Minggu, 26 Februari 2017

BIBIR HALTE


Duduk. Orang-orang menunggu. Terkantuk-kantuk. Ada pengemis tertawa di telapak kaki mereka. Beri saya uang, Pak. Beri saya uang, Mbak. Perut saya kosong. Istri saya sekarat, dia kejang-kejang di amben bambu. Permisi, kepalamu terlalu besar. Geserlah sedikit, saya mau duduk. Bisakah kamu meledak? Kamu pikir aku Nazi? Otaknya itu tumpukan udang busuk! Sssttt...  Siapa presidenmu? Aku tidak punya presiden. Aku pecinta Tuhan. Ya! Lalu, siapa Tuhanmu? Lihat, kakek-kakek veteran makan arang! Permisi, hidungmu terlalu besar. Kamu mendengkur ya? Bus belum juga datang. Tunggu aku sejam lagi di rumah kita, Sayang. Jangan ungkit-ungkit tentang hidung! Hei, siapa presidenmu? Kubilang aku tidak punya presiden! Negara sudah terlalu sakit, jiwanya patah, butuh jarum-jarum nenek untuk menjahitnya kembali. Apa kamu tahu? Bus memang tidak pernah tepat waktu. Perempuan tua menarik gerobak, berisi halaman rumah. Suaminya menyimpan perempuan lain di bawah ketiak. Ladang dan gunung dan sawah dan hutan belantara di tanganku sudah gundul, isinya pecah berhamburan, telapak tanganku kosong. Negara adalah rumah yang besar. Tubuhnya bau busuk. Tidak ada cerobong asap di langit malam. Hei, ada kutu di rambutmu! Sudahlah, dewan saja otaknya penuh kutu. Ya, dan hidungmu benar-benar besar! Tuan, anak saya mau mati. Sedekah! Sedekah! Artis AA dua ratus juta? Sedekah! Sedekah! Sudah kubilang, jangan singgung tentang hidung! Kamu seorang Nazi ya?

Oh, Tuhan, kapan hujanmu ini akan berakhir? []



Sidoarjo, 2015

2 komentar: