Minggu, 01 November 2015

TIGA LUKA


1/

 

Apalagi yang mampu dikata oleh bibirnya? Bahkan ketika jemari Kinanti menyentuh jemari Reynald di atas pelaminan, degup jantung wanita itu seakan berhenti. Keinginannya untuk menghilang mulai mencibir kembali. Setidaknya untuk saat ini, karena hati Kinanti sudah tercabik kepedihan begitu melihat kekasihnya harus bersanding dengan wanita lain.

 

Mata itu memerah menahan tangis. Berpura-pura kuat untuk menghadapi kenyataan. Hiruk pikuk kebahagiaan yang dipancarkan dari ratusan undangan, semakin menusuk jiwanya. Kinanti sadar, dia hanya bagian terkecil dari kesemuannya. Sebuah bagian yang tidak diharapkan untuk datang.

 

Jika bukan karena rengekan Reynald semalam, tidak mungkin Kinanti mau datang memenuhi undangan pernikahan lelaki itu. Dia tahu benar, lukanya pasti akan semakin berwarna merah kesumba. Pahit, dan getir ....

 

“Aku akan menghadap orang tuaku, Nanti. Dan membatalkan pernikahanku dengan Sukma.” Reynald menggenggam erat jemari Kinanti. Bulir-bulir air mata wanita dua puluh tiga tahun itu telah menggenang. Sebuah kenyataan yang selama ini telah ia ketahui, akhirnya harus dihadapi juga. Iya. Bahwa esok, ketika kegagahan mentari mulai menguasai bumi, kekasihnya akan menikah.

 

“Tidak, Rey ..., itu tidak mungkin. Kau harus ingat siapa aku ini.” Suara Kinanti mulai terasa berat dan serak.

 

“Tak masalah bagiku, Nanti. Aku bisa menerima apapun keadaanmu.”

 

“Iya, aku tahu. Tetapi tidak dengan keluargamu, Rey. Lihatlah, aku ini janda. Saat kau membatalkan pernikahan itu demi wanita sepertiku, mereka akan menganggapku sebagai wanita lacur!”

 

Reynald menutup bibir Kinanti dengan kedua jarinya. “Sstt ..., kumohon jangan sebut kata itu lagi.”

 

“Tidak, Rey. Kaulah yang seharusnya menerima kenyataan, bahwa selama ini kau sudah dibutakan hatimu sendiri. Bagaimana mungkin wanita lacurmu ini bisa diterima oleh keluargamu?”

 

Mata Reynald mulai berkaca-kaca. Lelaki itu sangat kesakitan setiap kali mendengar kekasihnya berkali-kali menyebut diri sendiri sebagai pelacur. “Nanti, cukup ..., hentikan. Hatiku tidak pernah salah saat dia mencintai seorang wanita.”

 

Desah kegelapan semakin masyuk dengan bulan dan bintang. Demikian juga dengan lenguh nafas Reynald dan Kinanti. Keduanya masih saling mencari jawaban, atas sebuah rasa yang telah berani menyelinap di antara bilik-bilik hati yang merah pekat.

 

“Besok, aku tak akan datang ke pernikahanmu. Maafkan aku ....” Kinanti berdesis.

 

“Kenapa?” tanya Reynald.

 

“Kau gila apa? Kau ingin aku mati berdiri di sana?”

 

Reynald mengiba. Matanya berusaha menangkap sisi cinta Kinanti. “Datanglah, Nanti ..., please. Tanpa kehadiranmu, hatiku pasti akan mati untuk selama-lamanya.”

 

Kinanti menatap wajah redup lelakinya. Setitik kemarahan terselip, “kau benar-benar lelaki egois, Rey. Bahkan teramat egois!”

 

 

2/

 

Baginya, wanita itu begitu menggoda. Lekuk tubuhnya, cara ia berbicara, binar-binar matanya yang coklat kehitaman, juga bagaimana ia tertawa. Dia sangat cantik! Membuat jiwa kelelakian Reynald tergiur goda.

 

Sekali dua kali, mereka—Reynald dan Kinanti—menikmati malam yang berbinar-binar dalam limbah dosa. Hingga akhirnya kedua anak manusia itupun tergoda untuk mengulangnya kembali, sebuah permainan yang begitu menggiurkan. Tanpa hati, tanpa cinta. Hanya sebuah kesenangan belaka.

 

Hingga lambat laun, waktu menjawab semua rasa. Reynald pun akhirnya benar-benar jatuh cinta kepada sosok seorang Kinanti yang berhati teguh dan kuat. Jiwanya yang mandiri, dibalut dengan kemolekan. Semua yang ada pada Kinanti, bagi Reynald hanya bisa digambarkan dengan satu kata. Seksi!

 

Namun ..., mata Reynald harus dipaksa terbuka. Pikiran jernih itu mengetuk-ketuk hatinya yang lagi terbuai. “Hei, Rey! Bagaimana dengan Sukma, kekasihmu? Wanita yang kini telah kau ikat dengan tali pertunangan itu, bagaimana dengan dia, Rey?”

 

Lelaki itu tersentak. Sebuah nama kembali mengingatkannya pada suatu kenyataan. Sukma ....

 

Hingga kemudian jiwa-jiwanya pun mulai diliputi kabut kekalutan. Membuat hatinya yang mencintai Kinanti menjadi rengsa. Ketidakberdayaan ... Iya, dirinya yang tak lagi berdaya itu semakin lama semakin punah. Karena sebongkah musim, dengan lambat mulai merayap mendekat.

 

Tiga bulan lagi, dia akan menikah dengan Sukma. Lalu, akankah perselingkuhannya dengan Kinanti berakhir begitu saja? Bagaimana dengan hatinya nanti?

 

Reynald pun limbung.

 

 

3/

 

Malam ini, bukan kali pertamanya Sukma menatap wajah Kinanti. Sudah hampir enam bulan dia hafal benar wajah yang telah merenggut hati kekasihnya itu. Sekarang, wanita penggoda milik Reynald itu tengah memberinya sebuah ucapan, “selamat ya atas pernikahannya.”

 

Singkat. Kemudian Sukma melihat wanita itu turun dengan anggun dari panggung pelaminannya. Melangkah menuju tempat di mana ratusan undangan membaur, menikmati hidangan.

 

Sukma memalingkan pendangannya ke arah samping. Dilihatnya Reynald sedang tertunduk. Wajahnya luka. Sukma tahu benar tentang hal itu. Bukankah mereka telah menjalin kasih selama empat tahun? Tidak mungkin jika raut hati Reynald yang sedang tergambar di wajahnya tidak dikenali oleh Sukma.

 

“Cih!” Sukma membuang kepenatannya. Mencibir kepada lelaki mengenaskan yang tengah berdiri di samping.

 

Untuk beberapa menit, pikiran Sukma kembali diingatkan pada kisah sebuah siang hari. Di mana seorang pria tambun dengan wajah jenaka tetapi menyimpan kesan licik, tiba-tiba datang menghampirinya.

 

“Maaf, apa anda yang bernama Sukma?” tanya lelaki itu. Dalam mata yang tertegun karena kaget, Sukma menganggukkan kepalanya. “Ah, syukurlah. Maaf loh, Mbak, jika aku tiba-tiba lancang. Kenalkan, namaku Jimbon.” Lelaki tambun menyodorkan tangannya. Dengan terpaksa, Sukma menerima uluran tersebut.

 

“Hemm ..., Anda siapa ya? Ah, maksudku ada keperluan apa tiba-tiba datang kemari dan mencariku?”

 

Jimbon terkekeh pelan. Binar liciknya mulai tampak semakin jelas. Sukma memicingkan matanya. Rasa curiga mulai timbul.

 

“Aku teman sekantor Reynald, Mbak.”

 

“Oh, lalu? Apa hubungannya denganku ya, Mas?”

 

Jimbon mengulum senyum. Dengan kata-kata manis, lelaki itu mulai bercerita tentang tujuannya datang ke counter sebuah kosmetik, tempat Sukma bekerja. Lalu, dalam denting-denting waktu yang berlalu di antara mereka berdua, Sukma mulai merasa tersakiti akan cerita lelaki asing itu.

 

“Sekarang Reynald sedang menjalin hubungan dengan seorang wanita bernama Kinanti, Mbak. Mereka berdua sudah sering menghabiskan malam di sebuah hotel, atau ikutan dugem dengan kawan-kawan mereka. Aku merasa bersalah jika tidak menceritakan kisah ini. Bukankah enam bulan lagi kalian akan menikah?”

 

Kisah pengkhianatan Reynald yang dibawa oleh Jimbon menghantam tepat di dada Sukma. Hatinya perih seketika. Lalu suara-suara yang diperdengarkan kemudian, sudah lenyap, tak mampu lagi Sukma menangkap kata-katanya.

 

Sejak hari itu, Sukma mencoba menyelidiki kisah Reynald dan wanitanya. Semakin dia mengetahui banyak hal, maka semakin tercabiklah rasa cinta Sukma. Wanita yang anggun dengan pembawaannya yang kalem itu hanya bisa menangis. Meratap pada kebencian dan amarahnya.

 

Lalu malam ini, Kinanti hadir dengan muka tanpa dosa. Seolah tak ada penyesalan terpatut di wajah wanita itu. Sungguh, Sukma hampir tidak mengerti, bagaimana seorang wanita mampu menyakiti hati wanita lain? Bukankah dia juga mempunyai hati? Atau ..., jangan-jangan hati itu telah mati di tubuhnya? Sehingga mampu berlaku jahat pada wanita lain?

 

Kebencian itu pun menyeruak di wajah Sukma. Jaring matannya tidak lepas dari sosok Kinanti, yang jauh di sana, tengah menikmati hidangan bersama kawan-kawannya ....

 

Kini ..., semua telah berlalu. Hingar bingar pesta dengan nuansa Minangkabau itu, para tetamu undangan itu, juga keluarga-keluarga yang sibuk bermesra-mesra itu. Semuanya. Yang tertinggal hanya keheningan.

 

Kamar pengantinnya senyap. Tak ada canda maupun tawa bahagia. Kedua lelaki dan perempuan itu saling bisu. Seolah suara-suara mereka raib, ditelan kenangan tentang Kinanti.

 

Tiba-tiba, Sukma mendekap punggung Reynald. Sangat erat. Lalu sebuah kalimat dia bisikan selembut mungkin di cuping suaminya, “jangan tinggalkan aku, Rey ... Jika kau nekat pergi, dia akan mati.”

 

Hati Reynald tersentak.

 

“Tinggalkan pelacur itu, Rey. Permainan kalian sudah cukup. Mulai besok, kau adalah milikku seorang ....”

 

Reynald menelan ludah. Dia tahu, Sukma tidak sedang mengancamnya. Bukan ... Tetapi istrinya itu sedang menggambarkan perwujudan masa depan yang akan Reynald hadapi.

 

Sebuah kematian ....

 

Reynald menelan ludahnya dalam-dalam. Dalam bayangan kaca rias di kamar pengantin, dia melihat wajah Sukma yang tengah menyeringai jahat.

 

 

 

 

Mei – 2014

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar