Senin, 20 Februari 2017
KISAH SEDIH TENTANG TUBUHKU
Tubuhku adalah jalan raya. Hiruk. Gerah. Mengembara di dada malam. Terhempas. Pasir kerikil melayang sukacita di kepala. Mengotori mataku. Menyumbat cuping hidungku.
Mobil-mobil mewah lesat lalu-lalang. Pamer slogan-slogan, kemakmuran dan kejayaan, keajaiban dan kebinalan. Sopir minibus berkumis garang telah datang, lalu guru agama yang kuku-kukunya runcing menghitam, lalu tukang ojek motor berkudis, lalu engkong gendut berbau babi, lalu kernet mikrolet yang ludahnya amis.
"Bangku panjang tujuh! Bangku pendek empat!”
"Buk, anak-anak dipangku!"
Malam terlelap, tubuhku tertimpa pagi. Lelaki kelam dengan karung bekas di punggung berjalan tertatih. Bocah-bocah memapah pelangi. Perempuan bunting yang lupa jalan pulang. Seorang tua pincang-pincang. Kucing-kucing berkelamin. Pohon-pohon menarik diri dari tanah, melarikan diri dari kebisingan. Tubuhku menjelma lubang-lubang, tapi Bapak Presiden tidak peduli pada lubang. Buta. Membisu. Hujan datang tanpa mendung, merabai dadaku,menepuk pantatku. Kelangkangku basah. Ibu-ibu segera lari panik, menyeret anak-anaknya pulang ke rumah.
Teriakan menggema, "Pegang paha seribu rupiah! Pegang dada dua ribu rupiah!"
"Generasi bejat!"
"Lonte!"
Aku pecah. Menua. Melarat-larat. Tubuhku berubah hitam. Malam tak lagi singgah. Mobil-mobil congkak berhamburan, malas berteduh di tubuhku lagi. Tubuhku kosong, tubuhku penuh batu-batu terjal. Lesap. Hujan tergelak-gelak, tapi langit meratapi tubuhku. Aku terperangkap di antara kicauan burung. Menangis. Tubuhku berkeping-keping, dilebur matahari, dihempas angin-angin.
Aku hilang. Aku sudah sangat lelah untuk menjadi jalan raya. []
Sidoarjo, 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar