pikiran konyol. Bagaimana aku akan menyembunyikan tubuhmu yang besar itu di dalam rumahku nanti?”

Tuan Berg terkekeh. Tawa yang menggigit, membuat ia menelan ludah.

Dengan terpaksa ia pun mencoba meraih sendoknya. Jari-jarinya gemetaran. Pikirannya mencoba mempercayai kata-kata pria di hadapannya itu. Tapi wajah Reina yang membiru membuatnya kembali waspada.

“Kau lelaki pendiam dan membosankan. Bagaimana bisa Reina memilihmu lalu meninggalkanku begitu saja? Perempuan bodoh!”

Tangannya terhenti. Ia cengkeram sendoknya kuat-kuat.

Gerimis malam itu mengguyur isi kepalanya. Gerimis di Amsterdam yang begitu dingin menghantarkan tubuh Reina yang kuyup dan gigil. Wanita itu berdiri di depan apartemen miliknya, tanpa payung. Jalanan belum terlalu lengang, dan ia baru saja pulang dari minimarket, berjalan kaki. Ia sangat terkejut. Di matanya Reina nampak begitu rapuh.

“Re—Reina ....”

Dengan lesat ia menghambur ke arah perempuan itu. Didengarnya isakan berat yang memecah suara-suara gerimis. Ia begitu cemas. Reina tidak berkata apapun, hanya melipat sengguk di antara pucuk gerimis yang berjatuhan. Itu adalah malam yang paling menyesakkan baginya setelah lima tahun paling menyedihkan berlalu—ibunya juga meninggal di malam hari, di kala gerimis. Dan ketika ia melihat Reina, ia meyakinkan dirinya sendiri agar jangan pernah kehilangan lagi perempuan yang sangat dikasihinya.

“Tuan Berg, katakan padaku, apa kau benar-benar mencintai Reina?”

Ia menatap pria di hadapannya dengan tegas, mencoba menguatkan dirinya walaupun dadanya masih saja gemetaran. Ia berharap pria itu tidak tersinggung dengan pertanyaannya. Karena, jika Tuan Berg yang tinggi dan besar itu menghantamnya sekali pukul saja, ia pasti sudah pingsan. Atau bahkan mati.

“Mencintainya?”

Pria Belanda itu tertawa. Lebih tepatnya, menertawai pertanyaannya yang dianggap konyol. Suaranya memantul-mantul di dinding ruang makan yang ditata dengan nuansa hitam dan putih. Ada sebuah mini bar dengan tiga lampu gantung di langit-langitnya, tepat berada di belakang punggung Tuan Berg. Botol-botol minuman berjajar rapi di lemari kaca yang merapat dinding. Di sisi kanan mini bar itu ada sebuah pintu kayu berwarna hitam yang berbentuk seperti pintu-pintu bar di kota-kota koboi. Di balik pintu itulah dapur Tuan Berg berada.

“Itu pertanyaan konyol. Kami menikah sudah tentu karena cinta. Apalagi jika bukan cinta, Agam? Tidak ada!” ujar pria Belanda itu. Tangan kekarnya yang ditumbuhi bulu-bulu rambut berwarna pucat kekuningan sedang asyik menyendok makan malamnya—sepiring Stamppot yang masih mengepul, dengan sepotong Rookworst.

Melihat Tuan Berg menghinanya—berbicara tanpa melihat ke arahnya—dadanya seketika meremang, menekuri amarah. Geram. Ia ingat tentang lebam biru di pipi dan mata kiri Reina. Ingat tentang luka cambuk di punggung perempuan itu juga, lalu tangisan Reina yang menyayat di malam gerimis itu. Jika benar pria di hadapannya itu mencintai Reina, bagaimana bisa semudah itu melukainya?

Pria itu iblis. Ia yakin itu.

Di malam dua hari lalu, Reina telah menumpahkan semua derita di telapak tangannya. Ia mendengarkan dengan hati yang melarat-larat. Sesak. Kisah Reina sama dengan apa yang dialami ibunya. Perempuan yang sama, yang menyimpan kepedihan di dalam hatinya. Saking pedihnya, terkadang mereka mengharapkan batu-batu besar bersedia menelan tubuh mereka.

Dulu, ia selalu ingin menolong ibunya yang hidup dalam penyiksaan bapaknya. Ingin membawanya lari, atau membunuh bapaknya itu agar ibunya benar-benar bebas. Tapi kenyataannya, ia tidak melakukan apapun. Ia pengecut kecil, dan itu membuatnya menyesal hingga kini. Hingga ibunya mati.

“Tapi aku mungkin bisa merelakannya bersamamu.”

Mulut pria itu bergumam kembali. Kali ini suaranya tidak terlalu jelas, karena mulut itu baru saja penuh dengan makanan.

“Hanya saja ....”

“Hanya saja apa?”

“Kau harus melakukan sesuatu hal untukku malam ini.”

“Melakukan apa?”

Pria itu menyungging senyum. Senyum yang terlihat jahat di matanya. Ia melihatnya, ada tipu muslihat di mata pria itu. Mata yang berbahaya.

“Makanlah makananmu, Aku sudah bersusah payah menghidangkannya untukmu. Setelah itu, kau boleh pergi dari sini. Selamanya.”

Ia menelan ludah. Jari-jari tangan kanannya masih saja mencengkeram erat sendok perak yang lebih berat daripada sendok-sendok di apartemennya. Dilihatnya pria itu masih saja memandangnya nanap, sambil mengunyah makanan lekat-lekat.

Perlahan ia mengangkat sendoknya, menukil sebagian nasi dan Sie Itek. Ia ingat ibunya sering memasak itu setiap Ramadhan tiba. Ini Sie Itek pertamanya setelah lima tahun berlalu. Matanya ingin leleh, tapi diurungkannya niat itu. Ada hal menakutkan yang sedang menelanjanginya di ujung sana, pada mata pria Belanda di hadapannya. Dalam hati ia menyebut nama Reina, mengucap maaf bila saja setelah malam ini ia tidak bisa kembali pulang.

Malam terus melata. Ujung sendoknya hampir menyentuh bibir, ketika suara napas yang tercekat terdengar di cuping telinganya. Di sisi lain meja makan, Tuan Berg terlihat ketakutan. Pria itu berdiri, mundur beberapa langkah dengan tubuh sempoyongan. Mata biru itu membuntang, bulat, dengan mulut yang mengangah. Suara napas tercekat itu semakin keras, seperti lenguh binatang yang akan dijemput ajal.

Ia ketakutan. Tubuhnya semakin gemetaran. Ia tidak mampu berdiri, walau ingin. Ia hanya duduk di kursinya, mencegkeram sendok peraknya kuat-kuat. Hingga matanya yang basah itu—karena rasa takut yang kuat ia berkaca-kaca—melihat tubuh Tuan Berg roboh, tersungkur ke lantai.

Bibirnya terkatup. Di antara debarannya yang bertalu-talu ia mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi di depannya. Keringat dingin mengucur deras di pelipisnya. Pandangannya tak sedikit pun lepas dari tubuh Tuan Berg yang tersadai, tidak lagi bernyawa.

Ia berusaha mendekat, tapi kaki-kakinya terasa kaku. Ia masih ketakutan. Sejak pertama kali ia menjejakkan kaki ke rumah ini, ia pikir dirinyalah yang akan mati, tapi ternyata tidak. Lalu siapa yang membunuh Tuan Berg? Apa nanti orang itu juga akan membunuhnya? Jangan-jangan dalam makanannya juga ada racun? Ia berpikir keras. Sangat keras. Hingga sosok perempuan yang belum pernah dilihatnya itu keluar dari pintu dapur. Tertatih-tatih, dengan baju yang terkoyak dan rambut yang amburadul. Wajahnya melebam, biru. Entah sudah berapa kali wajah itu beradu dengan tangan yang besar dan gempal.

Lamat-lamat, sosok perempuan itu menyeringai penuh kemenangan.

 

 

Sidoarjo, 271015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar