SEKUMPULAN dinding, duduk di ruang pertemuan. Ruang yang gersang, udara pecah lalu terkapar di antara kaki-kaki mereka yang pucat. Sebuah dinding yang paling tua berdiri. Waktu dan musim terlalu sering memamahnya. Dia memimpin doa dengan khidmat. Lalu sebuah dinding berwarna kuning pucat dengan kulit yang terkelupas tiba-tiba menyela.
"Saya sudah tak tahan hidup bersama mereka. Saya mau berhenti menjadi sebuah dinding!"
Ruang rapat bergemuruh.
"Saya juga!" Sebuah dinding biru dengan dengan tubuh penuh coretan crayon ikut berdiri dari kursinya, mengacungkan jari telunjuk dengan wajah yang memerah.
"Saya juga, Pak Ketua. Mereka egois, saya bosan diterlantarkan!"
"Saya juga!"
"Saya juga!"
"Saya juga!"
Dinding-dinding bersuara pikuk. Berceloteh, saling sahut-menyahut tentang dongeng-dengeng yang membosankan. Ruangan rapat gaduh. Dinding yang paling tua mengangkat tangan. Wajahnya masih saja teduh di antara sekumpulan dinding yang melompat-lompat karena marah, mendengus-dengus karena sesal.
"Sabar semuanya ... Sabar."
Semua dinding menjadi sunyi.
"Berkatalah satu-satu, lakukan dengan kepala dingin. Jangan suka berebut seperti mereka."
Dinding-dinding yang lain mengangguk, saling tatap, lalu mengangguk-ngangguk kembali.
"Mulai dari sisi utara, katakan apa yang hendak kalian katakan. Jangan takut berkata jujur. Kita bukanlah mereka yang tak bisa menerima sebuah kebenaran lalu membungkamnya."
Dinding-dinding yang lain manggut-manggut, saling tatap, lalu maggut-manggut kembali. Mereka kembali menempatkan diri di kursi masing-masing. Berpasang-pasang mata siap menatap, berpasang-pasang telinga siap mendengarkan.
Sebuah dinding yang duduk di bangku paling utara berdiri. Wajahnya begitu pucat. Suaranya serak, seperti suara kaleng minuman soda yang diremas-remas.
"Saya tak punya telinga lagi, Pak Ketua. Saya sudah memotongnya."
"Kenapa?" tanya dinding yang paling tua.
"Mereka hanya bisa bertengkar. Berteriak dan saling memaki. Saya bosan mendengar umpatan mereka. Kata-kata itu tak pernah berhenti memantul-mantul di telinga saya."
Semua dinding terenyuh.
"Saya juga tak lagi memiliki mata. Saya telah mencongkelnya seminggu lalu," ujar sebuah dinding yang duduk di samping dinding yang tak bertelinga.
"Kenapa?"
"Lelaki di tempat saya selalu marah setiap waktu. Memukul istri dan anak-anaknya. Air mata selalu pecah di sana, saya tidak tega melihatnya."
Semua dinding mulai basah, terisak-isak.
"Saya masih memiliki telinga dan mata, tapi saya sudah menjahit bibir saya, Pak Ketua," ujar sebuah dinding berikutnya.
"Kenapa?" tanya dinding yang paling tua, sekali lagi.
"Perempuan di tempat saya terlalu berisik. Dia punya banyak berita tentang tetangga-tetangganya, dan seluruh dinding di sekitar saya selalu bertanya, Berita apa lagi hari ini? Membuat saya bosan, dan akhirnya memilih menjahit bibir saya agar tak ikut-ikutan berisik seperti perempuan itu."
Semua dinding mengelus dada, menggeleng-nggeleng kepala. Tanpa ada yang tahu, di antara mereka ada yang bertetangga dengan dinding yang menjahit bibirnya, tapi dia memilih diam.
Ruang pertemuan masih saja dipenuhi dongeng-dongeng membosankan tentang manusia. Dinding rumah sakit menangis, dinding di tempat pelacuran marah-marah, dinding di toilet umum bosan dengan bau pesing. Dinding di bandara sudah tak berkepala lagi, dia menebas kepalanya sendiri, lalu menendangnya jauh-jauh. Dinding di penjara wanita meringis, perih di selangkangan. Dinding-dinding berdasi juga bosan melihat kecurangan, mendengar bisik-bisik muslihat, mengendus rencana-rencana atas nama keutuhan bangsa. Mereka terus menggerutu, mengutuk dan merutuk, menangisi penderitaan sesama dinding.
Mereka berteriak, "Balas mereka! Buat mereka hancur!"
" Ya, balas mereka! Buat mereka hancur!"
Ruang rapat gaduh. Tiba-tiba sebuah dinding paling kekar membanting tubuhnya di tengah-tengah rapat. Tubuh itu hancur. Ruang rapat jadi sunyi. Mata-mata menukik tajam pada bata yang berceceran di lantai. Sebuah dinding berlari kencang, lalu ikut-ikutan membanting tubuhnya, hancur. Sebuah dinding lagi, lagi, dan lagi. Dinding paling tua kebingunagan. Dia linglung. Tak ada lagi yang mendengarnya. Semua dinding menghancurkan diri sendiri. Ruang rapat berubah menjadi sekumpulan bata yang mati konyol.
Keesokan harinya, bumi menjadi rata. Tak ada lagi dinding, tak ada lagi kebosanan. []
Sidoarjo, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar