Rabu, 22 Februari 2017
RAHIM DI SUMUR IBU
Ada rahim di dalam sumur ibuku. Sumur Ibu kusam dan dalam. Baju-baju kotor tenggelam di bak mandi, meminta pertolonganku, tapi Ibu melarang mereka merengek. Ibu berkata padaku: Jika kamu membantu yang lemah, kamu juga akan menjadi lemah. Pertolongan adalah sebuah karma.
Rahim di sumur Ibu itu mengangah. Kata ibuku dia bisa membawa kita semua masuk surga. Di surga ada Bapa, ada malaikat-malaikat, ada orang-orang saleh, bidadari-bidadari, dan jejaka yang menunggangi domba. Tapi di surga tidak ada aku, tidak ada Ibu, tidak ada Bapak. Aku, Ibu, Bapak, tidak dilahirkan untuk surga. Aku, Ibu, Bapak, dilahirkan untuk dibenamkan ke dalam tanah. Gelap dan lembab. Jika hujan datang, kami akan berenang. Di dalam tanah. Bersama ulat dan belatung-belatung.
Kompor Ibu sering menyala garang. Apinya marah dan menyumpah-nyumpah. Nasib kami bau anjing, terpanggang di atas kompor Ibu. Saku celana Bapak suka berlubang, uang-uang jatuh, uang-uang berhamburan, uang-uang menghilang. Bapak bilang bukan kesalahannya, itu salah celana yang sudah melubangi dirinya sendiri. Ibu tidak percaya, tapi dia diam. Ibu adalah kesunyian yang bernyanyi. Tek, tek, tek. Dung, dung, dung. Tek, tek, tek. Dung, dung, dung. Ibu dan kesedihan, berlomba menabuh tawa di bibir sumur. Sumur yang ada rahimnya, yang bisa membawa manusia ke surga.
"Telan tubuh kami, Sumur! Telan dosa-dosa kami!"
Bosan. Aku ingin hidup di tubuh pelangi, atau hujan, atau awan-awan. Aku ingin jadi kura-kura, atau kelinci, atau cacing di dalam bumi, atau jutaan plankton di dada lautan. Aku ingin jadi kamu, yang tidak pernah ingat aku.
Bosan. Apa aku harus ditelan rahim di dalam sumur Ibu agar aku bertemu Bapa di surga? Ah, lupa. Aku tidak dilahirkan untuk masuk surga... []
Sidoarjo, 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar