Seisi rumah pada ribut. Papa, Mama, Oma, Opa, Iyem, bahkan Ulla, si kucing
anggora betinapun juga ribut mengeong tak henti-henti. Mereka bingung
bertanya-tanya, kemanakah perginya suara Kyna?
Anak gadis satu-satunya itu
secara gaib kehilangan suaranya. Berteriak sekeras apapun, membuka mulut
selebar apapun, tetap saja tidak ada suara yang keluar. Hampa, dan kosong.
Dokter terhebat sudah
didatangkan. Orang-orang pintar, bahkan para dedukun sudah berdatangan. Tetapi
tetap saja semua angkat tangan. Seolah benar, suara Kyna telah ditelan oleh
sang gaib.
Siapa?
Apa?
Semua saling berpandangan.
Menelan ludah mereka masing-masing. Kalimat-kalimat mereka saling tergagap
karena ketakutan yang teramat sangat.
Benarkah “dia” yang telah menelan
suara Kyna? Ah, tidak. Bisa saja mereka salah. Itu hanya sebuah mitos. Hanya
dongeng isapan jempol semata.
Tetapi, bagaimana jika dongeng
sedih dan penuh kengerian itu benar-benar ada? Apa yang diinginkan Kyna? Dendam
dan kebencian seperti apa yang disimpan Kyna selama ini, sehingga gadis cantik
itu datang pada “dia”?
Tidak ada yang tahu.
Keributan yang sedari kemarin
itupun akhirnya mereda dengan menyimpan sesak pada hati keluarga Kyna. Mama dan
Oma menangis tersedu. Papa geram, ingin sekali meneriakan makian pada anaknya.
Bagaimana Kyna bisa sebodoh itu?
“Arghh!” teriak Papa.
Rumah Kyna dirundung mendung.
Lalu sementara itu, di dalam
kamar yang bersemu merah jambu, Kyna
terduduk dalam hening. Matanya menerawang pada langit-langit kamar. Sendu. Haru
membiru. Bunyi detak hatinya tergantung lemah pada penyesalan yang teramat
dalam. Sudah banyak bulir perih yang dia alirkan.
Dalam keheningan dia membatin, Tuhan,
tidak bisakah semuanya kembali?
***
Sekali lagi Kyna menahan nafas. Berusaha meyakinkan bahwa apa yang hendak
dilakukannya adalah benar.
Kyna, ayo, kuatkan
keinginanmu, besarkan keberanianmu. Melangkahlah lebih ke dalam lagi..
Glek!
Ditelannya setetes ludah.
Ayolah, pemuda itu pantas
mendapatkan ini semua, Kyna. Dia mencampakkanmu, mengatai kau sebagai gadis
manja yang tak pantas untuk dicintai.
Buktikan!
Buktikan jika dia telah
salah...
Glek!
Sekali lagi menelan, tetapi kali ini dengan membusungkan dada. Memantapkan
hatinya. Iya, benar apa kata sang batin yang berdengung-dengung di otak, pemuda
itu harus dibuat menyesal. Harus!
Bagaimana tidak pantas? Deo yang teramat dicintainya itu, ternyata
berselingkuh dengan sahabat Kyna sendiri, Rara. Sudah lama, bahkan sudah
berlabuh pada hitungan tahun. Dan selama itupun Kyna begitu tulus menyayangi
mereka berdua. Apapun diberikan. Hati, cinta, waktu, bahkan tubuh. Apa yang
kurang? Apa!
Benarkah Kyna semanja itu? Yang hanya bisa memikirkan keinginannya sendiri?
Argh! Masa bodoh dengan sebutan itu, hanya alasan Deo saja, agar dia bisa lepas
dari tangan Kyna.
Iya, pasti begitu..
Akhirnya Kyna berani menjejakkan kakinya semakin dalam. Suara hening mulai melindap.
Desir angin yang berliku di sela-sela dedaunan membuat suasana Bukit Perawan
makin menyeramkan. Pohon-pohon yang menjulang tinggi, angkuh menutup sinar
matahari. Bukit seram yang dijauhi para penduduk kampung itu, tampak semakin
likat karena gelap.
Perlahan Kyna melangkah mendekat pada sebuah pohon beringin tua, berbadan
hampir sebesar rumah. Suasananya mencekat, begitu mencekam. Aura kebencian dan
amarah yang terpancar dari sang pohon, membuat bulu-bulu halus gadis limabelas
tahun itu berdiri tegak.
Ah, di tempat inikah semua manusia membuang kebusukannya? Mengikuti kemana
arah dendam akan berjalan? Menyedihkan.
Panggil dia Kyna. Panggil
peri itu..
Sepenggal dua penggal, dihembuskan nafas dingin dari mulutnya. Kyna
gemetaran. Dia benar-benar sedang ketakutan.
“Bagaimana bila rupa peri itu menyeramkan?” desahnya.
Kyna, ingatlah lukamu.
Dengarkan kembali tangisan-tangisanmu di tiap malam itu, sayang. Ingatlah Deo,
ingatlah Rara...
“Iya, kau benar. Tangisan itu harus dibayar sama Deo dan Rara!”
Gadis berambut sebahu itu sudah menguatkan tekad. Benar-benar bulat
sempurna. Tanpa perlu menunggu berlama-lama lagi, Kyna duduk bersujud,
merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Dalam hati dia mengucap sebuah
nama.
Iya, sebuah nama, yang seharusnya tak boleh disebut dengan gamblang.
Tiba-tiba angin mendesir kencang. Sebuah sinar dengan kerlipnya berdenyar
ke arah Kyna. Diiringi sebuah tawa cekikikan yang menyayat pilu.
Kyna terkejut. Seketika itu juga melompat mundur. Tubuhnya lemas.
Kaki-kakinya ngilu. Kini rasa takut Kyna, sudah diambang batas wajarnya.
Sinar itu terbang mendekat pada wajah Kyna. Perlahan kerlipnya mulai berpendar.
Menampakkan sebuah sosok mungil sebesar mentimun telunjuk, memiliki rupa
manusia berhidung mancung, dan bersayap seperti seekor capung.
“Apa yang hendak kau pinta?”
“Aa, aku, aku..” Kyna tergagap. Jantungnya masih berdegup kencang, tak
ingin berhenti.
Makhluk itu terkekeh sekejab. Wajahnya kesenangan. Entah sudah berapa lama
dia tidak menemui manusia yang akan memberikan makanan kesukaannya untuk
ditukar dengan sebuah keinginan.
Setahun. Dua tahun. Atau seabad, dua abad. Entahlah.
“Suaramu indah.”
Kyna menelan ludah untuk kesekian kalinya. Wajahnya masih memucat. Hati
kecil Kyna mulai ragu. Apakah benar ini yang dia inginkan? Lalu jika nanti
permohonannya terkabulkan, apakah dia bisa berbahagia lagi? Sekali lagi...
Terbesit wajah Deo. Lalu samar-samar muncul bayangan Rara. Kyna benci
sekali dengan mereka. Benci! Bahkan jika harus kehilangan sesuatu demi membalas
sakit hati, Kyna rela. Sangat rela. Sudah muak dia dengan pengkhianatan mereka
berdua.
Iya Kyna, kesakitanmu harus
dirasakan juga oleh mereka..
Kyna mengangkat kepalanya, sudah tidak ada lagi rasa takut dan terkejut.
Sudah bukan waktunya menyesali apa yang sudah dikehendaki. Lalu serta merta,
dengan suara lantang, Kyna berteriak membabi buta pada keheningan.
“Aku, aku ingin mereka berdua merasakan sakit! Hei kau peri penunggu Bukit
Perawan, lahaplah seluruh suaraku. Lalu hancurkan mereka, buat aku puas melihat
Deo dan Rara menderita! Aku ingin mereka hancur, sama seperti hatiku!”
Awan langit tiba-tiba menggulung
hitam. Desir angin semakin kencang, menerbangkan daun-daun, ranting, bahkan
tanah hitam di bawah kaki Kyna. Peri kecil itu tertawa terbahak-bahak karena
terlalu senang. Sudah lama dia kelaparan, dan akhirnya ada seorang anak Adam
yang sedang mengikat sebuah perjanjian dengan dirinya.
Pohon beringin bergoyang. Terdengar suara tangisan yang melolong panjang.
Tidak hanya satu, tetapi banyak. Berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus!
Menangis, berteriak. Suara-suara mereka menyanyat hati Kyna. Menggema ke semua
arah bukit. Merobek telinga siapapun yang bisa mendengar tangisan kesedihan.
Apakah itu suara-suara manusia yang telah dicuri oleh sang peri? Sepedih
itukah hidup dalam kebisuan?
Kyna ketakutan. Air matanya mengalir deras. Getar tubuhnya menghebat.
Hei! Tidak bisakah ini
dihentikan? Tidak bisakah kalian diam! Cukup, hentikan. Hentikan kataku!
Gadis itu menutup telinganya rapat-rapat. Jiwanya terguncang hebat. Dia
berteriak. Berteriak! Berusaha sekencang apa yang dia bisa.
Tetapi terlambat. Suara Kyna telah hilang.
***
Itulah Bukit Perawan
Menjulang gagah di ujung desa kami. Sebuah mitos bersemayam dalam
ketenangannya. Cerita tentang seorang peri jahat, yang akan mewujudkan semua
keinginan. Dia bisa membalaskan dendam dan kebencianmu. Tetapi dengan satu
syarat, berikan suara indahmu kepadanya.
Dan kau, apakah kau punya sebuah dendam yang ingin diwujudkan? Datanglah
kemari, akan kutunjukan di mana letak Bukit Perawan itu.
Feb 6, 2014
22:40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar