Minggu, 08 November 2015

TELIKUNG

Oleh : Ajeng Maharani


Kepala saya berdenyut-denyut. Pusing. Lembaran-lembaran kertas itu akhirnya saya letakkan kembali ke atas meja. Ini sudah yang kedua kalinya saya baca. Saya sampai hafal tiap kata yang dituliskan mereka, anak-anak itu.

Semuanya ada lima lembar, lima anak, isinya sama, berbicara pada saya tentang sesuatu yang mengerikan, yang telah mereka alami. Beberapa bagian kertasnya juga sudah lecek, seperti ada tetesan air yang mengenainya lalu mengering. Saya menduga, anak-anak itu pasti menangis saat menuliskannya. Saya trenyuh. Saya seperti terlempar dari tempat saya berada, lalu mendekam di suatu tempat yang begitu sunyi, dan dingin. Dan ini tidaklah mudah. Orang mungkin tidak tahu, tapi sungguh ... ini tidaklah mudah bagi saya.

“Pak, bagaimana jika semua yang terjadi itu dialami oleh putra-putri Bapak?”

“Negara kita sudah kritis, Pak. Anda sebagai presiden, harus tegas dan bertindak cepat dalam hal ini.”

“Negara kita benar-benar telah berada di titik darurat kekerasan seksual anak, Pak. Kejahatan-kejahatan seksual itu selalu saja disertai dengan pembunuhan. Ini sudah memprihatikan sekali.”

“Mereka generasi penerus kita,  jangan biarkan mental mereka busuk di tangan kita sendiri.”

“Mereka sangat butuh pertolongan Bapak.”

Kalimat-kalimat itu sering saya dengar akhir-akhir ini. Mereka berhasil menghempaskan saya. Orang-orang itu, yang mengaku berasal dari komisi perlindungan anak, sekumpulan ibu-ibu gembrot dan menor, juga aktivis-aktivis mahasiswa yang lihai memunculkan emosi ketika berbicara, mereka semua selalu datang dan menuntut hal-hal pada saya. Agar saya melakukan ini, melakukan itu, melakukan anu, melakukan banyak hal.

Mereka datang dengan membawa berkas-berkas berisi berbagai macam kasus, grafik-grafik, dan data-data perbandingan dari tahun ke tahun. Mereka tunjukan itu di hadapan saya. Seketika itu saya berpikir, memangnya saya ini tidak tahu apa-apa tentang apa yang sedang terjadi di negara ini? Memangnya saya tidak pernah membaca berkas serupa yang pernah diberikan oleh staf-staf kenegaraan saya? Seolah-olah, saya ini tidak pernah melihat apa yang mereka lihat.

Itu membuat saya sedih.

Apalagi, mereka suka berbicara dengan wajah yang ditegas-tegaskan, suara lantang dan mata yang dilebar-lebarkan. Mereka seperti ingin menyudutkan saya. Benar-benar ingin melumat saya dan menelannya bulat-bulat.

Apa yang mereka pikirkan? Saya ini presiden. Tidak mungkin saya tidak memerhatikan masa depan dan mental penerus bangsa ini. Tapi saya sendiri juga tidak bisa melakukan banyak hal. Seperti yang saya katakan, ini tidak mudah bagi saya. Mereka tidak tahu itu.

Kepala saya berputar-putar, masih pusing. Ini terasa semakin berat saja. Pikiran saya jadi mundur kembali ke beberapa tahun silam, ketika saya masih berumur tujuh tahun. Saya pernah melihat ketidakadilan yang sama. Anak-anak akan selalu jadi korban dalam aturan-aturan yang dibuat oleh orang dewasa, dan itu terjadi pada kakak lelaki saya.

Keluarga saya termasuk tidak mampu kala itu. Bapak hanya bekerja sebagai tenaga serabutan di sawah milik orang lain. Kadang juga mencari rumput untuk makanan kambing-kambing mereka, menggembalakannya ke padang rumput, dan memandikannya di sungai.

Kami hidup dalam keadaan yang menyedihkan. Benar-benar menyedihkan. Hingga akhirnya lima laki-laki itu datang. Lima laki-laki yang bertubuh tegap, otot-ototnya dempal, berkumis tebal, dan bibir yang menghitam. Saya sampai bermimpi buruk selama berhari-hari, terbayang-bayang wajah mereka yang menyeramkan.

Tiba-tiba saja mereka memberi Bapak dua ekor sapi yang gemuk-gemuk, lima karung beras, dan sejumlah uang dalam amplop cokelat. Mereka tertawa-tawa di atas dipan bambu kami yang sudah hampir jebol. Bau tubuh mereka mencemari udara rumah kami, bau semacam kelobot dan menyan yang dibakar secara bersama-sama. Menggumpal-gumpal. Dan setelah mereka selesai berbicara dengan Bapak dalam bahasa orang dewasa yang belum saya pahami, mereka membawa pergi kakak lelaki saya.

Kakak lelaki saya menangis-nangis. Dia bersujud di bawah kaki Emak, sambil terus memohon agar tidak membiarkan dirinya dibawa kelima laki-laki itu, tapi Emak tidak memedulikannya. Emak hanya diam, berusaha menjadi diam tepatnya. Tapi saya ingat, mata Emak sedikit meleleh waktu itu.

Saya tidak mengerti mengapa kakak saya dibawa pergi. Saya juga ikut menangis, merasa sangat kehilangan. Saya bahkan ketakutan setengah mati, menggigil, dan bersembunyi di belakang pantat Emak ketika salah satu lelaki menyeramkan itu memandangi saya dengan mata yang berbinar-binar dan berkata, “Cah Bagus, sekolah seng pinter, nggih. Mengko nek pinter, Warok Sumitrah ini bakal maringi sapi, koyo masmu kuwi.” Lalu bibirnya menyeringai sambil menepuk-nepuk dadanya. Bibir dan matanya itu seperti tidak mau lepas dari saya. Dia terus saja menempel walaupun saya sudah mandi beberapa kali, menggosok dan menggosok kulit tubuh saya dengan sabun.

Ah, teringat hal itu saya jadi merinding. Bulu-bulu saya meremang. Bagi saya itu adalah hari paling menakutkan. 

Dengan pemberian lima laki-laki itu, kehidupan keluarga saya membaik. Tetangga-tetangga mulai menghormati kami, karena kami menjadi lebih berada di antara mereka. Saya bisa makan enak, bisa merasakan daging ayam dan sayur, bukan lagi singkong rebus atau tiwul atau bubur beras yang keras dan lengket seperti lem. Tapi rasa bahagia yang kami alami tidak berlangsung lama. Duka itu pun kemudian datang dan menjadi awan gelap di atap rumah kami.

Seingat saya, semua terjadi begitu cepat. Sembilan bulan berlalu, dan kakak lelaki saya pulang dalam keadaan mati. Dia bunuh diri. Dia baru sebelas tahun ketika itu tapi sudah memilih untuk mengakhiri hidupnya daripada harus tinggal berlama-lama dengan kelima laki-laki yang membawanya itu. Saya terpukul. Saya marah pada Emak dan Bapak, karena telah mengizinkan kakak lelaki saya dibawa pergi. Mengapa mereka lebih memilih uang daripada anaknya sendiri? Saya marah dengan cara saya. Saya tidak bisa mengungkapkan kata-kata, hanya menangis sambil terus memukuli dada Emak yang saya rasakan juga sedang gemetaran karena sedih.

Lambat laun, seiring waktu, kejadian itu akhirnya membuat saya tahu tentang adat yang mengakar kuat di kampung kelahiran saya, Desa Jajar – Ponorogo, yang selama ini disembunyikan oleh Emak dan Bapak. Saya memang sudah sering melihat pagelaran reog di alun-alun kota. Saya pernah melihat warok dan penari jathilan sejak saya kecil, yang membuat saya terpesona dengan tarian mereka yang lincah. Saya bahkan pernah berkeinginan untuk ikut andil dalam tarian-tarian itu. Tapi saya tidak pernah tahu apa itu gemblak, lalu mengapa warok-warok itu meminang pemuda belasan tahun untuk dijadikan gemblak. Mengetahuinya, membuat saya mengerti apa yang sudah dialami oleh kakak lelaki saya. Saya pun akhirnya paham betul mengapa dia akhirnya memilih mati.

Dan itu menyedihkan. Itu membuat saya miris. Masa lalu bangsa ini sudah kelam. Bangsa ini sudah limbung sejak nenek moyang kami dilahirkan. Dan konsep itu terus saja menurun, seperti mata rantai, dan tidak pernah bisa terputus.

Saya pernah bertekad untuk menyelamatkan mereka yang bernasib sama dengan kakak lelaki saya. Tekad yang kuat, tapi pada akhirnya, saya terlambat melakukan itu. Saya tidak bisa berbuat apa-apa.

Ah, kepala saya sudah mau meledak.

“Permisi, Pak ....”

Suara ketukan pintu terdengar pelan menyambut kesadaran saya kembali. Saya berusaha menegakkan punggung yang telah lama bersandar di bahu kursi. Seorang staf khusus dan seorang ajudan kepercayaan saya membuka pintu samping—ruang kerja saya memiliki tiga pintu yang warnanya senada dengan dinding; pintu depan, pintu samping, dan pintu belakang. Mereka memberi hormat, kemudian mendekati meja kerja saya.

“Sudah waktunya, Pak. Beliau sudah menunggu.”

Saya mengembus napas sejengkal, mengangguk, lalu berdiri dari kursi. Menata lembaran-lembaran yang berserak di atas meja kayu, membenarkan letak kalender, bendera merah-putih berukuran kecil yang selalu ada di atas meja, bolpoin-bolpoin, dan meraih ponsel saya. Setelahnya, saya melangkah menuju pintu.

Jala mata saya menangkap tubuh televisi berlayar flat yang setiap hari saya gunakan untuk memantau berita-berita. Saya suka mendengarkan apa yang mereka katakan tentang saya dan negara ini. Saya juga suka melihat guyonan konyol yang dibuat-buat oleh artis-artis yang menamakan diri mereka presenter acara musik, atau melihat berita menyedihkan tentang bangsa saya—bencana alam, kebakaran, pertengkaran antar geng motor, pembunuhan, korupsi, lalu ... pemerkosaan anak-anak.

Ya, saya melihat itu semua di televisi itu.

Pikiran saya tentang lima lembar surat yang saya baca tadi masih saja mengiringi langkah-langkah saya setelah saya meninggalkan ruang kerja dan berjalan menuju pintu keluar Istana Merdeka. Kata-kata lugas khas anak-anak menerobos keluar-masuk dari satu neuron ke neuron berikutnya. Melompat-lompat. Kata-kata sedih yang mengingatkan saya tentang masa lalu.

“Bapak Presiden yang terhormat. Kata ibuku, Bapak orang baik. Kata ibuku juga, Bapak bisa membantu aku, menangkap orang-orang jahat dan menghukum mereka karena sudah berbuat jahat sama aku ....”

“Mamaku selalu menangis setiap kali aku kesakitan saat pipis. Apa Bapak tahu? Rasanya memang sakit sekali, Pak. Karena itulah aku menangis. Tapi aku tidak ingin mamaku menangis. Bisakah Bapak Presiden membantu aku untuk membuat mamaku bisa tersenyum lagi ....”

“Wajah Om itu selalu muncul di mimpi aku, dan aku selalu ketakutan. Aku berusaha bersembunyi di pohon-pohon dalam mimpi aku, tapi Om itu selalu bisa menemukan aku. Bisakah Bapak membawa Om itu pergi, supaya aku bisa tidur nyenyak?”

Mobil terus melaju menuju daerah pinggiran Jakarta Selatan. Saya duduk santai di kursi belakang, menikmati langit. Berkali-kali ponsel saya berkicau, seperti burung-burung milik Romo. Saya tidak mengacuhkan panggilan itu. Saya lebih suka melihat senja yang melata pelan-pelan.

Dua jam perjalanan saya lalui. Mobil sudah berhenti di sebuah rumah besar yang susunan ornamennya masih menganut gaya rumah di zaman penjajahan Belanda. Rumah yang selalu saya datangi setiap hari, setiap sore, tidak boleh tidak.

Saya melangkah keluar dari mobil, mengangguk pada ajudan, lalu berjalan ke arah pintu rumah. Ajudan dan staf khusus kepercayaan saya sudah melajukan kembali mobil, keluar dari pekarangan rumah dan menghilang di antara sela-sela dedaunan trembesi yang masih banyak ditanam di sini.

Saya berjalan sedikit melenggang. Kaki-kaki saya masih menaiki tangga teras satu per satu ketika pintu rumah terbuka dan sosok tegap berwajah garang dengan kumis tebal itu menghambur keluar.

Tumben kowe sedikit telat, Cah Bagus. Ada apa? Terlalu sibuk dengan urusan negaramu?”

Suaranya masih saja berwibawa, dan lembut. Masih sama seperti pertama kali dia berbicara pada saya.

Inggih, Romo. Sedikit.”

Lelaki itu—masih tegap dan gagah walau usianya sudah tujuh puluh tahun—merengkuh kepala saya, kemudian mengecup kening. Saya hanya terdiam. Dia lalu memeluk saya, dan meraih jari-jemari saya, mengecupnya.

“Romo kangen. Kowe jangan terlalu lama membuat Romo-mu ini menunggumu, ya.”

Saya mengangguk.

“Ya sudah, yo masuk. Romo sudah masakin makanan kesukaanmu.”

Lelaki itu tersenyum lembut. Gurat-gurat usianya menebal di dahi ketika dia tersenyum. Saya manut saja ketika dia menggandeng tangan saya dan menggiring masuk. Tidak mampu berbuat apapun, seperti biasa, seperti tahun-tahun silam. Entah mengapa saya tidak bisa menolak keinginannya. Seperti ada sesuatu yang mengikat erat hati saya, disatukan dengan hatinya.

Ya, saya benar-benar tidak bisa menolaknya. Lelaki ini adalah orang yang sama dengan lelaki yang dulu memandangi saya lekat-lekat. Lelaki yang kemudian meminang saya menjadi gemblaknya, menggantikan kakak saya yang bunuh diri.

Dia, Warok Sumitrah.

 

 

Sidoarjo, 191015

 
 
 

Catatan :

Tradisi warok yang memelihara gemblak—pemuda di usia 10-15 tahun—sudah dianggap biasa dan lumrah di kalangan seniman reog di masa dahulu. Konon, untuk menjaga kesaktiannya, seorang warok tidak boleh bersenggama dengan wanita, karena itulah mereka memelihara pemuda yang tampan dan ayu, yang nantinya selain bertugas melayani dan membuat waroknya bahagia, gemblak-gemblak ini juga dilatih untuk menjadi penari jathilan. Biasanya seorang gemblak akan memanggil warok yang meminangnya dengan sebutan ‘Romo’ atau ‘Ndoro’. Seorang warok bisa memelihara gemblak lebih dari satu, dan seorang gemblak bisa saja dipinang dan dipelihara secara bergiliran oleh lebih dari satu warok. Warok dan gemblak adalah catatan kelam dari tradisi bangsa, disinyalir sebagai sebuah praktek homoseksual dan pedofilia yang diselubungi tradisi turun-temurun.

 

 

1 komentar:

  1. Aku merinding bacanya, Mbakyu. Endingnya pun tak kusangka-sangka.

    Aku doakan Telikung ini juaranya. Aamiin.

    BalasHapus