Adalah dia, Kemuning, wanita berhati tangguh. Dalam usia yang hampir
tigapuluh tiga, sudah mampu menaklukan musuh terkuatnya, aku, dirinya sendiri.
Sempat tidak percaya bagaimana dia mampu menjegalku masuk ke dalam rongga hati yang
terdalam, paling dasar dan paling gelap. Menguncinya rapat, tersenyum sebentar,
lalu menghilang tanpa memandang ke belakang. Meninggalkan aku dalam perasaan
kelam yang pernah kuciptakan sendiri, dahulu sekali, ketika aku masih mengagahi
hatinya.
Sudah dua atau tiga bulan ini, dia membiarkanku kelaparan. Tidak sekalipun
berbicara atau bahkan hanya sekedar menyapa hai. Padahal, sejak aku diciptakan
oleh perasaan kalutnya, kami selalu bersama. Berjalan beriring-iring. Tak
pernah dia meninggalkan aku dibelakang, melepas tangan, atau mengacuhkan perkataanku.
Lalu mengapa sekarang dia berkhianat?
Sudah lupakah siapa yang mengajarinya tentang hidup? Bahwa jangan pernah
mempercayai seorang pun, hanya kita. Aku juga sering berkata padanya, jika
hidup itu harus bisa membalas, jangan mau menjadi pihak yang lemah, begitu
mudah diinjak dan disakiti. Tidak! Kita bukan wanita yang harus menjadi sandal
bagi pria manapun.
Tetapi lihatlah kini? Dia diam padaku. Seolah aku ini sudah bukan bagian
dari dirinya lagi. Benda asing. Sesuatu yang harus dibuang jauh-jauh dari
kehidupannya. Baginya aku adalah hal buruk yang tak pantas bersemayam lagi di
otak. Hei, padahal diriku ini nyata keberadaannya. Lupakah kau, Kemuning?
Ah, sebentar, kuhela nafas dahulu. Aku sudah terlalu lelah menunggunya
datang menghampiri lalu menjulurkan tangannya kembali. Sama seperti dulu. Ingin
menari bersama, dan meneriakan isi hati kami seru-seru dengan nada pedas.
Oh ya, aku teringat. Terakhir kali kami bersama adalah malam itu, saat kepedihan
luka lama menyeruak berhamburan, keluar dari pori-pori. Denting sepi, bulan
durjana lalu anak embun yang mulai menampakan wajahnya. Mereka bertigalah yang
menemani deru tangis Kemuning, yang sudah lama begitu dia rindukan.
Tangisannya memilu, menyayat hati. Berteriak, menangis, tertawa terbahak,
kemudian menangis lagi kencang-kencang. Bulan bahkan malu untuk melihat
Kemuning, tidak berdaya dilahap dendam amarah yang meluap-luap. Dalam remang
cahaya dia menelungkupkan kaki, memeluk dengan kedua tangannya, sesegukan di dapur
sendirian. Iya sendirian. Sebenarnya aku tahu lelaki itu, suami Kemuning, bisa
mendengar teriakan dan tangisannnya, tetapi apa? Dia berpura-pura tuli. Hanya
diam merebahkan tubuh di kamar.
Makhluk yang menyedihkan. Lelaki paling egois yang pernah kutemui!
Lalu apa kau tahu ke mana Kemuning setelah itu? Membenamkan dirinya dalam
kamar mandi, dengan deru air kran yang deras, berkali-kali menyiram kepalanya
dengan gayung sebesar panci air. “Byur! Byur! Byur!” Seperti sedang mengusir
roh jahat dalam tubuhnya, sebuah ritual, sambil terus terisak. Kau tahu pukul
berapa saat itu? Duabelas malam. Aku pikir saat itu dia sudah gila. Tetapi
ternyata dugaanku salah.
Setelah malam itu, sekali pun dia tak pernah tertawa lagi padaku. Muncul
sebuah kekuatan baru yang entah datang dari mana. Dan itu menakutkan. Dengannya
Kemuning berhasil melawanku. Menindih semakin ke dalam. Terpuruk. Lalu
beginilah akhirnya. Dia bebas, dari cekikan dendam dan kebencian yang telah
bertahun-tahun menggerogoti pikirannya. Itulah aku, dendam dan amarah Kemuning
pada suaminya sendiri.
Ah, ini tidak boleh seperti ini. Tak bisa dia terus-terusan mengacuhkan
aku. Sungguh, harus segera bertindak sebelum kekuatannya semakin membesar.
Maka, dengan sisa tenaga yang tersimpan, aku berusaha memanggilnya sekali lagi.
Untuk yang terakhir kalinya, mungkin, tapi bisa saja juga tidak yang terakhir,
kita lihat saja nanti.
“Kemuning.” Hening menggema.
“Hai, bisakah kau mendengarkan. Sebentar saja, berbicaralah padaku.”
Diam, masih tak ada jawaban. “Kemuning. Kemuning!” kali ini lebih keras.
“Apa?” akhirnya dia menyahut walaupun dengan perasaaan malas.
“Apakah kau benar sudah menyerah pada perjuanganmu selama ini? Menuntut
hakmu untuk bahagia dari lelaki itu?”
Kemuning membisu sebentar, sambil terus merajut baju hangat untuk bayi
perempuannya. “Tidak. Aku bukan orang yang mudah putus asa, kau tahu benar
itu.”
“Lalu, mengapa sekarang kau melepaskan dirimu dari aku? Bukankah aku ini
kekuatanmu untuk melawan keegoisannya.”
“Bukan, kau salah.”
“Apa maksudmu aku salah?” Hatiku meradang. Tersinggung benar aku akan
perkataan Kemuning barusan.
“Kekuatanku bukan kamu, tetapi anak-anakku. Kau hanya sisi gelap yang
mengaku menjadi penolong. Kau merusakku.”
Hah? Apa! Huh, geregetan aku. Dia malah menyungging senyum, bukti kalau
benar-benar membenciku. “Jadi kau akan diam saja dengan perlakuan lelaki itu?
Dia itu pembohong, banyak menyimpan rahasia di belakangmu, dia bajingan, maen
perempuan. Kamu tahu benar itu! Bagaimana kau hanya bisa diam saja melihatnya
menari kegirangan, meloncat-loncat, dan menganggapmu bodoh karena begitu
pemaaf, begitu mudah dibohongi. Padahal sebenarnya kau tahu semua
kebohongannya. Kau tahu itu!”
Kemuning terdiam.
“Aku tidak bisa terima, Kemuning. Kau itu sedang dilecehkan. Apa gunanya
dia menikahimu jika hanya mampu menyiramimu dengan kebohongan saja? Bukan itu
guna kamu menjadi pendamping hidupnya.”
Dia menghela nafas panjang. Sekarang menatap mataku dalam-dalam sambil
berkata panjang. “Kau tahu, tidak ada gunanya menyimpan dendam dan kebencian
dalam hati. Justru akan membuat kita bobrok saja, hati akan semakin membusuk.
Tidak pantas aku memberi tangisku pada lelaki yang semaunya itu, biarlah sudah,
dia bukan menjadi prioritas lagi dalam hidupku. Kau tahu apa yang terpenting sekarang?
Anak-anakku, ibadahku, kebahagiaanku. Kan kukejar itu sampai malaikat maut
datang. Bukan lagi kesetiaannya, bukan lagi kejujurannya. Percuma. Kita tidak akan
bisa merubah sesuatu jika sesuatu itu sendiri tidak memiliki keinginan untuk
berubah. Sama saja menyayat tangan kita dengan belati, menyakiti diri sendiri. Biarkan
saja dia mau menumpuk dosa, itu hak dia menjalani hidupnya, mungkin memang
hanya segitulah batas kemampuannya. Lebih baik rubah diri sendiri menjadi lebih
baik lagi. Bukankah aku ini wanita yang tidak sempurna, belum mampu menjadi
istri yang baik.”
Sekarang aku yang membisu.
“Aku lebih memilih berdoa pada Tuhan, agar hati lelaki itu dibuka, disentuh
dengan tangan agungNya. Kau tahu kekuatan doa bukan?”
Benar, wanita ini semakin kuat. Dan aku menjadi lemah dihadapnya.
“Kau tidur saja di sana, renungkan perkataanku. Rubah dirimu menjadi hal
yang baik jika kau masih mau bersamaku. Aku tidak mendendam, pun tidak marah
dengan dirimu. Kau masih bagian dari jiwaku.”
Huh, apa katamu, merubah diriku. Dendam saja belum bisa terbalaskan, enak
saja. Sudahlah, mungkin saat ini kau menang, dan aku akan kembali kaku di pojok
gelap sana. Tetapi ingatlah Kemuning, bahwa aku masih ada, tersimpan di hatimu.
Ya, walaupun aku terbenam semakin dalam, tetapi kelak, saat kau putus asa
kembali, itulah saatnya kemenanganku akan berkibar.
Maka dengan bersungut-sungut aku kembali terdiam, malas berbicara kembali,
sementara Kemuning melanjutkan rajutannya.
Des 19, 2013
9:19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar