Kamis, 24 Mei 2018

PEMUDA YANG TERSESAT DAN KOTAK TAWA

PEMUDA YANG TERSESAT 

Di hari ketika kami berpisah, Wulan tak mengucap apa pun tentang kehamilannya. Ia baru mengatakan segalanya sore ini, padahal lima bulan telah berlalu. Pagi itu, di terminal Purabaya, Wulan hanya memelukku erat dan tanpa kata-kata atau tangisan yang dibuat-buat agar nampak seperti perpisahan yang menyedihkan. Aku berpikir, semua karena kata-kata dan air mata sudah terlalu banyak kami hibahkan pada hari-hari kebersamaan kami, tapi ternyata aku salah. Ia sengaja menyimpan segala kepedihannya seorang diri.

Sekali lagi angin laut mempermainkanku. Aku mengerjab-kerjab, memandangi ombak-ombak kecil yang berlarian menerjang dinding batu tempatku terduduk dengan menggenggam erat ponsel. Wulan tidak memintaku kembali ke kotanya—padahal hanya butuh beberapa jam perjalanan saja. Ia hanya berkata, “Aku tidak apa-apa. Aku akan selalu menunggumu pulang. Aku dan anak ini akan menunggumu pulang suatu saat nanti.” Air mataku pecah. Aku masih ingin mengenang Wulan, tapi senja sudah tiba. Aku harus segera kembali pulang ke rumah Mak Muah.

Mak Muah adalah perempuan tua yang mengizinkan aku ikut tinggal di dalam rumahnya yang sederhana, selama aku singgah dan tersesat di desa pesisir ini. Ia seorang pendongeng yang andal. Ia hidup seorang diri. Suaminya sudah mati bertahun-tahun yang lalu, dan mereka tidak mempunyai anak. Ia hidup dalam kesendirian, kesepian yang melarat-larat.

Setiap habis sholat Isya, anak-anak akan berkumpul di teras rumah Mak Muah. Mereka duduk di bawah kaki perempuan tua itu, mengelilinginya bak acara selamatan. Anak-anak itu akan mendongak ke atas—Mak Muah duduk di atas kursi rotannya—manggut-manggut atau membuka mulutnya lebar-lebar. Ada juga yang terkantuk-kantuk, lalu merebahkan tubuh di lantai ubin hingga ibu atau bapaknya datang menjemput dan menggendongnya pulang.

Secangkir kopi dan dua potong pisang nangka goreng sudah kuhabiskan dengan lahap. Mak Muah pandai menyeduh kopi yang hitam dan kental. Ada rasa sedikit pedas, aku kira itu merica dan kapulaga yang ditumbuk halus dan dicampurkan dalam kopi bubuknya. Itu membuatku mampu terjaga semalaman hingga pagi buta nanti, karena aku akan ikut berlayar menjaring ikan. Pak Soleh, tetangga Mak Muah-lah yang bersedia menerimaku bekerja di perahunya. Aku terbiasa melakukan pekerjaan apa pun dalam setiap perjalananku, dan untung saja aku tidak mabuk laut.

Menjelajahi laut di tengah malam seperti memasuki lubang hitam pekat yang sewaktu-waktu bisa saja menelanku. Dingin dan berguncang-guncang. Aku harus terus mampu terjaga, laut bisa saja menjadi kuburan yang menakutkan.

Ketika aku masih kecil, aku dan Ayah sering ikut terjun ke dalam tambak milik penduduk sekitar ketika mereka memanen ikan. Kami akan mencari ikan-ikan mujair, yang kecil-kecil tentu saja, karena yang besar akan dijual sendiri oleh pemilik tambak. Ikan-ikan mujair itu kami pilih yang bertubuh gelap seluruhnya, rasanya lebih gurih daripada yang ekor dan siripnya berwarna kemerahan. Ibu akan mengolahnya menjadi dendeng mujair dan itu yang terenak bagiku, karena ketika aku pernah makan di rumah salah satu kawanku yang ibunya juga memasak dendeng mujair, rasanya hambar dan payah.

Di sini, setelah pulang berlayar dan menjual hasil tangkapan kami di pelelangan ikan, Pak Soleh selalu memberiku sepotong atau dua potong ikan laut yang besar-besar. Ikan-ikan aneh yang belum pernah kumakan. Kemarin pagi aku mendapatkan tiga ekor ikan yang kulit tubuhnya keras, yang bahkan tidak bisa ditembus oleh pisau. Pak Soleh bilang itu jenis ikan karang, di Lamongan ikan itu terkenal dengan sebutan togeg, tapi nama umumnya adalah ikan ayam-ayam.

Aku mengamatinya dengan cermat dan tekun, merasa aneh dengan mata bulatnya yang besar dan bibir yang teramat tebal. Aku terus berpikir tentang bagaimana caranya agar aku bisa makan ikan yang bahkan tidak bisa kupotong-potong dan dibersihkan kulitnya yang sekeras batu itu.

Sesampainya di rumah Mak Muah, kuutarakan keanehan itu padanya, dan perempuan tua itu tertawa penuh pingkal, memperlihatkan gigi-giginya yang cokelat merah karena terlalu sering bersenggama dengan sirih, pinang, dan cengkeh. Ia berkata, “Togeg itu ndak perlu dibersihkan kulitnya, Le. Iki yo mung dibakar wae, mengko kulitnya bisa buka sendiri.”

Dan benar saja, ketika ikan itu dibakar di atas bara arang, kulitnya yang keras jadi melepuh dan pecah-pecah. Aku tinggal membukanya pelan-pelan. Dagingnya yang putih dan kesat itu ternyata jauh lebih enak daripada ikan bandeng, dan ikan togeg tidak memiliki duri-duri kecil yang tumbuh di daging-dagingnya seperti ikan bandeng. Aku lahap menyantapnya. Mak Muah hanya membuatkan sambal kecap dengan potongan bawang merah dan perasan jeruk limau, tapi bagiku itu sangatlah nikmat.

Suatu waktu—mungkin empat hari lalu, sebelum aku menerima ikan togeg—aku juga pernah mendapatkan ikan hiu yang masih kecil. Tubuh hiu itu memiliki bintik-bintik hitam. Pak Soleh bilang, daging hiu rasanya manis, dan ia benar. Mak Muah membuatkan kuah pedas dengan banyak potongan tomat hijau dan cabai yang dibiarkan utuh begitu saja. Keringatku sampai habis, dan Mak Muah lagi-lagi tertawa terpingkal-pingkal. Ia pikir tingkahku yang kepedasan itu lucu, mirip dengan mendiang suaminya.

Kini, malam hampir mencapai puncaknya dan anak-anak sudah pulang satu per satu, meninggalkan Mak Muah yang masih saja duduk di atas kursi rotannya yang digoyang-goyang pelan. Aku rebah di atas dipan kayu, di samping kursi rotan perempuan itu. Mataku sibuk menerawang di langit-langit teras ketika bunyi dering ponsel berbunyi. Itu pasti dari Wulan lagi. Setiap malam, Wulan selalu menyiapkan cerita-cerita baru, menemani kerinduanku padanya, sampai ia merasa lelah dan berujar ingin segera tidur.

“Hai,” ucapnya menyapa. Aku tersenyum dan bangkit dari dipan, mengambil posisi duduk. Mak Muah melihatku dengan senyum-senyum kecil. Ia tahu hubunganku dengan Wulan, tapi aku belum mengatakan perihal bayi kami.

“Ada cerita lucu hari ini,” ujar Wulan. Nada suaranya sudah lebih ceria daripada tadi sore. Kali ini ia berkisah tentang muridnya, Liona. Wulan adalah seorang guru TK. Ketika aku singgah di kotanya, aku bertemu dirinya di alun-alun kota, ketika ia dan Liona tengah menikmati pertunjukan boneka kayuku.

Perjumpaan itu adalah sebuah ketidaksengajaan yang membahagiakan. Kami saling jatuh cinta. Ia bahkan tidak mempedulikan siapa diriku. Sudah kukatakan aku tidak mungkin menjalin sebuah hubungan yang serius, karena aku akan selalu berjalan dan tersesat, mencari tawa-tawa bocah dan memasukkannya ke dalam sebuah kotak. Kotak yang kutahu tidak akan pernah penuh oleh tawa, jadi aku harus terus mengumpulkannya dengan bertingkah konyol, menjadi badut gendut yang pura-pura terpeleset, atau badut bodoh yang melompat-lompat lalu berputar-putar sambil melempar bola-bola ke atas dan pura-pura tidak bisa menangkapnya satu-satu.

Suara-suara ceria Wulan terus menggema di telingaku. Saat seperti ini, aku tidak pernah menyela ceritanya. Bagi diriku, ucapan Wulan seolah dongeng pengantar tidur dan aku sangat menyukainya.

Malam semakin larut. Mak Muah sudah terkantuk-kantuk. Percakapanku dengan Wulan akhirnya harus berakhir ketika Pak Soleh keluar dari pintu rumahnya dan memandangku. Inilah saatnya aku kembali menebas lautan yang pekat, dingin, dan berguncang-guncang.


KOTAK TAWA

Wulan mengetuk-ketukan tumpukan buku-buku itu di atas ubin, lalu melesakkannya ke dalam rak paling bawah, menatanya sedemikian rupa hingga pantat buku itu lurus dan menghadap sempurna ke depan. Ia mengamati tumpukan buku-buku itu sejenak, sambil mengelus-elus perutnya yang sudah semakin membuntal. Tangan kanannya kemudian meraih bolpoin dan sebuah buku besar, lalu menuliskan sesuatu di sana. Aku tidak bisa melihat, apa yang sedang dituliskannya. Jarak antara tubuh basahku dan dirinya terlalu jauh. Aku juga tidak ingin mengganggunya.

Sesekali kulihat Wulan berhenti menulis, mengalihkan pandangannya pada ponsel hitam yang diletakkan di samping kirinya. Ia menungguku. Aku tahu ia begitu menungguku. Saat-saat demikian itu tiba-tiba terasa hening. Dan kesunyian yang menyedihkan seperti itu, menguar hingga ke tempatku berdiri. Membuatku terenyuh.

Kuremas kotak tawa di genggamanku. Kotak itu masih belum penuh juga. Dulu, di hari ketika kakekku meninggal, ayahku berkata dalam isakan tangisnya, bahwa ia telah membuat bapaknya itu pergi dengan kekecewaan yang teramat dalam. Aku bertanya pada ayahku, dan ia menjawab kalau ia tidak bisa mengumpulkan tawa. Kakek ingin Ayah melakukan itu tapi Ayah dulu menolaknya dengan kasar, dan itu membuat kakekku terluka dan sedih.

Kakekku adalah seorang badut keliling. Ia mempunyai kotak tawa. Kotak itu berwarna biru langit dan kini telah menjadi milikku. Aku yang akhirnya memutuskan meneruskan impian Kakek: mengumpulkan tawa. Atau lebih tepatnya: membuat anak-anak tertawa. Dan sekarang, aku ingin menyerahkan kotak ini pada anakku, agar kelak bocah itu juga tahu, bahwa di dunia ini masih ada begitu banyak anak-anak yang membutuhkan tawa. Aku ingin, kelak bocah itu akan mengerti dan melanjutkan impianku dan Kakek.

Wulan menoleh ke arahku. Mengerjab sedih. Wajahnya terlihat murung. Aku jadi merasa bersalah. Aku ingin berlari ke arahnya dan memeluknya, tapi tentu saja itu mustahil.

Kuletakan kotak tawa itu di depan pintu, mengenai genangan air yang menetes dari tubuhku. Aku berjalan menjauh. Jejak-jejak air menapak di halaman sekolah tempat Wulan mengajar. Perasaan damai itu menyusup ke dada. Keinginanku sudah terpenuhi, dan sekarang, saatnya aku menjumpai malaikat kematian yang telah menungguku di sana. Di bawah laut yang paling gelap, tempat jasadku tenggelam, terhempas badai laut yang menggila. []


Sidoarjo, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar