Kepala saya berdenyut-denyut. Pusing. Lembaran-lembaran kertas itu akhirnya saya letakkan kembali ke atas meja. Ini sudah yang kedua kalinya saya baca. Saya sampai hafal tiap kata yang dituliskan mereka, anak-anak itu.
Semuanya ada lima lembar, lima
anak, isinya sama, berbicara pada saya tentang sesuatu yang mengerikan, yang
telah mereka alami. Beberapa bagian kertasnya juga sudah lecek, seperti ada
tetesan air yang mengenainya lalu mengering. Saya menduga, anak-anak itu pasti
menangis saat menuliskannya. Saya trenyuh. Saya seperti terlempar dari tempat
saya berada, lalu mendekam di suatu tempat yang begitu sunyi, dan dingin. Dan
ini tidaklah mudah. Orang mungkin tidak tahu, tapi sungguh ... ini tidaklah
mudah bagi saya.
“Pak, bagaimana jika semua yang terjadi itu dialami oleh putra-putri
Bapak?”
“Negara kita sudah kritis, Pak. Anda sebagai presiden, harus tegas dan
bertindak cepat dalam hal ini.”
“Negara kita benar-benar telah berada di titik darurat kekerasan seksual
anak, Pak. Kejahatan-kejahatan seksual itu selalu saja disertai dengan
pembunuhan. Ini sudah memprihatikan sekali.”
“Mereka generasi penerus kita,
jangan biarkan mental mereka busuk di tangan kita sendiri.”
“Mereka sangat butuh pertolongan Bapak.”
Kalimat-kalimat itu sering
saya dengar akhir-akhir ini. Mereka berhasil menghempaskan saya. Orang-orang
itu, yang mengaku berasal dari komisi perlindungan anak, sekumpulan ibu-ibu
gembrot dan menor, juga aktivis-aktivis mahasiswa yang lihai memunculkan emosi
ketika berbicara, mereka semua selalu datang dan menuntut hal-hal pada saya.
Agar saya melakukan ini, melakukan itu, melakukan anu, melakukan banyak hal.
Mereka datang dengan membawa
berkas-berkas berisi berbagai macam kasus, grafik-grafik, dan data-data
perbandingan dari tahun ke tahun. Mereka tunjukan itu di hadapan saya. Seketika
itu saya berpikir, memangnya saya ini tidak tahu apa-apa tentang apa yang
sedang terjadi di negara ini? Memangnya saya tidak pernah membaca berkas serupa
yang pernah diberikan oleh staf-staf kenegaraan saya? Seolah-olah, saya ini
tidak pernah melihat apa yang mereka lihat.
Itu membuat saya sedih.
Apalagi, mereka suka berbicara
dengan wajah yang ditegas-tegaskan, suara lantang dan mata yang
dilebar-lebarkan. Mereka seperti ingin menyudutkan saya. Benar-benar ingin
melumat saya dan menelannya bulat-bulat.
Apa yang mereka pikirkan? Saya
ini presiden. Tidak mungkin saya tidak memerhatikan masa depan dan mental
penerus bangsa ini. Tapi saya sendiri juga tidak bisa melakukan banyak hal.
Seperti yang saya katakan, ini tidak mudah bagi saya. Mereka tidak tahu itu.
Kepala saya berputar-putar,
masih pusing. Ini terasa semakin berat saja. Pikiran saya jadi mundur kembali
ke beberapa tahun silam, ketika saya masih berumur tujuh tahun. Saya pernah melihat
ketidakadilan yang sama. Anak-anak akan selalu jadi korban dalam aturan-aturan
yang dibuat oleh orang dewasa, dan itu terjadi pada kakak lelaki saya.
Keluarga saya termasuk tidak
mampu kala itu. Bapak hanya bekerja sebagai tenaga serabutan di sawah milik
orang lain. Kadang juga mencari rumput untuk makanan kambing-kambing mereka,
menggembalakannya ke padang rumput, dan memandikannya di sungai.
Kami hidup dalam keadaan yang
menyedihkan. Benar-benar menyedihkan. Hingga akhirnya lima laki-laki itu datang.
Lima laki-laki yang bertubuh tegap, otot-ototnya dempal, berkumis tebal, dan
bibir yang menghitam. Saya sampai bermimpi buruk selama berhari-hari,
terbayang-bayang wajah mereka yang menyeramkan.
Tiba-tiba saja mereka memberi
Bapak dua ekor sapi yang gemuk-gemuk, lima karung beras, dan sejumlah uang
dalam amplop cokelat. Mereka tertawa-tawa di atas dipan bambu kami yang sudah
hampir jebol. Bau tubuh mereka mencemari udara rumah kami, bau semacam kelobot
dan menyan yang dibakar secara bersama-sama. Menggumpal-gumpal. Dan setelah
mereka selesai berbicara dengan Bapak dalam bahasa orang dewasa yang belum saya
pahami, mereka membawa pergi kakak lelaki saya.
Kakak lelaki saya
menangis-nangis. Dia bersujud di bawah kaki Emak, sambil terus memohon agar
tidak membiarkan dirinya dibawa kelima laki-laki itu, tapi Emak tidak
memedulikannya. Emak hanya diam, berusaha menjadi diam tepatnya. Tapi saya
ingat, mata Emak sedikit meleleh waktu itu.
Saya tidak mengerti mengapa
kakak saya dibawa pergi. Saya juga ikut menangis, merasa sangat kehilangan.
Saya bahkan ketakutan setengah mati, menggigil, dan bersembunyi di belakang
pantat Emak ketika salah satu lelaki menyeramkan itu memandangi saya dengan
mata yang berbinar-binar dan berkata, “Cah Bagus, sekolah seng pinter, nggih. Mengko nek pinter, Warok Sumitrah ini bakal
maringi sapi, koyo masmu kuwi.” Lalu bibirnya menyeringai sambil
menepuk-nepuk dadanya. Bibir dan matanya itu seperti tidak mau lepas dari saya.
Dia terus saja menempel walaupun saya sudah mandi beberapa kali, menggosok dan
menggosok kulit tubuh saya dengan sabun.
Ah, teringat hal itu saya jadi
merinding. Bulu-bulu saya meremang. Bagi saya itu adalah hari paling
menakutkan.
Dengan pemberian lima
laki-laki itu, kehidupan keluarga saya membaik. Tetangga-tetangga mulai
menghormati kami, karena kami menjadi lebih berada di antara mereka. Saya bisa
makan enak, bisa merasakan daging ayam dan sayur, bukan lagi singkong rebus
atau tiwul atau bubur beras yang keras dan lengket seperti lem. Tapi rasa
bahagia yang kami alami tidak berlangsung lama. Duka itu pun kemudian datang
dan menjadi awan gelap di atap rumah kami.
Seingat saya, semua terjadi
begitu cepat. Sembilan bulan berlalu, dan kakak lelaki saya pulang dalam
keadaan mati. Dia bunuh diri. Dia baru sebelas tahun ketika itu tapi sudah
memilih untuk mengakhiri hidupnya daripada harus tinggal berlama-lama dengan
kelima laki-laki yang membawanya itu. Saya terpukul. Saya marah pada Emak dan
Bapak, karena telah mengizinkan kakak lelaki saya dibawa pergi. Mengapa mereka
lebih memilih uang daripada anaknya sendiri? Saya marah dengan cara saya. Saya
tidak bisa mengungkapkan kata-kata, hanya menangis sambil terus memukuli dada
Emak yang saya rasakan juga sedang gemetaran karena sedih.
Lambat laun, seiring waktu,
kejadian itu akhirnya membuat saya tahu tentang adat yang mengakar kuat di
kampung kelahiran saya, Desa Jajar – Ponorogo, yang selama ini disembunyikan
oleh Emak dan Bapak. Saya memang sudah sering melihat pagelaran reog di
alun-alun kota. Saya pernah melihat warok dan penari jathilan sejak saya kecil,
yang membuat saya terpesona dengan tarian mereka yang lincah. Saya bahkan
pernah berkeinginan untuk ikut andil dalam tarian-tarian itu. Tapi saya tidak
pernah tahu apa itu gemblak, lalu mengapa warok-warok itu meminang pemuda
belasan tahun untuk dijadikan gemblak. Mengetahuinya, membuat saya mengerti apa
yang sudah dialami oleh kakak lelaki saya. Saya pun akhirnya paham betul
mengapa dia akhirnya memilih mati.
Dan itu menyedihkan. Itu
membuat saya miris. Masa lalu bangsa ini sudah kelam. Bangsa ini sudah limbung
sejak nenek moyang kami dilahirkan. Dan konsep itu terus saja menurun, seperti
mata rantai, dan tidak pernah bisa terputus.
Saya pernah bertekad untuk
menyelamatkan mereka yang bernasib sama dengan kakak lelaki saya. Tekad yang
kuat, tapi pada akhirnya, saya terlambat melakukan itu. Saya tidak bisa berbuat
apa-apa.
Ah, kepala saya sudah mau
meledak.
“Permisi, Pak ....”
Suara ketukan pintu terdengar
pelan menyambut kesadaran saya kembali. Saya berusaha menegakkan punggung yang
telah lama bersandar di bahu kursi. Seorang staf khusus dan seorang ajudan
kepercayaan saya membuka pintu samping—ruang kerja saya memiliki tiga pintu
yang warnanya senada dengan dinding; pintu depan, pintu samping, dan pintu
belakang. Mereka memberi hormat, kemudian mendekati meja kerja saya.
“Sudah waktunya, Pak. Beliau
sudah menunggu.”
Saya mengembus napas
sejengkal, mengangguk, lalu berdiri dari kursi. Menata lembaran-lembaran yang
berserak di atas meja kayu, membenarkan letak kalender, bendera merah-putih
berukuran kecil yang selalu ada di atas meja, bolpoin-bolpoin, dan meraih
ponsel saya. Setelahnya, saya melangkah menuju pintu.
Jala mata saya menangkap tubuh
televisi berlayar flat yang setiap hari saya gunakan untuk memantau berita-berita.
Saya suka mendengarkan apa yang mereka katakan tentang saya dan negara ini.
Saya juga suka melihat guyonan konyol yang dibuat-buat oleh artis-artis yang
menamakan diri mereka presenter acara musik, atau melihat berita menyedihkan
tentang bangsa saya—bencana alam, kebakaran, pertengkaran antar geng motor,
pembunuhan, korupsi, lalu ... pemerkosaan anak-anak.
Ya, saya melihat itu semua di
televisi itu.
Pikiran saya tentang lima
lembar surat yang saya baca tadi masih saja mengiringi langkah-langkah saya setelah
saya meninggalkan ruang kerja dan berjalan menuju pintu keluar Istana Merdeka.
Kata-kata lugas khas anak-anak menerobos keluar-masuk dari satu neuron ke
neuron berikutnya. Melompat-lompat. Kata-kata sedih yang mengingatkan saya
tentang masa lalu.
“Bapak Presiden yang terhormat. Kata ibuku, Bapak orang baik. Kata ibuku
juga, Bapak bisa membantu aku, menangkap orang-orang jahat dan menghukum mereka
karena sudah berbuat jahat sama aku ....”
“Mamaku selalu menangis setiap kali aku kesakitan saat pipis. Apa Bapak
tahu? Rasanya memang sakit sekali, Pak. Karena itulah aku menangis. Tapi aku
tidak ingin mamaku menangis. Bisakah Bapak Presiden membantu aku untuk membuat
mamaku bisa tersenyum lagi ....”
“Wajah Om itu selalu muncul di mimpi aku, dan aku selalu ketakutan. Aku
berusaha bersembunyi di pohon-pohon dalam mimpi aku, tapi Om itu selalu bisa menemukan
aku. Bisakah Bapak membawa Om itu pergi, supaya aku bisa tidur nyenyak?”
Mobil terus melaju menuju daerah
pinggiran Jakarta Selatan. Saya duduk santai di kursi belakang, menikmati
langit. Berkali-kali ponsel saya berkicau, seperti burung-burung milik Romo.
Saya tidak mengacuhkan panggilan itu. Saya lebih suka melihat senja yang melata
pelan-pelan.
Dua jam perjalanan saya lalui.
Mobil sudah berhenti di sebuah rumah besar yang susunan ornamennya masih
menganut gaya rumah di zaman penjajahan Belanda. Rumah yang selalu saya datangi
setiap hari, setiap sore, tidak boleh tidak.
Saya melangkah keluar dari
mobil, mengangguk pada ajudan, lalu berjalan ke arah pintu rumah. Ajudan dan
staf khusus kepercayaan saya sudah melajukan kembali mobil, keluar dari
pekarangan rumah dan menghilang di antara sela-sela dedaunan trembesi yang
masih banyak ditanam di sini.
Saya berjalan sedikit
melenggang. Kaki-kaki saya masih menaiki tangga teras satu per satu ketika
pintu rumah terbuka dan sosok tegap berwajah garang dengan kumis tebal itu
menghambur keluar.
“Tumben kowe sedikit telat, Cah Bagus. Ada apa? Terlalu sibuk dengan
urusan negaramu?”
Suaranya masih saja berwibawa,
dan lembut. Masih sama seperti pertama kali dia berbicara pada saya.
“Inggih, Romo. Sedikit.”
Lelaki itu—masih tegap dan
gagah walau usianya sudah tujuh puluh tahun—merengkuh kepala saya, kemudian
mengecup kening. Saya hanya terdiam. Dia lalu memeluk saya, dan meraih
jari-jemari saya, mengecupnya.
“Romo kangen. Kowe jangan terlalu lama membuat Romo-mu
ini menunggumu, ya.”
Saya mengangguk.
“Ya sudah, yo masuk. Romo sudah
masakin makanan kesukaanmu.”
Lelaki itu tersenyum lembut.
Gurat-gurat usianya menebal di dahi ketika dia tersenyum. Saya manut saja ketika dia menggandeng tangan
saya dan menggiring masuk. Tidak mampu berbuat apapun, seperti biasa, seperti
tahun-tahun silam. Entah mengapa saya tidak bisa menolak keinginannya. Seperti
ada sesuatu yang mengikat erat hati saya, disatukan dengan hatinya.
Ya, saya benar-benar tidak
bisa menolaknya. Lelaki ini adalah orang yang sama dengan lelaki yang dulu
memandangi saya lekat-lekat. Lelaki yang kemudian meminang saya menjadi gemblaknya,
menggantikan kakak saya yang bunuh diri.
Dia, Warok Sumitrah.
Sidoarjo, 191015
Catatan :
Tradisi warok yang memelihara gemblak—pemuda di
usia 10-15 tahun—sudah dianggap biasa dan lumrah di kalangan seniman reog di
masa dahulu. Konon, untuk menjaga kesaktiannya, seorang warok tidak boleh
bersenggama dengan wanita, karena itulah mereka memelihara pemuda yang tampan
dan ayu, yang nantinya selain bertugas melayani dan membuat waroknya bahagia,
gemblak-gemblak ini juga dilatih untuk menjadi penari jathilan. Biasanya
seorang gemblak akan memanggil warok yang meminangnya dengan sebutan ‘Romo’
atau ‘Ndoro’. Seorang warok bisa memelihara gemblak lebih dari satu, dan
seorang gemblak bisa saja dipinang dan dipelihara secara bergiliran oleh lebih
dari satu warok. Warok dan gemblak adalah catatan kelam dari tradisi bangsa,
disinyalir sebagai sebuah praktek homoseksual dan pedofilia yang diselubungi
tradisi turun-temurun.
Aku merinding bacanya, Mbakyu. Endingnya pun tak kusangka-sangka.
BalasHapusAku doakan Telikung ini juaranya. Aamiin.