“Berhentilah menemaniku.”
Hening menggerutu pelan.
“Apa kau sedang bermimpi? Kita ini sejiwa, tidak
mungkin salah satu dari kita bisa pergi begitu saja, Hening.”
“Tapi aku jengah sama kamu. Bosan.”
“Mengapa?”
“Kau membuatku semakin kelam. Bukan seperti itu
diriku yang sebenarnya. Selama ini, kaulah yang menutupi binar cerahku, Sunyi.”
Sunyi terperangah. Sinar wajahnya mulai
mengusut, kecewa dengan perkataan Hening.
“Kata-katamu menyakitkan, Hening. Tak seharusnya
kau ucap seperti itu.”
Hening terdiam, memilih bersembunyi kepada sang
Bisu. Guratan-guratan halus pada wajahnya, semakin nampak menyeruak. Menunjukan
usia yang sangat tua. Uzur sekali. Renta seperti sang Bumi.
“Hening..” desah Sunyi memohon.
“Aku ingin bisa berpendar seperti sinar Bulan
yang terpantul pada bibir Laut di malam hari. Ingin berwarna dan berwarni
seperti Pelangi yang menengok Bumi setelah sang Hujan turun. Juga ingin bisa
bersenandung merdu seperti suara Angin yang berdesir di sela-sela rerimbun
pohon, menarikan tarian semilir bersama daun-daun.” Hening menghentikan omelan
panjangnya sebentar. Ditatapnya mata Sunyi lamat-lamat. Bulir bening mengalir
dari sudut penglihatan Hening.
“Aku, aku hanya tak ingin hanya menjadi sebuah
Hening yang tak bersuara karena terperangkap dalam dekap Sunyi. Aku ingin
hidup, bersinar, dan lebih memberi manfaat pada manusia.”
Hati Sunyi terenyuh, haru. Dibelainya rambut
Hening yang memanjang indah dengan gelombang lembutnya. Pelan, pelan dan pelan.
Penuh cinta.
“Kau bukan Bulan yang mempesona dengan
keanggunannya. Bukan Pelangi yang ceria dengan carut warnanya. Juga bukan Angin
yang pandai menari riang menghibur dedaunan, hingga mereka termabukan dan
akhirnya jatuh gugur ke tanah. Bukan. Engkau hanya sebuah Hening sayang. Jadilah
dirimu sendiri, jangan cemburu dengan yang lainnya.”
Sunyi mengangkat dagu Hening dengan jemari
lembutnya, “kau adalah Hening yang cantik. Engkau anggun walaupun tanpa perlu
bersuara. Manusia mencintaimu dengan caranya sendiri. Mereka membutuhkanmu, Hening.
Tanpa kamu, mereka tidak mungkin bisa merasakan kesendirian, tidak bisa
merasakan kehampaan. Tidak bisa memahami kesejatian diri mereka sendiri.
Setelah bersetubuh dengan dirimulah, manusia bisa kembali bangkit. Bisa kembali
menghadapi masalah mereka.”
“Benarkah?”
“Iya, Hening. Pada sela-sela senyumanmu itu,
manusia belajar berpikir tentang masa depan. Mereka butuh kamu, butuh
keheningan untuk bisa memaknai sesuatu. Kau tahu itu bukan.”
Senyum Hening merekah. Matanya kembali berbinar
cerah.
“Nah, begitulah kamu, Hening. Kau cantik dengan
kesunyianmu.”
Feb 13, 2014
11:17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar