Minggu, 09 Agustus 2015

DI MALAM KETIKA BAPAKMU HILANG


Oleh : Ajeng Maharani

 

(1)

 

BARU saja kau membuka mata, menggeliat lalu mengerjab, kau sudah tak melihat sosok ibumu lagi di atas ranjang. Pun demikian pula dengan bapakmu. Kamar pengap karena asap obat nyamuk yang dibakar itu kini menjadi sunyi. Kau merasa kesepian. Seketika itu pula kau turun dari pembaringan, lalu melangkah merayapi kegelapan dengan matamu yang menyala tajam, membawa tubuh kecilmu pada dapur yang tengah terang benderang. Kau yakin, ibu-bapakmu pasti ada di sana.

Sekejab, kau mendengus. Cuping hidungmu kembang-kempis digelitiki aroma amis darah segar bercampur bau daging mentah. Liurmu pun menetes. Segera kau mempercepat langkah menjemput bebauan yang membuat jantungmu menari karena kegirangan, juga dengan perut-perutmu yang meronta-ronta kelaparan malam ini.

Kini kau telah tiba di dapur kesayangan ibumu yang tak lebih besar dari kamar tidurnya itu. Kau lihat sekeliling dengan mata birumu, tak nampak bapakmu di sana. Hanya ada ibu yang nampak tengah asyik memisahkan tulang, daging dan jerohan. Tangannya yang terlumuri darah, sibuk memasukkan tulang-belulang ke dalam sebuah plastik besar berwarna hitam pekat, dibuntalnya rapat, lalu menarik-narik kantong itu keluar ke halaman belakang rumah dengan susah payah.

Kau melangkah manja mengikuti ibumu keluar, namun hanya pada sebatas pintu kayu jati yang telah keropos kolongnyalah kau berani untuk menempatkan diri. Ketakutan akan bunyi derit gesekkan dari pepohonan bambu yang menjulang tinggi membuatmu hatimu kelu. Suara yang mengingatkanmu pada bisik-bisik kematian.

Dari tempatmu meletakkan bokong, kau menangkap sosok ibumu memasukkan kantong ke dalam sebuah lubang yang mengangah. Kemudian menumpahkan sebuah cairan dari botol bekas minuman air mineral, dan menyalakan pematik apinya. Lidah-lidah liar itu pun membumbung, menjilat-jilat semua yang ada di dalam liang. Kau bergidik ngeri. Bulu-bulumu berdiri seketika karena gigil. Api itu terlihat seperti bayang-bayang neraka yang pernah kau dengar dari suara-suara pergunjingan di atap rumah tetangga ibumu.

Tak seberapa lama kemudian, ibumu kembali masuk ke dalam dapur. Mengelus kepalamu sebentar, lalu melangkah ke tungku perapian. Sebuah kuali besar bertengger di atas tungku kayu itu. Kuahnya yang mendidih, membuat aroma gulai daging dari dalamnya membumbung ke udara lalu menusuk-nusuk penciumanmu. Kau sangat yakin, gulai itu adalah pesanan dari salah satu penduduk desa. Karena di desa kecil itu, gulai ibumulah yang terbaik rasanya. Setiap ada hajatan, mereka selalu menggunakan jasa ibumu.

“Ini, Bie, makanlah,” ujar ibumu. Dia menyodorkan sepiring daging empal goreng sebesar telapak tangan manusia dewasa. Seketika itu pula, liur yang sedari tadi menetes di bibir kecilmu, menyusut. Dengan lahap kau terkam daging itu. Kau kunyah kuat-kuat. Rasa yang aneh, rasa yang tak biasa, batinmu. Kau pikir kali ini ibumu pasti tengah mencoba bumbu empal baru. Namun kau tetap tak memedulikannya. Itu jauh lebih nikmat dari pada harus menahan rasa lapar yang menggigit sejak tadi.

“Bagaimana, Bie, enak dagingnya?”

Kau mengangguk. Matamu berbinar-binar sebagai tanda ucapan terima kasih pada ibumu.

“Sepertinya, tujuh hari ke depan kita akan makan daging terus, Bie. Setiap hari!”

Sesungging senyum menggaris di bibir ibumu. Senyum yang dingin. Tapi kau tak peduli, masih lahap dengan makan malammu yang lezat.

 

 

 

(2)

 

SENJA yang melumat langit baru saja melata pelan-pelan ketika perempuan muda berambut sebahu itu datang menemui ibumu. Kau yang saat ini tengah terduduk di pangkuan ibumu hanya diam sambil memandang dengan mata bulatmu. Wajah perempuan itu melarat-larat, matanya leleh, namun kau tahu semua itu tak membuat hati ibumu tersentuh. Dia menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan tamunya dengan ketus. Kalimatnya menukik. Pahit. Seperti ada kebencian yang teramat di hatinya.

“Aku mana tahu di mana suamimu! Sudah tiga tahun dia tak pulang ke rumah ini. Bisanya menelantarkanku, dan bersuka cita sama perempuan muda seperti kamu. Semua gara-gara kamu, tahu!”

Ibumu meludahi tanah. Matanya membuntang. Urat-uratnya menegang. Kau rasakan ibumu benar-benar terpanggang amarah. Baru kali ini kau melihatnya demikian. Padahal setiap malam, wanita separuh baya itu bisanya hanya menangis sambil meratap-ratap tentang nasibnya yang telah lama ditinggalkan oleh sang suami.

Ibumu terus melemparkan umpatan padanya—mengatakan tentang dendam dan kebencian—membuat perempuan muda itu makin terisak. Bola matanya menyipit. Kau melihatnya dengan hati yang benguk. Ibumu masih terus sibuk menatapnya dengan kemarahan. Cukup lama waktu tertatih di antara kalian bertiga. Hingga akhirnya, perempuan muda itu memutuskan untuk pergi tanpa meninggalkan kata-kata dan kau kembali sibuk membenamkan tubuh di atas kursi goyang kesayangan ibumu.

 

 

 

(3)

 

KEMBALI ibumu membuka frezer pagi ini. Sebuah buntalan daging dalam kantong plastik hitam kecil dikeluarkannya dari sana. Daging-daging itu seperti tak pernah bisa habis. Sejenak, kau teringat tentang kuali besar berisi gulai yang panas lima hari lalu. Kau lihat ibumu membaginya ke para tetangga. Gulai dengan rasa daging yang tak biasa. Gulai yang dilumerkan di atas tungku kayu yang membara, pada malam ketika sosok bapakmu pun tiba-tiba menghilang dari ranjang tidurnya.  

 

 

-Sidoarjo, 121014-

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar