image : www.decoist.com
Ia merasa, mungkin tak seharusnya ia ada di ruang
makan itu. Duduk di depan Tuan Berg yang menatapnya tajam. Mata yang menyimpan
dendam padanya. Bisa saja ia mati bahkan sebelum ia berhasil keluar dari rumah
mewah pria Belanda itu. Ia berpikir Tuan Berg pasti telah menyiapkan
rencana-rencana paling kejam, seperti membubuhi racun di dalam makanan atau
minuman, untuk membunuhnya agar Reina bisa didapatkan kembali. Tapi ia tepis
pikiran itu. Wajah Reina yang kesakitan dan melolongkan penderitaan di
pelukannya dua malam lalu, membuatnya bertahan untuk tetap di tempat itu.
“Aku tidak tahu apa makanan
kesukaanmu. Aku berpikir keras agar pertemuan malam ini memberikan kenangan
baik untukmu. Dan menyuruh juru masakku yang berasal dari negaramu, Lisa, agar
menyiapkan segalanya. Ah, dia perempuan yang susah diatur. Lupakan saja dia. Silakan
makan, semoga kau suka dan tidak kecewa dengan pilihanku.”
Ia menelan ludahnya
dalam-dalam ketika pria itu mengangkat tangan dan mempersilakannya makan. Sajian
khas dari tanah kelahirannya—Sie Itek, Gulai Kambing, secangkir kopi Aceh hitam
kental yang mengepul, dan Rujak Aceh dengan parutan es di atasnya—telah
memenuhi meja. Aromanya menguar, menusuk-nusuk hidungnya, namun lagi-lagi ia
terlalu takut untuk memakannya.
Wajah Tuan Berg seperti
berkata “Matilah kau!” setiap kali ia memandangnya. Kebencian sedaritadi ia
rasakan menguap dari tubuh pria itu dan memenuhi ruang makan. Semua karena
Reina. Ya, semua karena ia telah berani mengambil Reina.
Pertama kali bertemu dengan
perempuan itu ia tidak mengira jika Reina telah bersuami. Perempuan itu masih
muda, dua puluh tiga tahun. Mereka bertemu di sebuah pameran lukisan. Ketika
itu Reina berdiri mematung di depan lukisan yang ia buat. Mata perempuan itu
basah. Melihat itu, hatinya trenyuh. Ia melangkah pelan ke arah Reina. Seperti
ada magnet di sekitar perempuan itu yang menariknya untuk mendekat.
Reina terkesiap saat
melihatnya. Ia pun berdebar-debar. Dengan kikuk ia menyodorkan saputangannya
pada perempuan itu. Mereka menikmati keheningan sejenak. Saling bersitatap. Hingga
akhirnya, dengan cekatan yang gemulai perempuan itu meraih saputangannya,
menghapus air mata dan berucap terima kasih.
Tidak ada manusia lain di
antara mereka berdiri. Hanya sebuah lukisan seorang wanita telanjang dada yang
mendekam dalam lingkaran sunyi berwarna pekat. Ia dan Reina menatap lukisan
itu, menikmati setiap detik yang bermain-main di antara keduanya.
“Apa kau suka lukisan itu?”
tanyanya memecah hening.
“Iya. Lukisan ini
menyentuhku.”
“Apa kau tadi menangis karena
melihatnya?”
“Sedikit.”
“Itu karyaku.”
“Benarkah?”
Wajah Reina sedikit takjub.
Perempuan itu memandanginya dengan bola mata berkesip. Seperti ada kesenangan
yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Lalu meletup-letup.
“Ya. Aku melukisnya ketika
merindukan Ibu. Ia sudah meninggal lima tahun lalu. Aku hidup sendiri dan
kesepian sejak ia pergi, lalu aku lari ke negara ini.”
“Hmm, menarik. Apa judul
lukisan ini?”
“Kematian Ibu dalam Kesunyian
yang Lembut.”
“Indah sekali.”
“Ya, aku tahu itu. Tapi
sungguh, sebenarnya kematian ibuku tidak seindah lukisan ini.”
Perempuan itu memandangnya
dengan tatapan haru. Mereka seperti merasakan kesedihan yang sama dan terperangkap
dalam sebuah ruangan yang gelap. Rasa itulah yang membuat mereka saling memahami
walaupun baru saja bertemu. Membuat mereka dekat, untuk sama-sama merasakan
sepi. Sama-sama mencintai. Dan setelah itu, mereka memutuskan untuk melakukan
pertemuan-pertemuan berikutnya. Pertemuan yang hening sekaligus menggairahkan.
“Mengapa kau belum memakannya?
Apa kau takut sesuatu akan terjadi padamu?”
Suara berat Tuan Berg
menggelegar, membuat ia terbata-bata. Kikuk. Ia tidak tahu akan berkata apa
untuk menjawab pertanyaan pria itu.
“Kalau kau berpikir aku akan
membunuhmu dengan racun di makanan itu, aku kira itu pikiran konyol. Bagaimana
aku akan menyembunyikan tubuhmu yang besar itu di dalam rumahku nanti?”
Tuan Berg terkekeh. Tawa yang
menggigit, membuat ia menelan ludah.
Dengan terpaksa ia pun mencoba
meraih sendoknya. Jari-jarinya gemetaran. Pikirannya mencoba mempercayai
kata-kata pria di hadapannya itu. Tapi wajah Reina yang membiru membuatnya
kembali waspada.
“Kau lelaki pendiam dan
membosankan. Bagaimana bisa Reina memilihmu lalu meninggalkanku begitu saja? Perempuan
bodoh!”
Tangannya terhenti. Ia
cengkeram sendoknya kuat-kuat.
Gerimis malam itu mengguyur
isi kepalanya. Gerimis di Amsterdam yang begitu dingin menghantarkan tubuh
Reina yang kuyup dan gigil. Wanita itu berdiri di depan apartemen miliknya,
tanpa payung. Jalanan belum terlalu lengang, dan ia baru saja pulang dari
minimarket, berjalan kaki. Ia sangat terkejut. Di matanya Reina nampak begitu
rapuh.
“Re—Reina ....”
Dengan lesat ia menghambur ke
arah perempuan itu. Didengarnya isakan berat yang memecah suara-suara gerimis.
Ia begitu cemas. Reina tidak berkata apapun, hanya melipat sengguk di antara
pucuk gerimis yang berjatuhan. Itu adalah malam yang paling menyesakkan baginya
setelah lima tahun paling menyedihkan berlalu—ibunya juga meninggal di malam
hari, di kala gerimis. Dan ketika ia melihat Reina, ia meyakinkan dirinya
sendiri agar jangan pernah kehilangan lagi perempuan yang sangat dikasihinya.
“Tuan Berg, katakan padaku,
apa kau benar-benar mencintai Reina?”
Ia menatap pria di hadapannya
dengan tegas, mencoba menguatkan dirinya walaupun dadanya masih saja gemetaran.
Ia berharap pria itu tidak tersinggung dengan pertanyaannya. Karena, jika Tuan
Berg yang tinggi dan besar itu menghantamnya sekali pukul saja, ia pasti sudah
pingsan. Atau bahkan mati.
“Mencintainya?”
Pria Belanda itu tertawa.
Lebih tepatnya, menertawai pertanyaannya yang dianggap konyol. Suaranya memantul-mantul
di dinding ruang makan yang ditata dengan nuansa hitam dan putih. Ada sebuah
mini bar dengan tiga lampu gantung di langit-langitnya, tepat berada di
belakang punggung Tuan Berg. Botol-botol minuman berjajar rapi di lemari kaca
yang merapat dinding. Di sisi kanan mini bar itu ada sebuah pintu kayu berwarna
hitam yang berbentuk seperti pintu-pintu bar di kota-kota koboi. Di balik pintu
itulah dapur Tuan Berg berada.
“Itu pertanyaan konyol. Kami
menikah sudah tentu karena cinta. Apalagi jika bukan cinta, Agam? Tidak ada!”
ujar pria Belanda itu. Tangan kekarnya yang ditumbuhi bulu-bulu rambut berwarna
pucat kekuningan sedang asyik menyendok makan malamnya—sepiring Stamppot
yang masih mengepul, dengan sepotong Rookworst.
Melihat Tuan Berg
menghinanya—berbicara tanpa melihat ke arahnya—dadanya seketika meremang,
menekuri amarah. Geram. Ia ingat tentang lebam biru di pipi dan mata kiri Reina.
Ingat tentang luka cambuk di punggung perempuan itu juga, lalu tangisan Reina
yang menyayat di malam gerimis itu. Jika benar pria di hadapannya itu mencintai
Reina, bagaimana bisa semudah itu melukainya?
Pria itu iblis. Ia yakin itu.
Di malam dua hari lalu, Reina
telah menumpahkan semua derita di telapak tangannya. Ia mendengarkan dengan
hati yang melarat-larat. Sesak. Kisah Reina sama dengan apa yang dialami
ibunya. Perempuan yang sama, yang menyimpan kepedihan di dalam hatinya. Saking
pedihnya, terkadang mereka mengharapkan batu-batu besar bersedia menelan tubuh
mereka.
Dulu, ia selalu ingin menolong
ibunya yang hidup dalam penyiksaan bapaknya. Ingin membawanya lari, atau
membunuh bapaknya itu agar ibunya benar-benar bebas. Tapi kenyataannya, ia
tidak melakukan apapun. Ia pengecut kecil, dan itu membuatnya menyesal hingga
kini. Hingga ibunya mati.
“Tapi aku mungkin bisa
merelakannya bersamamu.”
Mulut pria itu bergumam
kembali. Kali ini suaranya tidak terlalu jelas, karena mulut itu baru saja
penuh dengan makanan.
“Hanya saja ....”
“Hanya saja apa?”
“Kau harus melakukan sesuatu
hal untukku malam ini.”
“Melakukan apa?”
Pria itu menyungging senyum.
Senyum yang terlihat jahat di matanya. Ia melihatnya, ada tipu muslihat di mata
pria itu. Mata yang berbahaya.
“Makanlah makananmu, Aku sudah
bersusah payah menghidangkannya untukmu. Setelah itu, kau boleh pergi dari sini.
Selamanya.”
Ia menelan ludah. Jari-jari
tangan kanannya masih saja mencengkeram erat sendok perak yang lebih berat
daripada sendok-sendok di apartemennya. Dilihatnya pria itu masih saja
memandangnya nanap, sambil mengunyah makanan lekat-lekat.
Perlahan ia mengangkat
sendoknya, menukil sebagian nasi dan Sie Itek. Ia ingat ibunya sering memasak
itu setiap Ramadhan tiba. Ini Sie Itek pertamanya setelah lima tahun berlalu.
Matanya ingin leleh, tapi diurungkannya niat itu. Ada hal menakutkan yang
sedang menelanjanginya di ujung sana, pada mata pria Belanda di hadapannya. Dalam
hati ia menyebut nama Reina, mengucap maaf bila saja setelah malam ini ia tidak
bisa kembali pulang.
Malam terus melata. Ujung
sendoknya hampir menyentuh bibir, ketika suara napas yang tercekat terdengar di
cuping telinganya. Di sisi lain meja makan, Tuan Berg terlihat ketakutan. Pria
itu berdiri, mundur beberapa langkah dengan tubuh sempoyongan. Mata biru itu
membuntang, bulat, dengan mulut yang mengangah. Suara napas tercekat itu
semakin keras, seperti lenguh binatang yang akan dijemput ajal.
Ia ketakutan. Tubuhnya semakin
gemetaran. Ia tidak mampu berdiri, walau ingin. Ia hanya duduk di kursinya,
mencegkeram sendok peraknya kuat-kuat. Hingga matanya yang basah itu—karena
rasa takut yang kuat ia berkaca-kaca—melihat tubuh Tuan Berg roboh, tersungkur
ke lantai.
Bibirnya terkatup. Di antara
debarannya yang bertalu-talu ia mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi di
depannya. Keringat dingin mengucur deras di pelipisnya. Pandangannya tak
sedikit pun lepas dari tubuh Tuan Berg yang tersadai, tidak lagi bernyawa.
Ia berusaha mendekat, tapi
kaki-kakinya terasa kaku. Ia masih ketakutan. Sejak pertama kali ia menjejakkan
kaki ke rumah ini, ia pikir dirinyalah yang akan mati, tapi ternyata tidak.
Lalu siapa yang membunuh Tuan Berg? Apa nanti orang itu juga akan membunuhnya?
Jangan-jangan dalam makanannya juga ada racun? Ia berpikir keras. Sangat keras.
Hingga sosok perempuan yang belum pernah dilihatnya itu keluar dari pintu
dapur. Tertatih-tatih, dengan baju yang terkoyak dan rambut yang amburadul.
Wajahnya melebam, biru. Entah sudah berapa kali wajah itu beradu dengan tangan
yang besar dan gempal.
Lamat-lamat, sosok perempuan
itu menyeringai penuh kemenangan.
Sidoarjo, 271015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar