Bapakku seorang ayah yang hebat. Ia terbaik dari
yang pernah ada. Aku mempunyai impian, kelak saat aku memiliki anak, aku ingin
anak-anakku pun bisa merasa bangga mempunyai seorang ayah seperti bapakku.
Karena itulah aku bertekad menikahi lelaki terbaik yang pernah aku temui suatu
hari nanti. Tapi, akibat ketololanku sendiri, anak-anakku tak pernah mempunyai
seorang ayah yang hebat. Aku menikahi lelaki paling bodoh dan konyol yang
pernah kujumpai. Bahkan lebih konyol dari tumpahan selai cair di baju kerjaku
saat aku menggigit roti panggang yang masih panas.
Kehebatan bapakku bukan karena
ia seorang yang kaya raya. Ia bahkan tak mampu membelikan tas baru ketika
kenaikan kelas, seperti seorang ayah kebanyakan yang menghadiahkan sesuatu
untuk anak-anaknya yang telah berhasil dalam belajar. Bapak hanya akan
mengumpulkan kain-kain perca dari sisa jahitannya, beraneka macam motif lalu
menyambungnya menjadi sebuah tas bahu yang lucu. Saking lucunya, setiap anak
yang melihatku pasti akan menertawakan dan berbisik-bisik. Mereka pikir itu
adalah lelucon paling hebat, dan tas bikinan bapakku membuatku bertambah muram.
Aku adalah anak pertama
darinya, seorang gadis satu-satunya dari lima bersaudara. Bapak menjulukiku
‘Putri’ walaupun rumah kontrakan yang kami tempati jauh dari sebutan pantas
untuk sebuah istana. Rumah itu tak beratapkan genteng, tapi memiliki sekumpulan
asbes yang meliuk-liuk. Setiap waktu asbes-asbes itu memaksa kami untuk mandi
keringat, apalagi ketika matahari pecah tepat di atas kepala. Tak ada dinding
bata di rumah kami, maksudku rumah kontrakan kami. Sisi-sisinya hanya dibatasi
kayu triplek tebal, yang memisahkan kami dengan rumah di samping. Apapun
bisa kami dengar dari rumah sebelah. Suatu ketika terdengar suara aneh dari
sana. Aku tahu itu suara lelaki dan perempuan yang sedang beradu napas. Napas
yang saling memburu satu sama lain. Aku membayangkan napas-napas itu berlarian
dan bergumul seperti keempat adikku yang tak pernah bisa diam. Ketika kutanya
suara apakah itu, ibuku menjawab bahwa itu suara tetangga kami yang sedang
bercanda, dan candaan anak-anak tak pernah sama dengan candaan orang-orang yang
menyebut dirinya dewasa, karena itulah kami tak bisa paham maksud perkataan
Ibu. Tapi beberapa tahun kemudian, ketika Ibu mati dan bapakku kesepian, aku
mulai paham mengapa orang-orang dewasa senang bercanda dan butuh bercanda.
Ibu seorang wanita pemurung
sedangkan Bapak adalah ayah yang lihai mengambil hati anak-anaknya ketika kami
marah atau merengek meminta sesuatu yang takkan pernah sanggup ia penuhi. Bapak
juga pandai bertukang, membangun sebuah rumah, bermain-main dengan listrik,
menggambar komik, membuatkan baju untuk anak-anaknya, membenahi mainan-mainan
yang rusak, membuat pedang dari pelepah daun pisang juga pandai memasak
singkong rebus yang dilumuri gula merah. Aku selalu memimpikan suami yang bisa
segalanya seperti bapakku, tetapi ketika lelakiku menjerit ketakutan saat
melihat seekor katak yang masuk ke dalam rumah, atau memaki-maki sebuah kotak
listrik yang kabel sekringnya meleleh, aku semakin yakin dia bukan ayah terbaik
untuk anak-anakku.
Aku menikah dengannya karena
dia sudah terlalu sering menanamkan benih dalam rahimku, sehingga di tahun
kedua kami berkasih-kasih, benih itu tumbuh dengan begitu sehatnya. Kami sudah
berusaha membunuhnya dengan cara apapun itu, tetapi benih di dalam rahimku
seakan memang ingin ikut bersama dan menjadi bagian dari kami. Bapak begitu
kecewa, cintanya padaku teramat besar. Bahkan semakin membesar sejak ibuku
mati.
Kematian Ibu menjadi sebuah
aib dalam keluargaku. Ibu yang pemurung ternyata menyimpan begitu banyak rahasia
kekesalan pada kemiskinan yang Bapak berikan padanya. Ibu lebih memilih mati
daripada terus-terusan melihat kemiskinan menari-nari di dalam rumah kontrakan
kami. Ketika itu mendung menggulung dirinya sendiri, lalu menumpahkan
benih-benih kepedihan laksana tangisan Bapak yang kehilangan istrinya.
Berminggu-minggu Bapak berkabung. Keahliannya sebagai ayah yang terhebat
tiba-tiba luntur. Aku sudah sering berusaha memunguti beberapa puing yang
diluruhkan Bapak, berharap ia kembali menjadi dirinya yang dulu, tetapi Bapak
ternyata terlalu kecewa dengan keputusan Ibu.
Kematian Ibu membuatku menjadi
seorang budak di rumahku sendiri. Sebelum berangkat sekolah, aku harus bangun
lebih pagi dari biasanya, menyiapkan makanan, pakaian sekolah adik-adikku, juga
mengatur satu-persatu dari mereka. Mulai dari membangunkannya dari mimpi-mimpi
yang pembohong besar, memandikan, memakaikan baju, sepatu hingga menyuapkan
makanan ke mulut mereka yang rewel.
Aku semakin mirip Ibu. Suka
berteriak, marah-marah, lalu murung. Sudah lama aku tahu jika wajahku memang
menjiplak wajah Ibu, tetapi sebelum kematiannya aku lebih ceria dan bersinar.
Bapak sering melamun memandangiku. Ia katakan aku makin mirip Ibu, dan ia
benar. Aku sebenarnya tak mau jika dikatakan mirip dengan ibuku hanya karena
kami memiliki wajah yang sama, rambut yang sama-sama keriting, dan tubuh tinggi
dengan bokong yang melebar, lalu akhirnya menjadi perempuan pemurung seperti
dia. Walaupun itu benar, tapi aku tak seperti Ibu yang begitu mudahnya membunuh
dirinya sendiri karena keputusasaan yang tak bisa dia telan. Aku lebih kuat.
Aku lebih dewasa. Bahkan ketika Bapak yang kesepian dan merindukan ibuku itu
datang padaku lalu menyenggamaiku, aku tak pernah menangis atau memutuskan
untuk mati. Tidak.
Berkali-kali setiap Bapak
merindui ibuku, ia pasti berkelamin denganku. Cintanya padaku sudah berubah,
tak lagi sebagai anak. Itu bukan suatu masalah bagiku, asalkan Bapak tak lagi
mendung dan menumpahkan hujan di dalam rumah kontrakan kami. Aku ingin Bapak
bahagia dan kembali menjadi ayah yang hebat bagiku dan bagi keempat adikku yang
masih terlalu kecil untuk kehilangan sosok ibu dan ayah. Aku membiarkan cinta
Bapak pada Ibu menjadi bagian dari diriku, dan segalanya menjadi sempurna
kembali. Tapi, ketika ia tahu aku sudah memiliki benih di dalam rahimku dari
seorang lelaki yang bahkan tak lebih hebat dari dirinya, Bapak terpukul sekali
lagi. Ia bahkan mengurung diri, menjadi mendung lalu menghujani rumah kontrakan
kami hingga banjir.
Hari itu seolah tsunami
menerjang rumah kontrakan kami. Aku menjinjing kebaya murahan yang kusewa
dengan harga duaratus ribu rupiah, sambil menerima para tamu. Bapak menghilang.
Ia menenggelamkan dirinya sendiri ke dalam banjir yang dibuatnya. Menyedihkan.
Tetapi mau tak mau aku harus menikahi lelakiku agar benih ini memiliki seorang
ayah.
Lelakiku seorang pria yang
manja, kerjanya hanya tidur hingga siang hari lalu bertepuk tangan layaknya
badut berhidung merah saat hidangan makan telah siap di meja. Dia kerja dan
pulang ketika pagi masih buta, padahal pukul sepuluh malam dia sudah keluar
dari kantornya. Aku sudah terbiasa hidup menyedihkan, jadi tak sekalipun aku
berusaha bertanya kepadanya ke mana dirinya hingga baru pulang di jam segitu.
Kesunyianku membuat dirinya makin berkuasa. Makin merasa menang atas diriku dan
berhak menjungkirbalikkan kebebasanku. Dia semakin lihai menyimpanku dalam
ruang hampa dan menjejaliku biji-biji kesepian. Aku muak. Bahkan setiap kali
bercinta dengannya aku membayangkan sosok lelaki lain yang lebih hebat darinya.
Apa kau tahu? Itu bapakku. Bapak lebih tahu apa itu cinta daripada lelakiku
yang manja, bodoh dan konyol.
Dulu, aku tak pernah tahu dan
mengerti tentang keputusasaan yang dipeluk Ibu hingga akhirnya dia memilih
mati. Tapi sekarang, saat aku menjadi seorang istri, menikah selama lima tahun
dan memiliki dua anak yang selalu membuatku gila, aku jadi ingin menjumpai Ibu
dan berkata, “Ibu, akhirnya aku paham tentang penderitaanmu.” Aku akhirnya
paham, menjadi perempuan itu adalah hal yang paling menyedihkan sekaligus
sebuah kutukan yang panjang. Kutukan yang pada akhirnya nanti akan membunuh
mereka yang kalah, dan akan menelan secara pelan-pelan seluruh tubuh mereka
yang memilih berjuang dan bertahan.
Di suatu hari yang lembab, aku
berdiskusi dengan diriku yang lain. Kami harus segera menuntaskan
segala-galanya, pikirku hari itu. Aku bertanya, “Bagaimana dengan kau, apa yang
akan kau pilih?”
“Tentu saja aku takkan mau
ditelan pelan-pelan oleh kutukanku. Kau tahu, bukan, itu sama saja menyerah
lalu menerima kekalahan dengan memotong kedua tanganmu sendiri.”
“Jadi kau lebih memilih mati
seperti Ibu?”
“Tidak. Aku tak sebodoh Ibu.
Aku ini kuat, dan dewasa. Aku takkan bunuh diri dan menjadi kalah.”
“Lalu?”
Udara yang lembab membuatku
hampir muntah. Aku yang lain tak menjawab pertanyaan terakhirku. Aku yang lain
diam, sambil menunjukkan padaku seringai paling menakutkan yang pernah kulihat
dari bibirku sendiri. Seringai keji yang seakan-akan siap membunuhi siapa pun
yang kuanggap manja, bodoh dan konyol. Keesokan harinya, kutemui diriku dan
anak-anakku menjadi benar-benar sendiri dan damai di dalam rumah kami.
Kutukanku telah lenyap.
Sidoarjo, 030515
Tidak ada komentar:
Posting Komentar