Jumat, 11 Desember 2015

AKU BERKISAH TENTANG LELAKI TERHEBAT, KUTUKAN, DAN KEMATIAN IBU

Oleh: Ajeng Maharani

 
 

Bapakku seorang ayah yang hebat. Ia terbaik dari yang pernah ada. Aku mempunyai impian, kelak saat aku memiliki anak, aku ingin anak-anakku pun bisa merasa bangga mempunyai seorang ayah seperti bapakku. Karena itulah aku bertekad menikahi lelaki terbaik yang pernah aku temui suatu hari nanti. Tapi, akibat ketololanku sendiri, anak-anakku tak pernah mempunyai seorang ayah yang hebat. Aku menikahi lelaki paling bodoh dan konyol yang pernah kujumpai. Bahkan lebih konyol dari tumpahan selai cair di baju kerjaku saat aku menggigit roti panggang yang masih panas.

Kehebatan bapakku bukan karena ia seorang yang kaya raya. Ia bahkan tak mampu membelikan tas baru ketika kenaikan kelas, seperti seorang ayah kebanyakan yang menghadiahkan sesuatu untuk anak-anaknya yang telah berhasil dalam belajar. Bapak hanya akan mengumpulkan kain-kain perca dari sisa jahitannya, beraneka macam motif lalu menyambungnya menjadi sebuah tas bahu yang lucu. Saking lucunya, setiap anak yang melihatku pasti akan menertawakan dan berbisik-bisik. Mereka pikir itu adalah lelucon paling hebat, dan tas bikinan bapakku membuatku bertambah muram.

Aku adalah anak pertama darinya, seorang gadis satu-satunya dari lima bersaudara. Bapak menjulukiku ‘Putri’ walaupun rumah kontrakan yang kami tempati jauh dari sebutan pantas untuk sebuah istana. Rumah itu tak beratapkan genteng, tapi memiliki sekumpulan asbes yang meliuk-liuk. Setiap waktu asbes-asbes itu memaksa kami untuk mandi keringat, apalagi ketika matahari pecah tepat di atas kepala. Tak ada dinding bata di rumah kami, maksudku rumah kontrakan kami. Sisi-sisinya hanya dibatasi kayu triplek tebal, yang memisahkan kami dengan rumah di samping. Apapun bisa kami dengar dari rumah sebelah. Suatu ketika terdengar suara aneh dari sana. Aku tahu itu suara lelaki dan perempuan yang sedang beradu napas. Napas yang saling memburu satu sama lain. Aku membayangkan napas-napas itu berlarian dan bergumul seperti keempat adikku yang tak pernah bisa diam. Ketika kutanya suara apakah itu, ibuku menjawab bahwa itu suara tetangga kami yang sedang bercanda, dan candaan anak-anak tak pernah sama dengan candaan orang-orang yang menyebut dirinya dewasa, karena itulah kami tak bisa paham maksud perkataan Ibu. Tapi beberapa tahun kemudian, ketika Ibu mati dan bapakku kesepian, aku mulai paham mengapa orang-orang dewasa senang bercanda dan butuh bercanda.

Ibu seorang wanita pemurung sedangkan Bapak adalah ayah yang lihai mengambil hati anak-anaknya ketika kami marah atau merengek meminta sesuatu yang takkan pernah sanggup ia penuhi. Bapak juga pandai bertukang, membangun sebuah rumah, bermain-main dengan listrik, menggambar komik, membuatkan baju untuk anak-anaknya, membenahi mainan-mainan yang rusak, membuat pedang dari pelepah daun pisang juga pandai memasak singkong rebus yang dilumuri gula merah. Aku selalu memimpikan suami yang bisa segalanya seperti bapakku, tetapi ketika lelakiku menjerit ketakutan saat melihat seekor katak yang masuk ke dalam rumah, atau memaki-maki sebuah kotak listrik yang kabel sekringnya meleleh, aku semakin yakin dia bukan ayah terbaik untuk anak-anakku.

Aku menikah dengannya karena dia sudah terlalu sering menanamkan benih dalam rahimku, sehingga di tahun kedua kami berkasih-kasih, benih itu tumbuh dengan begitu sehatnya. Kami sudah berusaha membunuhnya dengan cara apapun itu, tetapi benih di dalam rahimku seakan memang ingin ikut bersama dan menjadi bagian dari kami. Bapak begitu kecewa, cintanya padaku teramat besar. Bahkan semakin membesar sejak ibuku mati.

Kematian Ibu menjadi sebuah aib dalam keluargaku. Ibu yang pemurung ternyata menyimpan begitu banyak rahasia kekesalan pada kemiskinan yang Bapak berikan padanya. Ibu lebih memilih mati daripada terus-terusan melihat kemiskinan menari-nari di dalam rumah kontrakan kami. Ketika itu mendung menggulung dirinya sendiri, lalu menumpahkan benih-benih kepedihan laksana tangisan Bapak yang kehilangan istrinya. Berminggu-minggu Bapak berkabung. Keahliannya sebagai ayah yang terhebat tiba-tiba luntur. Aku sudah sering berusaha memunguti beberapa puing yang diluruhkan Bapak, berharap ia kembali menjadi dirinya yang dulu, tetapi Bapak ternyata terlalu kecewa dengan keputusan Ibu.

Kematian Ibu membuatku menjadi seorang budak di rumahku sendiri. Sebelum berangkat sekolah, aku harus bangun lebih pagi dari biasanya, menyiapkan makanan, pakaian sekolah adik-adikku, juga mengatur satu-persatu dari mereka. Mulai dari membangunkannya dari mimpi-mimpi yang pembohong besar, memandikan, memakaikan baju, sepatu hingga menyuapkan makanan ke mulut mereka yang rewel.

Aku semakin mirip Ibu. Suka berteriak, marah-marah, lalu murung. Sudah lama aku tahu jika wajahku memang menjiplak wajah Ibu, tetapi sebelum kematiannya aku lebih ceria dan bersinar. Bapak sering melamun memandangiku. Ia katakan aku makin mirip Ibu, dan ia benar. Aku sebenarnya tak mau jika dikatakan mirip dengan ibuku hanya karena kami memiliki wajah yang sama, rambut yang sama-sama keriting, dan tubuh tinggi dengan bokong yang melebar, lalu akhirnya menjadi perempuan pemurung seperti dia. Walaupun itu benar, tapi aku tak seperti Ibu yang begitu mudahnya membunuh dirinya sendiri karena keputusasaan yang tak bisa dia telan. Aku lebih kuat. Aku lebih dewasa. Bahkan ketika Bapak yang kesepian dan merindukan ibuku itu datang padaku lalu menyenggamaiku, aku tak pernah menangis atau memutuskan untuk mati. Tidak.

Berkali-kali setiap Bapak merindui ibuku, ia pasti berkelamin denganku. Cintanya padaku sudah berubah, tak lagi sebagai anak. Itu bukan suatu masalah bagiku, asalkan Bapak tak lagi mendung dan menumpahkan hujan di dalam rumah kontrakan kami. Aku ingin Bapak bahagia dan kembali menjadi ayah yang hebat bagiku dan bagi keempat adikku yang masih terlalu kecil untuk kehilangan sosok ibu dan ayah. Aku membiarkan cinta Bapak pada Ibu menjadi bagian dari diriku, dan segalanya menjadi sempurna kembali. Tapi, ketika ia tahu aku sudah memiliki benih di dalam rahimku dari seorang lelaki yang bahkan tak lebih hebat dari dirinya, Bapak terpukul sekali lagi. Ia bahkan mengurung diri, menjadi mendung lalu menghujani rumah kontrakan kami hingga banjir.

Hari itu seolah tsunami menerjang rumah kontrakan kami. Aku menjinjing kebaya murahan yang kusewa dengan harga duaratus ribu rupiah, sambil menerima para tamu. Bapak menghilang. Ia menenggelamkan dirinya sendiri ke dalam banjir yang dibuatnya. Menyedihkan. Tetapi mau tak mau aku harus menikahi lelakiku agar benih ini memiliki seorang ayah.

Lelakiku seorang pria yang manja, kerjanya hanya tidur hingga siang hari lalu bertepuk tangan layaknya badut berhidung merah saat hidangan makan telah siap di meja. Dia kerja dan pulang ketika pagi masih buta, padahal pukul sepuluh malam dia sudah keluar dari kantornya. Aku sudah terbiasa hidup menyedihkan, jadi tak sekalipun aku berusaha bertanya kepadanya ke mana dirinya hingga baru pulang di jam segitu. Kesunyianku membuat dirinya makin berkuasa. Makin merasa menang atas diriku dan berhak menjungkirbalikkan kebebasanku. Dia semakin lihai menyimpanku dalam ruang hampa dan menjejaliku biji-biji kesepian. Aku muak. Bahkan setiap kali bercinta dengannya aku membayangkan sosok lelaki lain yang lebih hebat darinya. Apa kau tahu? Itu bapakku. Bapak lebih tahu apa itu cinta daripada lelakiku yang manja, bodoh dan konyol.

Dulu, aku tak pernah tahu dan mengerti tentang keputusasaan yang dipeluk Ibu hingga akhirnya dia memilih mati. Tapi sekarang, saat aku menjadi seorang istri, menikah selama lima tahun dan memiliki dua anak yang selalu membuatku gila, aku jadi ingin menjumpai Ibu dan berkata, “Ibu, akhirnya aku paham tentang penderitaanmu.” Aku akhirnya paham, menjadi perempuan itu adalah hal yang paling menyedihkan sekaligus sebuah kutukan yang panjang. Kutukan yang pada akhirnya nanti akan membunuh mereka yang kalah, dan akan menelan secara pelan-pelan seluruh tubuh mereka yang memilih berjuang dan bertahan.

Di suatu hari yang lembab, aku berdiskusi dengan diriku yang lain. Kami harus segera menuntaskan segala-galanya, pikirku hari itu. Aku bertanya, “Bagaimana dengan kau, apa yang akan kau pilih?”

“Tentu saja aku takkan mau ditelan pelan-pelan oleh kutukanku. Kau tahu, bukan, itu sama saja menyerah lalu menerima kekalahan dengan memotong kedua tanganmu sendiri.”

“Jadi kau lebih memilih mati seperti Ibu?”

“Tidak. Aku tak sebodoh Ibu. Aku ini kuat, dan dewasa. Aku takkan bunuh diri dan menjadi kalah.”

“Lalu?”

Udara yang lembab membuatku hampir muntah. Aku yang lain tak menjawab pertanyaan terakhirku. Aku yang lain diam, sambil menunjukkan padaku seringai paling menakutkan yang pernah kulihat dari bibirku sendiri. Seringai keji yang seakan-akan siap membunuhi siapa pun yang kuanggap manja, bodoh dan konyol. Keesokan harinya, kutemui diriku dan anak-anakku menjadi benar-benar sendiri dan damai di dalam rumah kami.

Kutukanku telah lenyap.

 

 

 

Sidoarjo, 030515

 

 

 

 

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar