Hai,
Pue, hujan semakin lebat. Detik-detik yang kulalui tanpamu begitu hening dan
sayu. Apakah kau lupa akan janjimu sendiri? Tentang hujan dan secangkir cokelat
hangat untuk berdua.
Di
sini tidak ada kamu. Tidak ada kita. Hanya aku, terduduk di depan jendela rumah
kita. Jauh mataku menerawang, menelan semua riak hujan dalam kegelapan.
Ah,
Pue, aku merindukanmu. Kapan kau akan pulang?
***
Mue,
aku sedang tersesat.. Masih layakkah aku kembali padamu, Sayang?
Lihatlah
hujan yang berserakan di tanah itu, mereka begitu riang menertawaiku. Menatapku
dengan sorot mata yang mencemooh.
“Kau
lelaki murah!”
“Kau
lelaki murah!”
Suara
mereka terus menyiksaku, Mue.
Sakit.
Benarkah
aku semurah itu? benarkah, Mue?
***
Dingin.
Gelap.
Sepi ...
Kapan
kau akan kembali? Cokelat di cangkirmu telah dingin.
Ah,
atau mungkin engkau tengah menanti redanya sang hujan? Agar bisa kembali pulang
kepadaku, Pue?
Jangan
limbung, Pue, hujan sederas apapun pasti akan mereda. Dan pelangi pasti muncul
setelahnya, Sayang.
***
Aku
malu.
Aku
kotor karena dosa.
Aku
khilaf.
Bahkan
kata maaf pun takkan cukup mampu mengutarakan seberapa menyesalnya aku akan
pilihan yang telah kulalui.
Kau
takkan bisa mengerti, Mue.
Tak
seorang pun bisa memahami perasaanku.
Bahkan
diriku dibuat tak berdaya, ditelan oleh kegilaanku sendiri!
***
Tidak.
Telah
kuketahui dari kebisuanmu, dari tatapan sendumu, juga pada puing-puing igauan
mimpimu, Pue.
Aku
paham, kau sedang terluka, menyimpan sebuah dosa pada hatimu.
Kau
sakit, aku ikut merasakannya.
Kau
menangis dalam hening, aku pun merasakannya.
Maka,
Pue, pulanglah. Jangan takut.
Cintaku
tak pernah luntur sedikit pun, walau kau telah membagi hatimu.
Pulanglah ...
bagi dukamu padaku, bagi kesedihanmu padaku. Kan kupeluk semua lenguh sesakmu,
dan meleburnya dalam batinku.
Feb 11, 2014
22:26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar