Jumat, 11 Desember 2015

SUATU PAGI YANG PIKUK

Oleh: Ajeng Maharani
 

 

Aku harus bergegas. Itu saja yang selalu berulang-ulang kuucap dalam hati. Aku sudah tak ingin semakin tenggelam dalam ketidakberdayaanku, dalam sikap-sikap pasrahku yang terlalu konyol. Pagi pukul enam aku sudah duduk di salah satu bangku halte yang muram. Kesedihan terpancar begitu jelas pada tiang-tiangnya yang berkarat. Tak ada yang terlalu menggairahkan bagiku di pagi ini, tidak setelah seorang perempuan datang dan duduk di sampingku.

Bajunya begitu lusuh, hanya sebuah terusan panjang berwarna abu-abu tua. Rambut-rambutnya berantakan, seperti sudah berhari-hari rambut itu tak pernah disetubuhi air. Ia perempuan paling diam yang pernah kutemui. Sejak ia bersamaku di sini, tak sekali pun kudengar desahan suara dari bibirnya yang kering dan sedikit pucat itu.

Aku hanya bisa melihat raut mukanya yang gelisah, dengan bola mata yang basah. Kukatakan kami hanya bisa duduk tanpa saling berusaha menyapa. Aku tahu matanya, demikian pula mataku, begitu sasar menyapu suasana pikuk terminal di pagi hari. Melihat manusia-manusia dikejar oleh gumpalan waktu yang melayang-layang. Satu orang satu gumpalan waktu, berdenyut-denyut dan melayang di atas kepala mereka. Wajah mereka begitu panik, begitu tertekan. Mereka saling dorong berebut angkot, berdesak-desakan, berbicara dengan berteriak seakan-akan mereka hidup di belantara yang bising.

Otakku tiba-tiba saja mengetuk-ngetuk tempurung kepalaku ketika teringat kata bising. Kata yang pagi ini seharusnya telah kutinggalkan bersama mereka di dalam rumah kami yang begitu kesepian. Rumah yang bahkan tak pernah dikunjungi oleh wajah-wajah tertawa, atau senyum, ataupun bahagia.

Seorang laki-laki tua berjalan melintasi kami dari arah pasar. Dia memanggul karung goni yang menggelembung, sambil menenteng setandan pisang. Kaki-kakinya begitu lamban, terdengar seperti suara keluhan dari sela-sela sendal yang sudah menipis di bagian belakangnya itu. Kaki-kaki lambannya bersusah-payah membawanya menghampiri seorang tukang becak yang tengah berjongkok sambil mengibaskan topi jeraminya. Tukang becak menguap, mengucak mata. Aku berani bertaruh lelaki itu tidak tidur semalaman karena asyik bermain domino atau catur.

Perempuan lusuh di sampingku masih bergeming. Entah apakah perasaanku atau apa, sepertinya tubuh itu menggigil. Wajahnya semakin pucat, dan kering. Akankah ia mati, di sini?

Mataku kembali menikmati kebisingan terminal. Nampak sebuah bemo baru saja datang dari arah pintu masuk. Pelan-pelan dia menelusuri terminal lalu menempatkan bokongnya di deretan paling belakang antrian bemo yang lain. Itu bukan bemo yang sedang kutunggu. Seharusnya bemo yang datang berwarna hijau lumut, agar aku cepat pergi dan bebas. Tapi nyatanya, bemo itu berwarna merah bata. Kulihat supir bemo itu turun, bercengkrama dengan seseorang yang kuduga itu adalah kernetnya lalu membuang matanya ke arahku. Kami sempat beradu pandang sepersekian detik, lalu aku memalingkan muka dari wajahnya yang dipenuhi oleh cambang dan mata yang mendelik seakan ingin melompat keluar dan berlari menuju arahku.

Ibuku dulu pernah berceloteh, gadis kecil tak seharusnya berkeliaran tanpa pendamping, karena begitu banyak monster bernama laki-laki yang siap menerkam. Tetapi saat ini aku bukan lagi seorang gadis kecil, aku empat belas tahun. Aku seorang remaja yang sudah terlalu sering dibosankan dengan keadaan, jadi ibuku harus mengerti akan hal itu.

Aku sebut ibuku adalah peluit kereta api yang tak bisa diam. Bising dan karatan. Sedang ayahku adalah lelaki yang seakan-akan menyimpan begitu banyak tumpukan batu bara di dalam perutnya. Batu-batu itu siap dibakar, panas dan meledak-ledak. Ibu dan ayah adalah satu-kesatuan, mereka kereta api yang selalu memaksaku untuk berlari, berlari dan berlari sepanjang rel agar aku tak tergilas oleh roda-roda mereka.

Apakah aku mencintai keduanya? Jika aku mencintai mereka, lalu untuk apa pagi pukul enam di hari Sabtu yang pikuk aku sudah berada di sini?

Tiga orang wanita berkerudung dengan keranjang penuh belanjaan—beberapa helai daun dan bongkahan kentang menyembul keluar dari bibir keranjangnya—datang dan duduk sedikit berjauhan dari kami. Tapi aku masih bisa mendengar suara mereka yang mericis seperti hujan, bercuap-cuap tentang kenaikan harga cabai rawit, telur ayam dan beras hari ini. Juga tentang betapa menyesalnya mereka dulu mencoblos wajah lelaki bernomor dua.

Aku sedikit merasa geli. Wajah mereka bersungut-sungut, marah. Sama seperti wajah ibuku ketika uang pemberian ayah terlalu kecil untuk menghidupi enam kepala sekaligus. Semua ibu akan berwajah sama ketika uang belanja mereka berada pada posisi memprihatinkan, bukan? Semua tahu itu. Dan setidaknya aku sedikit terhibur dengan obrolan mereka.

Ketika aku asyik menguping, perempuan yang sedari tadi duduk di sampingku tiba-tiba bangkit. Kulihat tubuhnya semakin menggigil. Kaki-kakinya seakan ingin melangkah tapi terlihat seperti tertahan sesuatu. Bibirnya terbuka setengah senti, binar matanya semakin basah.

Aku penasaran. Kuikuti ke mana arah matanya itu ditambatkan. Tiga bocah berseragam cokelat nampak bercengkrama sambil berjalan. Salah satunya tertawa lebar, satunya lagi menepuk pundak kawannya dengan keras, sedangkan yang terakhir hanya sibuk manggut-manggut dengan bibir yang komat-kamit. 

Perempuan di sampingku masih bergemetar. Jari-jemarinya diremas-remas. Bibir keringnya digigit. Kegelisahan yang sedari tadi nampak di wajahnya semakin memuncak. Lalu, ketika ketiga bocah itu semakin mendekati tempat kami berada, perempuan di sampingku dengan tergeragap menyembunyikan tubuhnya di belakang tubuhku. Ia menundukkan kepala. Rambut-rambutnya yang berantakan sebagian menutupi wajahnya dari samping.

Menit-menit berlalu dengan begitu mencekik—sama sesaknya dengan ketika setiap malam kudengar ayah dan ibuku saling berteriak, memaki, diselingi suara-suara benturan di tembok rumah. Ketiga bocah itu mulai menjauh pelan-pelan. Terminal pagi yang begitu pikuk, detik-detik yang mencekik, dan di balik punggungku, terdengar suara isakan yang tertahan.

 



Sidoarjo—2015

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar