Rabu, 12 Februari 2014

BAIT DUA HATI




Hai, Pue, hujan semakin lebat. Detik-detik yang kulalui tanpamu begitu hening dan sayu. Apakah kau lupa akan janjimu sendiri? Tentang hujan dan secangkir cokelat hangat untuk berdua.

Di sini tidak ada kamu. Tidak ada kita. Hanya aku, terduduk di depan jendela rumah kita. Jauh mataku menerawang, menelan semua riak hujan dalam kegelapan.

Ah, Pue, aku merindukanmu. Kapan kau akan pulang?

***

Mue, aku sedang tersesat.. Masih layakkah aku kembali padamu, Sayang?

Lihatlah hujan yang berserakan di tanah itu, mereka begitu riang menertawaiku. Menatapku dengan sorot mata yang mencemooh.

“Kau lelaki murah!”

“Kau lelaki murah!”

Suara mereka terus menyiksaku, Mue.

Sakit.

Benarkah aku semurah itu? benarkah, Mue?

***

Dingin.

Gelap.

Sepi ...

Kapan kau akan kembali? Cokelat di cangkirmu telah dingin.

Ah, atau mungkin engkau tengah menanti redanya sang hujan? Agar bisa kembali pulang kepadaku, Pue?

Jangan limbung, Pue, hujan sederas apapun pasti akan mereda. Dan pelangi pasti muncul setelahnya, Sayang.

***

Aku malu.

Aku kotor karena dosa.

Aku khilaf.

Bahkan kata maaf pun takkan cukup mampu mengutarakan seberapa menyesalnya aku akan pilihan yang telah kulalui.

Kau takkan bisa mengerti, Mue.

Tak seorang pun bisa memahami perasaanku.

Bahkan diriku dibuat tak berdaya, ditelan oleh kegilaanku sendiri!

***

Tidak.

Telah kuketahui dari kebisuanmu, dari tatapan sendumu, juga pada puing-puing igauan mimpimu, Pue.

Aku paham, kau sedang terluka, menyimpan sebuah dosa pada hatimu.

Kau sakit, aku ikut merasakannya.

Kau menangis dalam hening, aku pun merasakannya.

Maka, Pue, pulanglah. Jangan takut.

Cintaku tak pernah luntur sedikit pun, walau kau telah membagi hatimu.

Pulanglah ... bagi dukamu padaku, bagi kesedihanmu padaku. Kan kupeluk semua lenguh sesakmu, dan meleburnya dalam batinku.




Feb 11, 2014
22:26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar