1/
Apalagi yang mampu dikata oleh bibirnya? Bahkan ketika jemari Kinanti
menyentuh jemari Reynald di atas pelaminan, degup jantung wanita itu seakan
berhenti. Keinginannya untuk menghilang mulai mencibir kembali. Setidaknya
untuk saat ini, karena hati Kinanti sudah tercabik kepedihan begitu melihat
kekasihnya harus bersanding dengan wanita lain.
Mata itu memerah menahan tangis. Berpura-pura kuat untuk menghadapi
kenyataan. Hiruk pikuk kebahagiaan yang dipancarkan dari ratusan undangan, semakin
menusuk jiwanya. Kinanti sadar, dia hanya bagian terkecil dari kesemuannya.
Sebuah bagian yang tidak diharapkan untuk datang.
Jika bukan karena rengekan Reynald semalam, tidak mungkin Kinanti mau
datang memenuhi undangan pernikahan lelaki itu. Dia tahu benar, lukanya pasti
akan semakin berwarna merah kesumba. Pahit, dan getir ....
“Aku akan menghadap orang tuaku, Nanti. Dan membatalkan pernikahanku dengan
Sukma.” Reynald menggenggam erat jemari Kinanti. Bulir-bulir air mata wanita
dua puluh tiga tahun itu telah menggenang. Sebuah kenyataan yang selama ini
telah ia ketahui, akhirnya harus dihadapi juga. Iya. Bahwa esok, ketika
kegagahan mentari mulai menguasai bumi, kekasihnya akan menikah.
“Tidak, Rey ..., itu tidak mungkin. Kau harus ingat siapa aku ini.” Suara
Kinanti mulai terasa berat dan serak.
“Tak masalah bagiku, Nanti. Aku bisa menerima apapun keadaanmu.”
“Iya, aku tahu. Tetapi tidak dengan keluargamu, Rey. Lihatlah, aku ini
janda. Saat kau membatalkan pernikahan itu demi wanita sepertiku, mereka akan
menganggapku sebagai wanita lacur!”
Reynald menutup bibir Kinanti dengan kedua jarinya. “Sstt ..., kumohon
jangan sebut kata itu lagi.”
“Tidak, Rey. Kaulah yang seharusnya menerima kenyataan, bahwa selama ini
kau sudah dibutakan hatimu sendiri. Bagaimana mungkin wanita lacurmu ini bisa
diterima oleh keluargamu?”
Mata Reynald mulai berkaca-kaca. Lelaki itu sangat kesakitan setiap kali
mendengar kekasihnya berkali-kali menyebut diri sendiri sebagai pelacur.
“Nanti, cukup ..., hentikan. Hatiku tidak pernah salah saat dia mencintai
seorang wanita.”
Desah kegelapan semakin masyuk dengan bulan dan bintang. Demikian juga
dengan lenguh nafas Reynald dan Kinanti. Keduanya masih saling mencari jawaban,
atas sebuah rasa yang telah berani menyelinap di antara bilik-bilik hati yang
merah pekat.
“Besok, aku tak akan datang ke pernikahanmu. Maafkan aku ....” Kinanti
berdesis.
“Kenapa?” tanya Reynald.
“Kau gila apa? Kau ingin aku mati berdiri di sana?”
Reynald mengiba. Matanya berusaha menangkap sisi cinta Kinanti. “Datanglah,
Nanti ..., please. Tanpa kehadiranmu,
hatiku pasti akan mati untuk selama-lamanya.”
Kinanti menatap wajah redup lelakinya. Setitik kemarahan terselip, “kau
benar-benar lelaki egois, Rey. Bahkan teramat egois!”
2/
Baginya, wanita itu begitu menggoda. Lekuk tubuhnya, cara ia berbicara,
binar-binar matanya yang coklat kehitaman, juga bagaimana ia tertawa. Dia
sangat cantik! Membuat jiwa kelelakian Reynald tergiur goda.
Sekali dua kali, mereka—Reynald dan Kinanti—menikmati malam yang
berbinar-binar dalam limbah dosa. Hingga akhirnya kedua anak manusia itupun
tergoda untuk mengulangnya kembali, sebuah permainan yang begitu menggiurkan.
Tanpa hati, tanpa cinta. Hanya sebuah kesenangan belaka.
Hingga lambat laun, waktu menjawab semua rasa. Reynald pun akhirnya
benar-benar jatuh cinta kepada sosok seorang Kinanti yang berhati teguh dan
kuat. Jiwanya yang mandiri, dibalut dengan kemolekan. Semua yang ada pada
Kinanti, bagi Reynald hanya bisa digambarkan dengan satu kata. Seksi!
Namun ..., mata Reynald harus dipaksa terbuka. Pikiran jernih itu
mengetuk-ketuk hatinya yang lagi terbuai. “Hei,
Rey! Bagaimana dengan Sukma, kekasihmu? Wanita yang kini telah kau ikat dengan
tali pertunangan itu, bagaimana dengan dia, Rey?”
Lelaki itu tersentak. Sebuah nama kembali mengingatkannya pada suatu
kenyataan. Sukma ....
Hingga kemudian jiwa-jiwanya pun mulai diliputi kabut kekalutan. Membuat
hatinya yang mencintai Kinanti menjadi rengsa. Ketidakberdayaan ... Iya,
dirinya yang tak lagi berdaya itu semakin lama semakin punah. Karena sebongkah
musim, dengan lambat mulai merayap mendekat.
Tiga bulan lagi, dia akan menikah dengan Sukma. Lalu, akankah
perselingkuhannya dengan Kinanti berakhir begitu saja? Bagaimana dengan hatinya
nanti?
Reynald pun limbung.
3/
Malam ini, bukan kali pertamanya Sukma menatap wajah Kinanti. Sudah hampir
enam bulan dia hafal benar wajah yang telah merenggut hati kekasihnya itu.
Sekarang, wanita penggoda milik Reynald itu tengah memberinya sebuah ucapan,
“selamat ya atas pernikahannya.”
Singkat. Kemudian Sukma melihat wanita itu turun dengan anggun dari
panggung pelaminannya. Melangkah menuju tempat di mana ratusan undangan
membaur, menikmati hidangan.
Sukma memalingkan pendangannya ke arah samping. Dilihatnya Reynald sedang
tertunduk. Wajahnya luka. Sukma tahu benar tentang hal itu. Bukankah mereka
telah menjalin kasih selama empat tahun? Tidak mungkin jika raut hati Reynald
yang sedang tergambar di wajahnya tidak dikenali oleh Sukma.
“Cih!” Sukma membuang kepenatannya. Mencibir kepada lelaki mengenaskan yang
tengah berdiri di samping.
Untuk beberapa menit, pikiran Sukma kembali diingatkan pada kisah sebuah
siang hari. Di mana seorang pria tambun dengan wajah jenaka tetapi menyimpan
kesan licik, tiba-tiba datang menghampirinya.
“Maaf, apa anda yang bernama Sukma?” tanya lelaki itu. Dalam mata yang
tertegun karena kaget, Sukma menganggukkan kepalanya. “Ah, syukurlah. Maaf loh,
Mbak, jika aku tiba-tiba lancang. Kenalkan, namaku Jimbon.” Lelaki tambun
menyodorkan tangannya. Dengan terpaksa, Sukma menerima uluran tersebut.
“Hemm ..., Anda siapa ya? Ah, maksudku ada keperluan apa tiba-tiba datang
kemari dan mencariku?”
Jimbon terkekeh pelan. Binar liciknya mulai tampak semakin jelas. Sukma
memicingkan matanya. Rasa curiga mulai timbul.
“Aku teman sekantor Reynald, Mbak.”
“Oh, lalu? Apa hubungannya denganku ya, Mas?”
Jimbon mengulum senyum. Dengan kata-kata manis, lelaki itu mulai bercerita
tentang tujuannya datang ke counter sebuah kosmetik, tempat Sukma bekerja. Lalu,
dalam denting-denting waktu yang berlalu di antara mereka berdua, Sukma mulai
merasa tersakiti akan cerita lelaki asing itu.
“Sekarang Reynald sedang menjalin hubungan dengan seorang wanita bernama
Kinanti, Mbak. Mereka berdua sudah sering menghabiskan malam di sebuah hotel,
atau ikutan dugem dengan kawan-kawan mereka. Aku merasa bersalah jika tidak
menceritakan kisah ini. Bukankah enam bulan lagi kalian akan menikah?”
Kisah pengkhianatan Reynald yang dibawa oleh Jimbon menghantam tepat di
dada Sukma. Hatinya perih seketika. Lalu suara-suara yang diperdengarkan
kemudian, sudah lenyap, tak mampu lagi Sukma menangkap kata-katanya.
Sejak hari itu, Sukma mencoba menyelidiki kisah Reynald dan wanitanya.
Semakin dia mengetahui banyak hal, maka semakin tercabiklah rasa cinta Sukma.
Wanita yang anggun dengan pembawaannya yang kalem itu hanya bisa menangis.
Meratap pada kebencian dan amarahnya.
Lalu malam ini, Kinanti hadir dengan muka tanpa dosa. Seolah tak ada
penyesalan terpatut di wajah wanita itu. Sungguh, Sukma hampir tidak mengerti,
bagaimana seorang wanita mampu menyakiti hati wanita lain? Bukankah dia juga
mempunyai hati? Atau ..., jangan-jangan hati itu telah mati di tubuhnya?
Sehingga mampu berlaku jahat pada wanita lain?
Kebencian itu pun menyeruak di wajah Sukma. Jaring matannya tidak lepas
dari sosok Kinanti, yang jauh di sana, tengah menikmati hidangan bersama
kawan-kawannya ....
Kini ..., semua telah berlalu. Hingar bingar pesta dengan nuansa
Minangkabau itu, para tetamu undangan itu, juga keluarga-keluarga yang sibuk
bermesra-mesra itu. Semuanya. Yang tertinggal hanya keheningan.
Kamar pengantinnya senyap. Tak ada canda maupun tawa bahagia. Kedua lelaki
dan perempuan itu saling bisu. Seolah suara-suara mereka raib, ditelan kenangan
tentang Kinanti.
Tiba-tiba, Sukma mendekap punggung Reynald. Sangat erat. Lalu sebuah
kalimat dia bisikan selembut mungkin di cuping suaminya, “jangan tinggalkan
aku, Rey ... Jika kau nekat pergi, dia akan mati.”
Hati Reynald tersentak.
“Tinggalkan pelacur itu, Rey. Permainan kalian sudah cukup. Mulai besok,
kau adalah milikku seorang ....”
Reynald menelan ludah. Dia tahu, Sukma tidak sedang mengancamnya. Bukan ...
Tetapi istrinya itu sedang menggambarkan perwujudan masa depan yang akan
Reynald hadapi.
Sebuah kematian ....
Reynald menelan ludahnya dalam-dalam. Dalam bayangan kaca rias di kamar
pengantin, dia melihat wajah Sukma yang tengah menyeringai jahat.
Mei – 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar