Senin, 17 Februari 2014

KISAH SEKOTAK COKELAT dan SEPOTONG CEMBURU



  
Pagi hari, dengan jadwal yang padat sebagai ibu rumah tangga beranak tiga membuatku harus kerja ekstra. Seperti kereta api yang tak memiliki tuas rem. Super cepat. Bangun subuh pun tidak bisa menyelesaikan semuanya dengan tepat. Kadang masih saja ada hal yang terlewat.

Menggelikan ..

Pagi ini si sulung Natasha tiba-tiba mengeluh sakit perut. Mules sekali, sampai menunjukan wajah yang meringis kesakitan. Berkali-kali harus duduk di kamar mandi. Berjam-jam. Akhirnya kuputuskan untuk libur sekolah dulu hingga dia sembuh.

Sementara si tengah Rayhan, sudah selesai mandi. Seragam sekolah sudah hendak kusiapkan. Di saat mencari seragam sekolah di lemari pakaian anak, tiba-tiba tanganku menyentuh benda kotak. Tanpa babibu, kuungkap baju yang menutupi benda tersebut.

Ah, dan ternyata itu sekotak coklat import bermerk ternama. Isinya selusin coklat berbentuk bola dengan bungkus warna kertas mengkilat berwarna emas, hitam dan coklat tua. Cantik sekali.

Seketika itu pula hatiku berbunga-bunga. Harum dan merekah warna-warni. Sudah layak untuk dipetik dan dipajang di vas bunga. Berpikir jika coklat itu untuk diriku. Sebuah kejutan!

“Loh, kok ada coklat di sini?” tanyaku pada suami yang sedang berbaring sambil menikmati film kartun di televisi.

Suami tampak sedikit terperanjat. Nadanya tampak benar jika dia sedang lupa jika menyimpan sekotak coklat di lemari baju anaknya.

“Oh iya ayah lupa, bun.”

“Coklat dari mana?”

Ditanya begitu, suami hanya diam. Tetapi tampak raut mukanya menunjukan kesan aneh. Seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Aku semakin penasaran. Sangat! Dari mana coklat import yang mahal seharga ratusan ribu rupiah itu bisa ada di lemari? Suami bukanlah tipe yang suka makan coklat apalagi membeli yang mahal. Bukan sifat dia sekali. Kalau memang ini untuk aku, mengapa wajahnya seperti itu?

Hati mulai dimakan kata curiga. Ada debaran pelan yang menusuk. Pikiran juga mulai mengambang, menerka-nerka pada sebuah nama.

“Dari siapa ini coklatnya?!” tanyaku lagi. Sekarang lebih sedikit jengah.

“Ehm, itu dari mamanya Kinanti.” jawab suami mulai lebih santai daripada tadi.

Deg! Tuh, benarkan. Dari dia. Mimik mukaku langsung muram.

Kinanti itu anak bungsuku yang baru berusia tiga tahun. Kalau suami sudah menyebut istilah “Mamanya Kinanti” itu artinya dia sedang menyebut nama sahabatnya, Poppy.

Iya Poppy, siapa lagi yang bisa membakar cemburuku selain wanita lajang yang berparas cantik, tinggi, berbadan putih mulus dan memiliki senyum yang sangat indah. Ah, mau menangis saja rasanya begitu tahu kalau coklat itu dari Poppy.

Hiks.. Hiks..

“Bunda..” suami mencoba menyapa dengan nada halus, tetapi tak segera kujawab. Aku cemberut. Sebenarnya sih tidak ingin menampakkan wajah burukku, tetapi entahlah, muka ini tiba-tiba sudah begitu pintarnya mencerminkan situasi emosi hati.

“Bunda, sini dong.”

Ditariknya tanganku lembut. Aku masih manyun. Suami yang saat itu tengah duduk bersila di atas tempat tidur, merebahkan tubuhku di pangkuannya. Pasrah, tak kutolak caranya dia memperlakukan diriku.

“Jangan marah ya,” katanya. Kupeluk tubuh suami, hangat. “ayah jadi merasa bersalah sama bunda. Itu coklat sebenarnya mau kuberi ke bunda tadi malam, tetapi lupa. Kan ayah gak suka coklat, setelah diberi Poppy, langsung ayah bawa pulang buat kalian.”

Lupa? Mengapa disembunyikan ke dalam lemari? Mengapa tidak ke dalam pendingin saja kalau alasannya cuman karena takut meleleh. Bertubi-tubi pembenaran kupaku ke dalam hatiku.

“Bunda mengapa sih kok cemburu sekali sama Mamanya Kinanti? Dia hanya memberi coklat saja bukan. Apa masalahnya?”

Iya, mengapa aku cemburu? Bukankah itu hanya sebuah coklat saja.

Pertanyaan yang bagus. Mungkin dikarenakan keisengan suami sendiri yang membuat istrinya yang tidak terlalu cantik, kurus, berjerawat, dan kalah pamor ini menjadi cemburu setiap kali mendengar atau apapun yang bersangkutan dengan Poppy. Percaya diriku menjadi jatuh hingga terbenam ke dasar bumi! Beneran, aku tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan fisik gadis itu.

Suami dan Poppy sudah bersahabat sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Beberapa tahun ini mereka mulai dekat dikarenakan ada sedikit usaha suami yang dibantu oleh Poppy. Memang suami sering bertandang ke rumah gadis cantik berusia duapuluh sembilan tahun itu, tetapi dalam urusan kerjaan. Namun sejak tragedi foto, pertahanan rasa percayaku jebol.

Loh kok foto? Lah suami itu nakal juga kalau aku bilang. Di handphone-nya, banyak bertebaran foto-foto Poppy. Dari berbagai pose. Ada yang close-up, bahkan ada yang menyelonjorkan kaki di depan jendela dengan hanya mengenakan kaos ketat dan hotpants super pendek.

Hiks.. Hiks.. bagaimana aku tidak cemburu. Fotonya menghantui di mana-mana. Bahkan di laptop kami juga. Ah.. nasib kalah cantik ya begini nih.

Sudah sering kuutarakan kisah sedih hatiku pada suami, tetapi eh, malah ditertawakan. Dia mati-matian berusaha menjelaskan bahwa tidak ada apa-apa antara mereka. Tetapi, dasar akunya yang bengal, masih saja cemburu. Pada akhirnya, mungkin karena alasan untuk menjaga perasaanku, suami jadi jarang ijin kalau sedang bertandang ke rumah Poppy. Biasanya berbohong. Tetapi karena istrinya ini super sensitif, eh tahu juga.

Sering kami saling diam, marahan. Tetapi lama-lama aku berpikir, oh iya, toh ini juga karena kesalahanku yang sering ceburu buta padanya. Mengapa tidak berusaha lebih percaya lagi saja? Soal foto-foto itu, biarlah. Anggap saja memang hanya suami yang mengagumi kecantikan sahabatnya.

Toh kalau aku semakin menekan dan menjudge terus, malah akan semakin jengah. Bunda harus lebih sabar ya menghadapi pikiran buruknya sendiri. Begitu statement yang kudoktrin pada pola pikirku.

Akhirnya, adegan cemburu pagi ini bisa kuatasi. Sedikit memang rasa itu muncul. Sekelumit menyapa hati. Tetapi tekadku jauh lebih kuat daripada cemburu pada sekotak coklat dari Mamanya Kinanti..

Kupeluk semakin erat tubuh hangat suami. “Sudah kok, yah. Bunda sudah tidak cemburu lagi.”

“Benarkah? Tapi wajah Bunda tidak bisa berbohong loh.”

Dengan sigap kucubit pinggang suami yang tebal karena lemak itu. Gemas sih. Sudah tahu istrinya sedang menekan-nekan perasaan cemburu, eh mala masih digoda.

Suamiku tertawa. Lalu setelah puas meluapkan tawa kerasnya, dia mendaratkan ciuman bertubi-tubi di kening dan pipiku.

“Bunda kenapa kok marahan sama ayah?” tanya Natasya. Wah peka sekali perasaan anakku yang baru berusia tujuh tahun ini ya.

“Iya, gara-gara ayah dapat coklat valentine dari Mama.” Jawabku pura-pura sewot. Yang tentu saja membuat suami yang berdehem sambil menarik bibir ke samping. Kini akhirnya gantian aku yang bisa tertawa menggoda ayah.

Ah, ya sudahlah. Ini bumbunya pernikahan. Cemburu boleh saja, asal kita harus tahu bagaimana cara memaknai rasa cemburu itu. Bukannya malah membabi buta kecemburuan menjadi sesuatu yang nantinya akan menjadikan ketidaknyamanan di rumah. Kalau sudah begitu, apa masih mau seorang suami itu betah berada di sisi istrinya.



Feb 18, 2014
10:11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar