Orang yang berhati gelap hanya akan melihat mimpi yang gelap.
Apabila hatinya lebih gelap lagi, mimpi pun dia tidak akan bisa.
***
Setiap malam Natal tiba dan saya sadar kalau tidak ada dirinya lagi di sisi saya, saya akan selalu mendapati mimpi-mimpi yang mengelisahkan. Saya terbangun dengan napas sesak, lalu teringat akan kata-katanya pada suatu masa yang teramat jauh. Ia berkata bahwa ia telah mengutipnya dari buku si Murakami. Saya sedang benar-benar memikirkan itu saat ini, kemudian bertanya pada diri saya sendiri: Apakah hati saya telah berubah menjadi gelap karena sebuah perpisahan pedih dengannya?
Di dalam mimpi itu saya menemui diri saya berada di dalam rumah kayu musim dingin yang tengah murung. Tidak ada cahaya lilin. Tidak ada tepuk tangan kurcaci-kurcaci. Tidak ada nyanyian dan suara gemerincing lonceng kecil di leher rusa bertanduk emas. Tidak ada tawa Santa. Tidak ada dirinya yang membawa sekotak kado berwarna merah. Tidak ada adik-adik saya, juga Ayah.
Di rumah itu, sebuah pohon Natal berdiri lelah di samping perapian. Lampu-lampu kecilnya menyala redup, kemudian mati, dan pohon itu merintih dengan khidmat, meminta saya mengembalikan tubuh tuanya itu kembali ke dalam kotak kardusnya saja. Mengapa, tanya saya. Lalu pohon itu menjawab dengan bisik kepahitannya, “Sudah tidak ada lagi perayaan Natal di rumah ini, untuk apa aku berdiri di sini?” Kemudian saya merasakan kepedihan mulai melesak ke dalam dada saya yang berlubang—seperti dada miliknya.
Ia pergi meninggalkan kami bertahun-tahun yang lalu, di suatu malam Natal yang teramat hening. Ia bahkan belum membungkus kado untuk saya, juga untuk adik-adik saya. Tumpukan bola kapas di bawah pohon natal kami terlihat begitu kesepian tanpa kado-kado. Saya berduka. Adik-adik saya juga berduka, tapi Ayah tidak.
Dua hari sebelum ia pergi, saya melihat gumpalan mendung menempel terlalu lekat di halaman matanya, tapi tidak pernah luruh menjadi hujan. Ia selalu berkata pada saya, ada rumah di bola matanya. Cantik dan rindang. Di dalam rumah itu, ia, saya, dan adik-adik saya adalah penghuni abadinya. Lalu, di mana Ayah, Ibu? Kenapa Ayah tidak ikut masuk ke mata Ibu? Tanya saya ketika itu, dan ia menjawab dengan senyuman yang dipaksa: Tidak ada Ayah di dalam rumah di mata Ibu, Sayang. Sebaiknya akan terus seperti itu saja.
Ketika itu, saya tidak mampu memahami makna kata-katanya. Saya lebih memilih tidur lelap di pangkuannya daripada berpikir. Pangkuannya adalah tempat paling hangat yang pernah saya rasai. Dan saya jadi bermimpi tentang padang rumput di mana anjing-anjing beagle berwarna hitam dan cokelat berlari-lari mengitari saya dan dirinya dan adik-adik saya yang tengah menari-nari dan bertepuk tangan dengan sukacita. Matahari begitu terik, tapi tidak membakar kulit-kulit kami yang pucat. Mata sipitnya berbinar-binar. Ada air terjun yang merayap perlahan. Jangan menangis, Ibu, ujar saya menenangkannya, lalu ia memeluk saya dan adik-adik saya dengan rapat dan hangat.
Tapi mimpi itu pada akhirnya harus pergi ketika hujan turun begitu deras dan memukul-mukul atap rumah, menimbulkan suara gaduh yang sesak, tapi saya justru terbangun karena teriakan-teriakan. Ia masuk ke dalam kamar saya dengan membanting pintu. Saya menyalakan lampu meja di samping ranjang dan menemui dirinya yang terduduk di tepi kursi belajar saya. Ia mengerjab, dan saya telah melihatnya. Gumpalan mendung di halaman matanya melahirkan petir-petir dan gemuruh guntur yang menghirukkan malam. Saya menggigil ketakutan. Saya berpikir malam akan melarikan diri dan pagi yang pikuk akan memporak-porandakan ketenangan kami kembali.
“Jangan pandangi Ibu seperti itu, Yuan.”
“Kenapa, Ibu? Kenapa tidak boleh?”
“Ibu sedang berduka.”
“Jika Ibu berduka, Yuan ingin menemani Ibu.”
“Tidak, Yuan, jangan ingat Ibu yang seperti ini.”
Malam itu, ia memeluk saya sedemikian erat. Sebuah pelukan terakhir. Saya tidak menyadari hal itu.
Orang-orang dewasa pernah berkata kepada saya, bahwa ia adalah perempuan yang tidak tahu terima kasih dan suaminya adalah lelaki paling baik yang pernah ia dapatkan. Tapi saya tidak mempercayai kata-kata itu. Bagi saya, ia adalah Ibu yang terhebat.
Hidup tanpanya memaksa saya tumbuh menjadi wanita yang tidak lagi menyukai Natal. Bagi saya, Natal adalah sebuah pertanda kesialan, yang jika saya merayakan dengan sukacita—seperti kami di masa lalu—maka saya akan kehilangan orang yang saya cintai sekali lagi. Saya sekarang mengerti. Mungkin benar karena itulah, karena saya sudah tidak lagi menyentuh cahaya Natal di hati saya, hati saya berubah menjadi pekat. Mungkin karena itu jugalah saya selalu mengalami mimpi-mimpi yang menggelisahkan. Seperti apa yang telah dikatakan si tua Murakami. Tapi saya bersyukur saya masih memiliki mimpi-mimpi malam Natal walaupun itu menyakitkan, daripada saya tidak bermimpi sama sekali, bukan begitu?
Pukul sebelas malam akhirnya datang. Jam dinding tua peninggalannya berdentang dan saya tersentak. Hampir tengah malam. Kuncup Natal sebentar lagi akan merekah, dan di saat seperti ini, saya di masa lalu hanya akan menggelung diri dan menutup telinga dan mata sepanjang hari. Rumah ini telah menjadi kuburan senyap semenjak Ayah meninggal dan adik-adik saya menikah lalu pergi. Saya seorang diri. Saya tidak ingin menikah dan membangun keluarga, padahal saya sudah tiga puluh lima tahun. Saya takut kesialan yang menimpa dirinya juga akan menimpa diri saya.
Sesungguhnya, seorang pria mapan, sahabat saya, telah berkali-kali melamar, tapi saya senantiasa menolaknya. Saya tahu dia kecewa, tapi tidak pernah menyerah pada diri saya. Kemarin senja, ketika kami pulang kerja bersama-sama, dia kembali melamar saya. Lamaran yang lebih serius. Ada sekotak cincin di tangannya dan dia memandang saya dengan teduh. Saya akui dada saya berdebar, tapi ketakutan itu tetap menyertai dan sekali lagi, saya menolak dirinya.
Pernikahan Ibu dan Ayah saya yang gagal di tengah jalan, telah menanamkan nilai-nilai buruk di dalam kepala saya. Pernikahan adalah ikatan yang membuat salah satu di antaranya merasakan kepedihan sementara yang lain akan merasakan kesepian. Tidak ada yang indah dari sebuah pernikahan, itu yang saya pelajari dari kedua orangtua saya.
Semenjak Ibu pergi di malam Natal yang hening dan tidak ada kado di atas tumpukan bola-bola kapas, Ayah menjadi pria gila dan putus asa yang paling andal di dunia ini. Setiap hari hanya diisi dengan mabuk dan mengoceh. Ocehannya sangat buruk dan tidak pantas untuk didengar oleh bocah-bocah yang menangis dan mengkhawatirkan dirinya dari balik selimut tebal dengan tubuh menggigil. Ayah akan selalu melempari dinding dengan apapun yang mampu digapainya, memaki dinding itu dengan tangisan pedih seolah-olah Ibu ada di dalamnya, terperangkap dalam batu bata dan semen yang mengeras. Di mata saya, Ayah nampak menggelikan. Bagaimana bisa seorang pria menangisi hal yang tidak mampu dipertahankannya layaknya seorang pria sejati?
Sebuah ketukan kecil tiba-tiba terdengar di kaca jendela kamar saya. Suaranya seperti sebuah lemparan kerikil. Saya mengernyit, berpikir, lalu turun dari ranjang dan menghampiri jendela. Samar terlihat cahaya temaram di balik tirai jendela. Saya menyibak kain berwarna kelabu itu dan melihat sesuatu di bawah sana, di atas hamparan salju yang putih pucat: Ibu dan pria yang berkali-kali melamar diri saya. Sungguh tidak masuk akal. Saya mengucek mata dan kembali menekuni mereka. Ibu tidak lagi ada. Ia telah menghilang. Di tempat Ibu berdiri tadi, saya menemui sebuah pohon Natal berdiri tegak. Berkelap-kelip. Puluhan lilin-lilin kecil mengelilingi halaman rumah.
Pria itu tersenyum dan melambai pada saya. “Turunlah!” Dia berseru, tapi saya ragu menuruti permintaannya.
“Buat apa aku turun?”
“Mari merayakan Natal bersamaku, Yuan!”
Sebuah permintaan yang konyol, padahal dia tahu saya sudah tidak lagi merayakannya.
“Aku mengantuk!”
“Jangan tidur di malam Natal, kau akan kehilangan cahaya-Nya!”
“Sudah terlalu lama aku kehilangan itu!”
“Ayolah, Yuan. Jangan keras kepala. Menikahlah denganku dan aku akan selalu membuatmu bahagia!”
Ah, lamaran itu lagi. Saya menjadi geram dan memutuskan untuk turun ke bawah. Sepertinya benar, seorang lelaki butuh dijelaskan berkali-kali agar betul-betul mengerti. Dengan lesat saya keluar kamar, menuruni tangga dan bergegas ke pintu depan. Udara musim dingin menerpa wajah saya begitu pintu itu saya buka. Rasanya seperti diterjang kemalangan yang lama membeku. Tapi sejenak kemudian, pendar hangat itu bergoyang-goyang seolah menari di depan mata saya. Cahaya-cahaya keemasan dan dia yang berjalan menghampiri saya.
“Selamat Natal, Yuan. Semoga kau selalu diterangi cahaya cinta-Nya.”
Saya terhenyak, merasai keanehan yang menjalar. Dia segera meraih tangan saya dan menggiring saya berjalan mendekat ke arah pohon. Berkotak-kotak kado berwarna merah tergeletak di atas salju. Itu mengingatkan saya pada Ibu.
Di hari ketika Ibu mengikatkan tali di lehernya yang jenjang dan indah, dan melemparkan tubuhnya ke bawah, saya melihatnya dari halaman rumah ini. Ibu kejang-kejang sebentar, lalu berhenti. Ia mendelik, tapi rumah di dalam bola matanya tidak nampak lagi. Ayah berlari masuk rumah dengan gusar. Adik-adik saya menangis, tapi saya membeku dan diam. Hanya melihat mata Ibu yang telah kosong. Mata yang seakan ingin berkata pada saya: Tidak ada kebahagiaan sejati di dunia ini, kau harus memilih antara menerimanya dengan sukacita ataukah pergi mati.
Tiba-tiba saja air mata saya luruh. Saya limbung dan jatuh terduduk. Pria itu terhenyak dan segera memeluk saya dan berkata, “Semua akan baik-baik saja, Yuan. Aku janji padamu.”
Dan dentang jam terdengar dua belas kali. Sepertinya, Natal telah bersemi di dalam dada saya yang berlubang. Apakah setelah ini, saya akan memiliki mimpi-mimpi yang teramat indah? []
Sidoarjo, 2016
"Orang yang berhati gelap hanya akan melihat mimpi yang gelap. Apabila hatinya lebih gelap lagi, mimpi pun dia tidak akan bisa." dikutip dari buku Dengarlah Nyanyian Angin oleh Haruki Murakami (diterbitkan oleh KPG, cetakan kedua, Mei 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar