Sungguh, saat saya menulis ini, tidak ada niat buat curcol. Kalau ini
dibilang sebuah curhatan, maka saya adalah manusia yang sedang galau. Tetapi
maaf, galau sekarang bukan tandingan saya lagi. Anggap saja, saat ini saya sedang
berbagi pengalaman. Siapa tahu, diantara sahabat ada yang bernasib hampir sama
dengan saya dahulu.
Alkisahnya begini. Dahulu sekali, saat negara api menyerang, ada seorang
teman, sebut saja seperti itu. Iya, kuanggap dia sekarang seorang teman. Senang
sekali berkomentar tentang semua status saya di akun Facebook. Setiap status,
dipatahkan, ditertawakan, dianggap mencontoh dia. Melihat kehidupan saya, bagi
dia seperti sedang melihat stand up comedy!
Amazing sekali bukan teman saya ini.
Setiap posting lagu, dihina. Dikatakan itu lagu kenangannya bersama suami
saya (ups, lupa bilang ya, kalau teman saya ini adalah mantan kekasih suami
saya.. hohohohoho) dibilang dulu suami sering bersenandung lagu itu untuk dia.
Well, well, well. Oke, childish amat bukan?
Pernah juga saat posting sedang bermesra-mesra dengan suami, eh, dibilang
palsu. Sok nunjuk-nunjukin bahagia. Sok muja-muja suami. Haiyaa..apalagi ini
bah.
Atau juga saat share funpage Strawberry, Ustadz Yusuf Mansyur, atau apapun
yang pernah dia share duluan. Saya dibilang jiplak. Saya dibilang sedang ingin
menjadi dia! Oh, my God... sinting amat nih perempuan.
Hati siapa yang tidak meradang? Diusik dan dikata-kata. Hei, siapa kamu?
Wah, wah. Saya anggap dia sangat menggemari saya. Seorang penguntit. Kepower
sejati banget. Tidak ada satu statuspun yang tidak dikomentari atau
dijungkirbalikan olehnya.
Saya jadinya ikut membalas. Ikut berkata pedas, nyinyir, sindir sana sindir
sini. Ini perang status! Gila benar.
Tetapi lama-lama, saya jengah juga. Malu dilihat teman-teman seperjuangan.
Banyak yang menegur.
“Bunda, tulis saja hal yang lucu-lucu, biar kami yang membacanya juga
senang.”
“Kalau Bunda begini terus, itu artinya Bunda gak ada bedanya sama dia.”
Begitu kata mereka.
Akhirnya, berangkatlah saya bertapa di gunung. Menyendiri. Mencoba mencari
kebenaran dan kesejatian (halah!) Juga sering share dengan Mas Bro Panda, suami
tercinta.
Apa hasilnya?
Semua itu bertitik pada mindset saya sendiri. Jika saya semakin menolak
atau semakin memperhatikan, maka akan semakin tidak menyenangkan. Bagaimana
jika hal ini dianggap sebagai sebuah palu yang akan membentuk karakter saya
agar menjadi lebih baik lagi? Ingatlah, bahwa musuh kita adalah yang paling
memahami kelemahan dan kekurangan kita. Jadi apapun yang dia katakan, terima.
Aggap itu sebagai kritikan, bukan sebuah hinaan.
Kalau sebuah kritikan itu bisa dicerna dengan baik, diambil sisi
positifnya, apa yang akan didapat?
Perbaikan bukan?
Nah, karena itulah sekarang saya anggap dia adalah orang yang mampu menegur
kekurangan saya. Saya malah bersyukur, ada orang yang mau susah-susah membantu
saya buat memperbaiki diri. Saya rasa, dari dialah cara Tuhan menegur saya. Ini
sebuah anugrah, bukan musibah.
Jadi, buat “teman” itu yang masih rajin ketok-ketok pintu hati saya,
menegur dengan caranya sendiri, saya ucapkan, Alhamdulillah, syukron, terima
kasih. Saya banyak berubah dari dua tahun lalu, sedikit banyak juga berkat
kamu.
Memang saya bukan manusia yang baik-baik amat. Saya masih pro sama negara
api, masih suka bertarung melawan Ang si Avatar. Saya masih emosian dan
seburuk-buruknya manusia. Tetapi, saya berubah. Cara pandang saya tentang
kehidupan dan cinta sudah jauh berbeda dengan saya yang lalu.
Sekali lagi, maturnuwun ya mbakyu. Semoga perjalanan yang lalu juga
benar-benar membuatmu banyak berubah. Aamiin...
Hehehe,, maka begitulah. Jika kalian sedang dalam keadaan yang sama seperti
saya dahulu, sudah tahukan harus bagaimana dalam bersikap?
Tunjukan, siapa yang dewasa. Balas kebencian dengan cinta dan karya!
(prinsip baru yang dicontek dari KBM) ...
Jan 12, 2014
21:42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar