Bak kucing betina, kugeliatkan tubuh molek ini dihadapnya, menggoda jiwa
kelelakian yang terbenam dalam bisu itu. Helai demi helai sang satin merah
maroon kutanggalkan dari persinggahannya. Menelanjangi hasrat kewanitaanku di
balik sinar bulan yang menyembul sempurna, dari himpitan sela lubang kayu jati
jendela kamar.
Nihil. Lelaki itu tak sedikitpun tergiur dengan tarian nakalku. Hanya
menatap seperti sedang memandang seonggok patung arca di candi-candi kota Yogyakarta.
Hatiku meradang sakit terhina. Lihatlah, apa kurangnya? Cantik, montok, aku
kembang di wisma ini. Banyak yang menginginkan. Tetapi kenapa dia?
“Tidakkah kau memiliki sedikit hasrat cinta padaku, mas?”
“Maaf, aku tidak mencintaimu Kayla.”
“Lalu mengapa setiap hari kau menghabiskan malam bersamaku? Padahal hatimu
ada bersama istrimu.” Marah, kubalikan badan membelakanginya.
Mas Andre menarik tanganku perlahan, penuh kasih. Kurebakan tubuh dalam
pelukannya. Hangat. Ya, walaupun aku masih menggenggam marah. “Entahlah mengapa
kulakukan ini. Aku hanya ingin bersamamu, itu saja.” Diciumnya pipiku, mesra.
“Kau berhati batu.” Kumanyunkan bibir sepanjang-panjangnya. Iya, biar dia
tahu kalau dia itu sudah menikam harga diriku. Masak, dibayar tiap malam hanya
untuk menemaninya bercanda.
“Biarlah, biarlah batu ini menikmati kebekuannya bersama perempuan yang
penuh gejolak sepertimu.”
“Kau tahu, mas? Akan kuberikan nikmat dunia dalam genggamanmu jika kau mau
memberi sedikit saja keranuman cinta di hatimu.”
Dia tertawa kecil, serta merta berbisik lembut di tengkukku, “Iya aku tahu
itu,” dikecupnya perlahan, kemudian melanjut membuang kalimat yang selalu mampu
meluruhkan kesebalanku atas perlakuannya, “sekarang, biarkan aku tertidur dalam
pelukanmu Kayla, aku merindukan aroma tubuhmu.”
***
Pukul dua pagi dini hari. Anak embun mulai berani menampakan bulir bening
di dedaunan. Pun begitu pula sang kabut yang perlahan turun menapak tanah.
Dalam hening menamati wajah istriku, Raysa, lelap ia bertapa malam. Guratan
wajahnya masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Masih anggun dan cantik,
bulu mata itu masih memanjang serta melentik. Ah, gadis pujaanku yang dulu
penuh keceriaan itu berangsur-angsur menjadi kalem. Singa betina yang lincah
dan garang itu sekarang menjadi singa keibuan yang pandai bergemulai.
Aku kehilangan sesuatu darinya.
Entah, aku ini bodoh atau naif. Mungkin juga rakus karena ego. Sebenarnya
aku tidak mengakui perubahan pada Raysa, menolak keberadaan dirinya yang mulai
memutuskan untuk berjilbab panjang, menata sikap dan lompatan kata dari bibir
mungilnya, juga cara dia yang sempurna melayani suami hampir tanpa cela.
Lihatlah Raysa kini. Sudah lupa aku bagaimana warna aura keceriaannya dulu.
Sekarang menghitam, lebih banyak diam. Sedikit menatap, sesekali tersenyum.
Iya, hanya tersenyum, tanpa ada tawa riang lagi. Sudah bosan rasanya berada di
dekat Raysa. Tidak seharusnya berkerudung dan menjadi semakin dekat dengan
Tuhan kami membuat dia kehilangan binar-binar cahaya di wajah ayu itu.
Ah, kumerindukan lekukan keceriaannya, hasrat dan emosinya yang
meletup-letup tak beraturan itu juga. Aku ingin ia tetap lincah mengaum ganas
di rumah ini. Tidak hanya sekedar tersenyum dengan mata yang terbinar lembut,
bukan seperti itu kekasihku dulu.
Mungkin, karena itulah magnet Kayla berhasil menarik kerinduanku yang
terpendam beberapa tahun ini. Dia lincah, seperti sebuah kemurnian dalam sekat
bernoda, cerita dari bibir merahnya pun mampu menghilangkan penat. Benar-benar
sebagai tiupan angin baru yang menyejukan kerongkongan jiwaku yang
terkosongkan. Keberadaan Kayla, mampu membuai semangat kembali. Aku suka.
“Mas sudah pulang?”
Sedikit terkejut melihat Raysa tiba-tiba membuka mata, “I, iya.” sahutku
gagap.
“Makan dulu ya mas sebelum tidur. Aku sudah menyiapkan rempeyek udang
kesukaan mas.” Buru-buru dia bangkit dan menggelung rambut ikalnya.
“Ah tidak, lebih baik cepat-cepat tidur dan memelukmu. Ayah sudah rindu sama
bunda.”
Raysa tersenyum, senyum yang sama, lembut dan anggun. Iya selalu saja
begitu. Bukan lagi senyum nakal yang memabukan. Tidak lagi melompat di atas
tubuhku dan menindihnya lamat-lamat. Ah, aku benar-benar merindu hasratnya.
***
Sudah lima hari Mas Andre tidak menengokku di wisma. Aku kangen. Kami hanya
berchat ria menekuk rindu melalui ponsel Blackberry kami.
“Maaf Kayla, Raysa
menginginkanku di rumah. Matanya yang memohon itu tak bisa ditolak. Nanti, jika
kerinduannya sudah kuredam, aku akan berganti meredam kerinduanmu di sana.”
“Aku cemburu, mas. Apa ini pantas?”
“Pantas, tentu saja pantas
untukmu Kayla. Karena kau telah menambatkan jangkar di dermagaku.”
“Kalau begitu cepatlah datang.”
“Pasti Kayla, pasti.”
***
“Aku ingin menikahimu, Kayla.”
Aku terkesima, takjub menyertai gembira. “Ta, tapi kau bilang, kau tidak
mencintaiku. Kenapa ingin kita menikah?” kata-kata tersekat di tenggorokan,
melemah, “lagi pula, aku ini apa? Hanya
perempuan lacur, sungguh tak pantas meneguk manis madu pernikahan, Mas”
Aneh,
bukannya heran, Mas Andre mala tertawa mendengar kata-kataku. Mengapa?
“Kayla,
Kayla. Kamu lucu.”
Eh, mala
dicubit pipiku. “Auwh”
“Tidak
ada yang namanya perempuan seperti kamu itu tidak boleh menikah. Jangan
membuatku menjadi semakin gemas dengan pemikiranmu.”
“Benarkah?”
aku melompat ke dada bidang Mas Andre. “Benar aku boleh menikah denganmu mas?”
Malu rasanya, mungkin sekarang pipi ini meranum merah muda.
Mas Andre
memeluk, “Begitu dong, itu baru Kaylaku.”
“Nah,
katakan, kenapa kau ingin menikahiku, mas?”
“Tanggung jawab. Sebagai rasa
terima kasih pada kesetiaanmu menemani malamku.”
Tanggung jawab? Rasa terima
kasih?.. ah, masih saja tidak ada alasan cinta. Tak tahukah Mas Andre, aku
mencintaimu benar. Hanya kaulah lelaki yang begitu hormat pada perempuan
bermandikan dosa ini.
***
Pukul duabelas malam. Suara hening menemani kebisuan kami dalam menit-menit
yang berlalu. Raut wajah Raysa tak bergeming, tak terkejut, pun tak ada rasa
marah di sudut-sudutnya. Mengapa? Mengapa bisa seperti itu?
Bagaimana dia bisa menekan emosi sebesar ini? Ataukah jangan-jangan dia
memang sudah tidak mencintai aku? Mana kecemburuannya yang berapi-api seperti
beberapa tahun lalu? Yang bahkan lebih hebat dari letupan Krakatau. Mana
kemampuan histerisnya yang melolong bak serigala siap bertarung? Ah, aku
menjadi geram dibuatnya. Siapa wanita ini, benar istrikukah dia?
“Apa Mas benar mencintai perempuan itu?” Akhirnya keluar juga kalimat
darinya.
“Iya, aku sangat mencintainya.” Jawabku sedikit ketus. Aku ingin
kemarahannya mencuat, itu jauh lebih baik.
Tapi harapanku nol kosong, Raysa tetap tegar. Seperti memiliki stok sabar
dan ikhlas super besar di hatinya. “Apa aku boleh bertemu dengannya, Mas?
Besok, bawalah perempuan terkasih itu ke rumah kita. Alhamdulillah, aku
bersyukur bisa berbagi tugas melayani Mas Andre dengan perempuan lain.
Setidaknya sedikit beban bisa terlepas di pundak ini, Mas.”
Hah? Bibirku terperangah mendengarnya. Dia menyetujuinya? Raysa menyetujui
keinginanku untuk menikah dengan Kayla si perempuan kembang wisma dan malah
mengucap syukur?
Hati ini tergetar hebat. Aku merinding.
Subhanalloh, sungguh wanita ini berhati emas. Di saat wanita lain akan
menangis meraung atau mencaci suaminya yang ingin menikah lagi, ia malah
mengucap rasa syukur kepada Tuhannya. Dia masih tersenyum begitu lembut dan
anggun seperti biasanya. Bahkan binar kejora di matanya tidak redup sama
sekali. Kekuatan apa ini? Inikah hasil pendekatannya kepada Sang Pencipta?
Inikah yang dinamakan kekuatan iman? Sebuah penerimaan?
Aku terhanyut dalam selangkangan ego diri selama ini, pun juga terbutakan
kulit luar keduniawian. Astaghfirulloh, apa yang sudah kulakukan pada Raysa.
Aku bodoh, bodoh. Padahal rasa cinta tak luntur sama sekali di hati, tetapi
dengan tega malah mencabik hatinya yang indah.
Ya Alloh, maafkan kekhilafan ini. Tidak seharusnya saat seperti ini malah
berlari pada perempuan lain yang lebih mampu memuaskan batinku. Bukankah
sebagai suami, aku ini imam di keluarga? Selayaknyalah menuntun apa yang
kuimami, mengarahkan apa yang salah menjadi benar, bukan makin menjauhinya.
Beristighfarlah Andre, mohonlah ampun pada Tuhanmu.
“Mas, Mas kenapa?” Raysa menghampiriku yang tengah tertunduk lemas dengan
kedua tangan menopang kepala. Berat. Penat-penat di kepala bercampur rasa
bersalah menekan dalam. Ia mengerti benar perasaan ini, tahu kalau aku tengah
menahan tangis pilu penyesalan. Dia pun memelukku.
“Tenanglah, Mas. Kita wudhu saja lalu sholat malam ya? Sudah lama Mas tidak
menjadi imam dalam sujudku padaNya.”
Ah, Kaylaku sayang, aku kalah telak dengan ketulusan istriku. Maaf.
***
Hari ini, Mamy wisma menggeleng tajam kepadaku. “Sori Ndre, Kayla sudah
tidak ingin menemuimu lagi. Hanya surat ini yang dititipkan padaku.” Secarik
kertas berwarna tosca disodorkan padaku.
“Benarkah dia meminta seperti itu, Mam?”
Mamy mengangguk. Sudah cukup, mungkin beginilah akhir petualangan ini. Aku
pun beranjak pergi dengan menggenggam rapat lembaran hati dari Kayla.
“Mas Andre, maafkan Kaylamu.
Aku tidak bisa menerima tawaran pernikahan darimu, tanpa cinta, semua hanya semu.
Tidak nyata. Tidak juga akan tercium wanginya melati pernikahan kelak. Terima
kasih sudah memberikan sedikit malam pada perempuan lacurmu ini. Terima kasih
sudah menyiramkan kelembutan untuk cinta di hatiku. Akan ku simpan, Mas.
Semuanya. Jadi, ijinkan aku mengucap, aku akan baik-baik saja di wisma ini.
Aku menangis. Lelaki dengan tumpukan ego yang hampir berkarat ini, menangis
sesenggukan di dalam mobil hitamnya.
“Kayla, kau salah. Sebenarnya aku mencintaimu sayang.”
Des 3, 2013
9:15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar