Oleh: Ajeng Maharani
Bukit di buah dadamu rindang dan terlalu hiruk bagiku. Pohon-pohon pinus yang berlidah tajam, dan anak-anak yang berterbangan bersama layang-layang, dan anjing yang menggoyang-goyangkan ekornya, dan bunga yang tidak berhenti tertawa, dan ilalang yang melambai sedih pada kekasihnya yang telah tergunduli. Para istri sibuk berteriak, "Jangan patahkan leher anakmu!" Lalu terdengar benturan kepala di pagar rumah, dan kesedihan menjadi alas kaki yang sedang merenung di kamarku.
Bukit di buah dadamu memantul-mantul, aku tenggelam bersamanya, di sana, di antara himpitan bunga matahari yang mendongak ke langit bajumu. Kau baru bangun tidur pagi ini. Secangkir kopi menggantung di bibirmu. Bukan aku yang membuatnya, tapi lelaki lain, yang miliknya lebih lebat dari milikku. Dan bukit di buah dadamu bernyanyi hingga malam. Aku pulas di sana, hingga aku lupa, ada seorang istri yang berteriak di rumahku, "Jangan patahkan leher anakmu, pengecut!"
~ 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar