Rabu, 12 Februari 2014

HENING MERAJUK



“Berhentilah menemaniku.”

Hening menggerutu pelan.

“Apa kau sedang bermimpi? Kita ini sejiwa, tidak mungkin salah satu dari kita bisa pergi begitu saja, Hening.”

“Tapi aku jengah sama kamu. Bosan.”

“Mengapa?”

“Kau membuatku semakin kelam. Bukan seperti itu diriku yang sebenarnya. Selama ini, kaulah yang menutupi binar cerahku, Sunyi.”

Sunyi terperangah. Sinar wajahnya mulai mengusut, kecewa dengan perkataan Hening.

“Kata-katamu menyakitkan, Hening. Tak seharusnya kau ucap seperti itu.”

Hening terdiam, memilih bersembunyi kepada sang Bisu. Guratan-guratan halus pada wajahnya, semakin nampak menyeruak. Menunjukan usia yang sangat tua. Uzur sekali. Renta seperti sang Bumi.

“Hening..” desah Sunyi memohon.

“Aku ingin bisa berpendar seperti sinar Bulan yang terpantul pada bibir Laut di malam hari. Ingin berwarna dan berwarni seperti Pelangi yang menengok Bumi setelah sang Hujan turun. Juga ingin bisa bersenandung merdu seperti suara Angin yang berdesir di sela-sela rerimbun pohon, menarikan tarian semilir bersama daun-daun.” Hening menghentikan omelan panjangnya sebentar. Ditatapnya mata Sunyi lamat-lamat. Bulir bening mengalir dari sudut penglihatan Hening.

“Aku, aku hanya tak ingin hanya menjadi sebuah Hening yang tak bersuara karena terperangkap dalam dekap Sunyi. Aku ingin hidup, bersinar, dan lebih memberi manfaat pada manusia.”

Hati Sunyi terenyuh, haru. Dibelainya rambut Hening yang memanjang indah dengan gelombang lembutnya. Pelan, pelan dan pelan. Penuh cinta.

“Kau bukan Bulan yang mempesona dengan keanggunannya. Bukan Pelangi yang ceria dengan carut warnanya. Juga bukan Angin yang pandai menari riang menghibur dedaunan, hingga mereka termabukan dan akhirnya jatuh gugur ke tanah. Bukan. Engkau hanya sebuah Hening sayang. Jadilah dirimu sendiri, jangan cemburu dengan yang lainnya.”

Sunyi mengangkat dagu Hening dengan jemari lembutnya, “kau adalah Hening yang cantik. Engkau anggun walaupun tanpa perlu bersuara. Manusia mencintaimu dengan caranya sendiri. Mereka membutuhkanmu, Hening. Tanpa kamu, mereka tidak mungkin bisa merasakan kesendirian, tidak bisa merasakan kehampaan. Tidak bisa memahami kesejatian diri mereka sendiri. Setelah bersetubuh dengan dirimulah, manusia bisa kembali bangkit. Bisa kembali menghadapi masalah mereka.”

“Benarkah?”

“Iya, Hening. Pada sela-sela senyumanmu itu, manusia belajar berpikir tentang masa depan. Mereka butuh kamu, butuh keheningan untuk bisa memaknai sesuatu. Kau tahu itu bukan.”

Senyum Hening merekah. Matanya kembali berbinar cerah.

“Nah, begitulah kamu, Hening. Kau cantik dengan kesunyianmu.”



Feb 13, 2014
11:17




Tidak ada komentar:

Posting Komentar