Jumat, 11 Desember 2015

WANITA YANG DADANYA MELEDAK DI SUATU SORE


Oleh : Ajeng Maharani

 

Jangan mengguruiku atau mempertanyakan tentang bagaimana aku melayani suamiku, ujarku sore itu padanya. Dia menatapku tanpa berkedip, lalu tersenyum. Dia bertanya apakah aku sedang marah padanya. Walaupun iya aku marah, dia bisa paham tentang itu. Tapi tidak. Aku tidak sedang marah, hanya tak suka dia bertanya hal-hal bodoh seperti itu setelah berkelamin dengan suamiku.

 

Aku tahu, mungkin saja dia merasa lebih karena tubuhnya dibutuhkan sebagai bahan pemuasan ketidakpuasan. Mungkin juga dalam otaknya dia berpikir aku tidak becus sebagai seorang istri. Dengan lihainya dia umbar kegiatan ranjangnya padaku. Bicara tentang betapa besar libido lelaki yang sudah kunikahi selama tiga tahun itu.

 

Dia juga katakan mereka menyimpan foto-foto bugil dan sering saling mengirimnya di chat mereka yang membara. Juga menyebutkan tempat-tempat, pantai-pantai, dan hotel mana saja yang mereka kunjungi, lengkap dengan tanggal dan bulan yang sangat dia ingat, seolah-olah dia mesin pengingat yang berjalan.

 

Mendengar ucap demi ucap yang dia pecahkan sore ini di teras rumahku, membuat aku muak dan ingin muntah. Tapi bagaimanapun aku harus tetap berusaha tenang menghadapinya. Aku tidak boleh nampak menyedihkan di hadapannya. Tidak boleh!

 

“Kalau kau mencintai suamiku, silakan saja nikahi dia. Aku tidak keberatan, kok,” ujarku santai.

 

“Maaf, Mbak. Tapi aku sudah kecewa sama suamimu. Kukira dia benar belum berkeluarga, tapi dia banyak menipuku.”

 

“Ya, jelas saja kau tidak akan mau hidup sama lelaki yang tidak kaya dan memiliki bocah dua tahun seperti dia. Kau tidak ingin bebanku berpindah padamu, bukan?”

 

Dia diam. Aku jelas paham isi hatinya. Dia perempuan muda yang cantik, gaya berpakaiannya pun mewah. Lalu kulit licinnya itu, atau rambutnya yang jatuh-jatuh bergelombang itu, yang kuyakini pasti semua yang ada pada dirinya jauh lebih mahal dari uang belanjaku satu bulan. Sudah tentu dia tidak rela jika pada akhirnya akan menjadi pembantu rumahan seperti apa yang sudah menjadi kutukan bagiku.

 

“Mbak tidak takut kehilangan suami Mbak?” ujarnya pelan. Suaranya seperti bisikan-bisikan angin yang mengatakan ingin membelai rambutku lalu mencambaknya kuat-kuat. Dia masih saja berusaha ingin mencari sisi kemarahanku. Aku yakin itu.

 

Aku akhirnya menggeleng saja. Buat apa aku takut? Ketakutan bukanlah lawan dari seorang wanita yang sudah menutup hatinya, bukan?

 

“Apa Mbak mau cerai?”

 

“Entahlah, masih kupikirkan itu.”

 

Dia diam.

 

“Kau lihat, kan, lelaki itu tidak berani pulang saat kau ada di sini.”

 

“Iya.”

 

Kami diam kembali. Mata-mata kami menjadi sibuk menelanjangi halaman rumah yang sore ini belum kubersihkan dari daun-daun mangga yang ranap.

 

Sebenarnya, sebelum perempuan dengan buah dada yang hampir meledak dalam sarangnya itu datang, aku sudah katakan pada suamiku untuk segera pulang dan menjumpai kami. Menjumpai untuk bertanggung jawab sebagai laki-laki sejati. Tapi sampai hampir dua jam berlalu, dia tidak juga datang.

 

Dalam pesan singkatnya dia marah, mengapa harus bawa-bawa perempuan itu ke rumah. Aku katakan karena hubungannya sudah terlalu jauh, dan sudah sepantasnya perempuan itu kuundang untuk saling bicara. Tapi tetap dia tidak bisa terima itu.

 

Aku yakin dia hanya ingin menghindar dan tidak mau disalahkan. Laki-laki derajatnya memang tinggi, tidak mungkin mau untuk sujud di kaki istrinya untuk meminta maaf, bukan?

 

Dia benar-benar seorang pengecut handal.

 

“Mbak, aku harus segera pulang. Sebentar lagi tugas ngajarku tiba. Maaf aku tidak bisa lebih lama lagi menunggu.”

 

Aku mengangguk. Mafhum.

 

“Mbak jangan khawatir. Aku sudah lepaskan Mas Pri. Dia milik Mbak, bukan milikku. Maaf jika aku sudah membuat Mbak sedih, tapi aku juga sedih karena aku di sini juga sebagai korbannya. Mbak paham, kan?”

 

Aku mengangguk lagi. Jika ingin mendebat kata-katanya, itu sudah kulakukan sejak tadi dan menumpahkan kemarahan. Bisa saja ia kutikam atau meracuni minuman yang kusuguhkan padanya. Tapi aku tidak suka menjadi diriku yang mudah meluap-luap dan meledak amarah. Aku juga tidak mau jadi pembunuh murahan. Tidak. Aku ingin jadi lebih elegan.

 

Perempuan itu menyalamiku dengan pipi yang ditempel-tempelkannya pada pipiku. Aku menerimanya begitu saja, tanpa perlawanan. Aku bahkan melemparinya senyuman hangat, lalu mengantarkan punggungnya menghilang di pagar rumah.

 

Untuk beberapa saat, aku masih diam berdiri di tepi pagar, hingga ponselku berbunyi lantang, selatang gemuruh dada yang sedari tadi kutekan-tekan kuat.

 

“Bagaimana? Kau sudah siap? Dia baru saja pergi.”

 

“Iya.”

 

“Bagus. Lakukan saja. Apa kau bawa teman?”

 

“Iya.”

 

“Bagus. Selamat menikmatinya.”

 

Setelah kututup ponsel hitam itu, aku melangkah kembali ke dalam rumah. Anakku menunggu. Dia sedang bermain bersama bonekanya. Sebentar lagi malam, dan aku harus mempersiapkan langkah-langkah untuk keesokan harinya. Langkah-langkah yang elegan untuk suamiku tercinta.

 

 

Sidoarjo, 2015

 

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar