Oleh : Ajeng Maharani
Jangan mengguruiku atau mempertanyakan tentang
bagaimana aku melayani suamiku, ujarku sore itu padanya. Dia menatapku tanpa
berkedip, lalu tersenyum. Dia bertanya apakah aku sedang marah padanya.
Walaupun iya aku marah, dia bisa paham tentang itu. Tapi tidak. Aku tidak
sedang marah, hanya tak suka dia bertanya hal-hal bodoh seperti itu setelah
berkelamin dengan suamiku.
Aku tahu, mungkin saja dia merasa lebih karena tubuhnya
dibutuhkan sebagai bahan pemuasan ketidakpuasan. Mungkin juga dalam otaknya dia
berpikir aku tidak becus sebagai seorang istri. Dengan lihainya dia umbar kegiatan
ranjangnya padaku. Bicara tentang betapa besar libido lelaki yang sudah
kunikahi selama tiga tahun itu.
Dia juga katakan mereka menyimpan foto-foto bugil
dan sering saling mengirimnya di chat mereka yang membara. Juga menyebutkan
tempat-tempat, pantai-pantai, dan hotel mana saja yang mereka kunjungi, lengkap
dengan tanggal dan bulan yang sangat dia ingat, seolah-olah dia mesin pengingat
yang berjalan.
Mendengar ucap demi ucap yang dia pecahkan sore
ini di teras rumahku, membuat aku muak dan ingin muntah. Tapi bagaimanapun aku harus
tetap berusaha tenang menghadapinya. Aku tidak boleh nampak menyedihkan di
hadapannya. Tidak boleh!
“Kalau kau mencintai suamiku, silakan saja nikahi
dia. Aku tidak keberatan, kok,” ujarku santai.
“Maaf, Mbak. Tapi aku sudah kecewa sama suamimu.
Kukira dia benar belum berkeluarga, tapi dia banyak menipuku.”
“Ya, jelas saja kau tidak akan mau hidup sama
lelaki yang tidak kaya dan memiliki bocah dua tahun seperti dia. Kau tidak
ingin bebanku berpindah padamu, bukan?”
Dia diam. Aku jelas paham isi hatinya. Dia
perempuan muda yang cantik, gaya berpakaiannya pun mewah. Lalu kulit licinnya
itu, atau rambutnya yang jatuh-jatuh bergelombang itu, yang kuyakini pasti
semua yang ada pada dirinya jauh lebih mahal dari uang belanjaku satu bulan. Sudah
tentu dia tidak rela jika pada akhirnya akan menjadi pembantu rumahan seperti
apa yang sudah menjadi kutukan bagiku.
“Mbak tidak takut kehilangan suami Mbak?” ujarnya
pelan. Suaranya seperti bisikan-bisikan angin yang mengatakan ingin membelai
rambutku lalu mencambaknya kuat-kuat. Dia masih saja berusaha ingin mencari
sisi kemarahanku. Aku yakin itu.
Aku akhirnya menggeleng saja. Buat apa aku takut?
Ketakutan bukanlah lawan dari seorang wanita yang sudah menutup hatinya, bukan?
“Apa Mbak mau cerai?”
“Entahlah, masih kupikirkan itu.”
Dia diam.
“Kau lihat, kan, lelaki itu tidak berani pulang
saat kau ada di sini.”
“Iya.”
Kami diam kembali. Mata-mata kami menjadi sibuk
menelanjangi halaman rumah yang sore ini belum kubersihkan dari daun-daun
mangga yang ranap.
Sebenarnya, sebelum perempuan dengan buah dada
yang hampir meledak dalam sarangnya itu datang, aku sudah katakan pada suamiku
untuk segera pulang dan menjumpai kami. Menjumpai untuk bertanggung jawab
sebagai laki-laki sejati. Tapi sampai hampir dua jam berlalu, dia tidak juga
datang.
Dalam pesan singkatnya dia marah, mengapa harus
bawa-bawa perempuan itu ke rumah. Aku katakan karena hubungannya sudah terlalu
jauh, dan sudah sepantasnya perempuan itu kuundang untuk saling bicara. Tapi
tetap dia tidak bisa terima itu.
Aku yakin dia hanya ingin menghindar dan tidak
mau disalahkan. Laki-laki derajatnya memang tinggi, tidak mungkin mau untuk
sujud di kaki istrinya untuk meminta maaf, bukan?
Dia benar-benar seorang pengecut handal.
“Mbak, aku harus segera pulang. Sebentar lagi
tugas ngajarku tiba. Maaf aku tidak bisa lebih lama lagi menunggu.”
Aku mengangguk. Mafhum.
“Mbak jangan khawatir. Aku sudah lepaskan Mas
Pri. Dia milik Mbak, bukan milikku. Maaf jika aku sudah membuat Mbak sedih,
tapi aku juga sedih karena aku di sini juga sebagai korbannya. Mbak paham,
kan?”
Aku mengangguk lagi. Jika ingin mendebat
kata-katanya, itu sudah kulakukan sejak tadi dan menumpahkan kemarahan. Bisa
saja ia kutikam atau meracuni minuman yang kusuguhkan padanya. Tapi aku tidak
suka menjadi diriku yang mudah meluap-luap dan meledak amarah. Aku juga tidak
mau jadi pembunuh murahan. Tidak. Aku ingin jadi lebih elegan.
Perempuan itu menyalamiku dengan pipi yang
ditempel-tempelkannya pada pipiku. Aku menerimanya begitu saja, tanpa
perlawanan. Aku bahkan melemparinya senyuman hangat, lalu mengantarkan
punggungnya menghilang di pagar rumah.
Untuk beberapa saat, aku masih diam berdiri di
tepi pagar, hingga ponselku berbunyi lantang, selatang gemuruh dada yang sedari
tadi kutekan-tekan kuat.
“Bagaimana? Kau sudah siap? Dia baru saja pergi.”
“Iya.”
“Bagus. Lakukan saja. Apa kau bawa teman?”
“Iya.”
“Bagus. Selamat menikmatinya.”
Setelah kututup ponsel hitam itu, aku melangkah
kembali ke dalam rumah. Anakku menunggu. Dia sedang bermain bersama bonekanya.
Sebentar lagi malam, dan aku harus mempersiapkan langkah-langkah untuk keesokan
harinya. Langkah-langkah yang elegan untuk suamiku tercinta.
Sidoarjo, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar