Aku harus bergegas. Itu saja yang selalu
berulang-ulang kuucap dalam hati. Aku sudah tak ingin semakin tenggelam dalam
ketidakberdayaanku, dalam sikap-sikap pasrahku yang terlalu konyol. Pagi pukul
enam aku sudah duduk di salah satu bangku halte yang muram. Kesedihan terpancar
begitu jelas pada tiang-tiangnya yang berkarat. Tak ada yang terlalu
menggairahkan bagiku di pagi ini, tidak setelah seorang perempuan datang dan
duduk di sampingku.
Bajunya begitu lusuh, hanya
sebuah terusan panjang berwarna abu-abu tua. Rambut-rambutnya berantakan,
seperti sudah berhari-hari rambut itu tak pernah disetubuhi air. Ia perempuan
paling diam yang pernah kutemui. Sejak ia bersamaku di sini, tak sekali pun
kudengar desahan suara dari bibirnya yang kering dan sedikit pucat itu.
Aku hanya bisa melihat raut
mukanya yang gelisah, dengan bola mata yang basah. Kukatakan kami hanya bisa
duduk tanpa saling berusaha menyapa. Aku tahu matanya, demikian pula mataku,
begitu sasar menyapu suasana pikuk terminal di pagi hari. Melihat
manusia-manusia dikejar oleh gumpalan waktu yang melayang-layang. Satu orang
satu gumpalan waktu, berdenyut-denyut dan melayang di atas kepala mereka. Wajah
mereka begitu panik, begitu tertekan. Mereka saling dorong berebut angkot,
berdesak-desakan, berbicara dengan berteriak seakan-akan mereka hidup di
belantara yang bising.
Otakku tiba-tiba saja
mengetuk-ngetuk tempurung kepalaku ketika teringat kata bising. Kata yang pagi
ini seharusnya telah kutinggalkan bersama mereka di dalam rumah kami yang
begitu kesepian. Rumah yang bahkan tak pernah dikunjungi oleh wajah-wajah
tertawa, atau senyum, ataupun bahagia.
Seorang laki-laki tua berjalan
melintasi kami dari arah pasar. Dia memanggul karung goni yang menggelembung,
sambil menenteng setandan pisang. Kaki-kakinya begitu lamban, terdengar seperti
suara keluhan dari sela-sela sendal yang sudah menipis di bagian belakangnya
itu. Kaki-kaki lambannya bersusah-payah membawanya menghampiri seorang tukang
becak yang tengah berjongkok sambil mengibaskan topi jeraminya. Tukang becak
menguap, mengucak mata. Aku berani bertaruh lelaki itu tidak tidur semalaman
karena asyik bermain domino atau catur.
Perempuan lusuh di sampingku
masih bergeming. Entah apakah perasaanku atau apa, sepertinya tubuh itu
menggigil. Wajahnya semakin pucat, dan kering. Akankah ia mati, di sini?
Mataku kembali menikmati
kebisingan terminal. Nampak sebuah bemo baru saja datang dari arah pintu masuk.
Pelan-pelan dia menelusuri terminal lalu menempatkan bokongnya di deretan
paling belakang antrian bemo yang lain. Itu bukan bemo yang sedang kutunggu.
Seharusnya bemo yang datang berwarna hijau lumut, agar aku cepat pergi dan
bebas. Tapi nyatanya, bemo itu berwarna merah bata. Kulihat supir bemo itu
turun, bercengkrama dengan seseorang yang kuduga itu adalah kernetnya lalu
membuang matanya ke arahku. Kami sempat beradu pandang sepersekian detik, lalu
aku memalingkan muka dari wajahnya yang dipenuhi oleh cambang dan mata yang
mendelik seakan ingin melompat keluar dan berlari menuju arahku.
Ibuku dulu pernah berceloteh,
gadis kecil tak seharusnya berkeliaran tanpa pendamping, karena begitu banyak
monster bernama laki-laki yang siap menerkam. Tetapi saat ini aku bukan lagi
seorang gadis kecil, aku empat belas tahun. Aku seorang remaja yang sudah
terlalu sering dibosankan dengan keadaan, jadi ibuku harus mengerti akan hal
itu.
Aku sebut ibuku adalah peluit
kereta api yang tak bisa diam. Bising dan karatan. Sedang ayahku adalah lelaki
yang seakan-akan menyimpan begitu banyak tumpukan batu bara di dalam perutnya.
Batu-batu itu siap dibakar, panas dan meledak-ledak. Ibu dan ayah adalah
satu-kesatuan, mereka kereta api yang selalu memaksaku untuk berlari, berlari
dan berlari sepanjang rel agar aku tak tergilas oleh roda-roda mereka.
Apakah aku mencintai keduanya?
Jika aku mencintai mereka, lalu untuk apa pagi pukul enam di hari Sabtu yang
pikuk aku sudah berada di sini?
Tiga orang wanita berkerudung
dengan keranjang penuh belanjaan—beberapa helai daun dan bongkahan kentang
menyembul keluar dari bibir keranjangnya—datang dan duduk sedikit berjauhan
dari kami. Tapi aku masih bisa mendengar suara mereka yang mericis seperti
hujan, bercuap-cuap tentang kenaikan harga cabai rawit, telur ayam dan beras
hari ini. Juga tentang betapa menyesalnya mereka dulu mencoblos wajah lelaki
bernomor dua.
Aku sedikit merasa geli. Wajah
mereka bersungut-sungut, marah. Sama seperti wajah ibuku ketika uang pemberian
ayah terlalu kecil untuk menghidupi enam kepala sekaligus. Semua ibu akan berwajah
sama ketika uang belanja mereka berada pada posisi memprihatinkan, bukan? Semua
tahu itu. Dan setidaknya aku sedikit terhibur dengan obrolan mereka.
Ketika aku asyik menguping,
perempuan yang sedari tadi duduk di sampingku tiba-tiba bangkit. Kulihat tubuhnya
semakin menggigil. Kaki-kakinya seakan ingin melangkah tapi terlihat seperti
tertahan sesuatu. Bibirnya terbuka setengah senti, binar matanya semakin basah.
Aku penasaran. Kuikuti ke mana
arah matanya itu ditambatkan. Tiga bocah berseragam cokelat nampak bercengkrama
sambil berjalan. Salah satunya tertawa lebar, satunya lagi menepuk pundak
kawannya dengan keras, sedangkan yang terakhir hanya sibuk manggut-manggut
dengan bibir yang komat-kamit.
Perempuan di sampingku masih
bergemetar. Jari-jemarinya diremas-remas. Bibir keringnya digigit. Kegelisahan
yang sedari tadi nampak di wajahnya semakin memuncak. Lalu, ketika ketiga bocah
itu semakin mendekati tempat kami berada, perempuan di sampingku dengan
tergeragap menyembunyikan tubuhnya di belakang tubuhku. Ia menundukkan kepala.
Rambut-rambutnya yang berantakan sebagian menutupi wajahnya dari samping.
Menit-menit berlalu dengan
begitu mencekik—sama sesaknya dengan ketika setiap malam kudengar ayah dan
ibuku saling berteriak, memaki, diselingi suara-suara benturan di tembok rumah.
Ketiga bocah itu mulai menjauh pelan-pelan. Terminal pagi yang begitu pikuk,
detik-detik yang mencekik, dan di balik punggungku, terdengar suara isakan yang
tertahan.
Sidoarjo—2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar