Hari sudah hampir menapak pada senja saat kami tiba di rumah salah satu
rekan kerja, sedikit lagi. Semua duduk di lantai. Menempelkan badan pada tembok
yang dingin. Sebagian dari kami tertunduk karena haru, tidak bisa melihat
kondisi tuan rumah. Sebagian matanya berkaca-kaca. Lebih tidak kuat lagi
menahan kesedihan, termasuk aku, yang duduk di kursi sambil menggelus perut
buncitku.
Nama wanita itu Alya. Hampir tigapuluh tahun usianya.
Hari ketika kami menjenguknya, kondisi Alya sudah sangat memprihatikan.
Badannya mulai mengering, kurus sekali. Dengan cekung di sekitar mata, pipi
yang menirus dan bahkan menjadi kempong. Lalu rambutpun mulai menipis, telah
rontok berhelai-helai. Badannya lemah. Bahkan berjalanpun sudah tidak bisa.
Usia kandungannya sudah mencapai enam bulan, sama dengan kandunganku saat
itu. Tetapi perut buncitnya kecil, tidak sebesar milikku. Sungguh membuat kami
iba. Anak kedua yang tengah dikandung Alya, harus menderita dikarenakan penyakit
yang diderita sang ibu.
Leukimia akut.
Dan apa kalian tahu apa vonis dokter yang menangani Alya? Wanita manis itu
disudutkan pada dua pilihan yang teramat sulit. Mana yang akan dipilih, nyawa
sang janin atau dirinya sendiri.
Subhanalloh. Mendengar cerita Alya yang diiringi seguknya membuat hati kami
miris teriris. Beberapa mulai menitikan air mata. Bendungan itu sudah jebol
karena tak kuasa menahan kesedihan.
“Aku nyesel, Mak. Kenapa dulu bisa kebobolan. Sudah kubilang pada suami
sejak awal hamil, lebih baik digugurkan saja, aku belum siap mempunyai anak
lagi. Hutang kami masih banyak,” Alya merintih sedih kembali, meneruskan
curahan hatinya yang sedari tadi mampu mencabik-cabik kami, “seandainya saja
dari dulu sudah digugurkan.” Suaranya pelan sekali. Hampir tidak terdengar.
Tetua kami di kantor yang dipanggil Emak menimpali suara Alya. Dia
mengingatkan agar Alya tidak berkata buruk pada pemberian Tuhan.
“Gak boleh Lya, dosa kamu bilang seperti itu. Anak itu anugerah, dia rejeki
buat kamu. Lebihlah bersabar menjalani cobaan ini, Lya.”
“Hutang kami menumpuk, Mak. Tiap tiga hari sekali aku harus transfusi
darah, sekali habis dua kantong, dan itu tidak murah. Suamiku hanya seorang
cleaning servis, Mak. Berapa banyak yang kami punya? Tidak ada!”
Aku terenyuh, tidak mampu berkata apa-apa. Bahkan untuk membayangkan saja
sudah takut.
Cerita demi cerita masih terlontar dari mulut Alya yang mengering dan
pecah. Bibir itu bergetar. Pun juga jari-jari tangganya yang mengeriput. Aliran
kesedihan sudah banjir di sela-sela krah bajunya yang berwarna hijau mentah.
Lalu kami semakin tenggelam dalam perasaan yang bercampur aduk tak keruan,
hingga senja dan suara adzan maghrib menegur pori-pori kami agar ingat bahwa
hari sudah mulai gelap. Maka kunjungan hari itupun kami akhiri dengan berpamit
kepada tuan rumah.
***
Tiga bulan kemudian, kelahiran anakku yang mendadak lebih cepat dari
prediksi ilmu kedokteran, membuatku kehilangan kabar Alya. Padahal sebelumnya,
kami selalu tidak lupa bertanya tentang keadaannya. Sebentar Alya masuk rumah
sakit, sebentar pulang lagi.
Pernah suatu ketika saat usia kandungannya hampir menginjak delapan bulan,
Alya terpaksa dirawat inap kembali selama tiga minggu. Kondisinya sangat
kritis. Tetapi wanita berambut panjang itu sungguh mempunyai ketabahan serta
kegigihan yang sangat besar. Keinginannya untuk tetap hidup dan melahirkan
bayinya sangat kuat.
Mungkin benar, di awalnya dia hampir putus asa. Tetapi perjuangan suami
yang tidak mau menyerah untuk menyelamatkan nyawa istri dan anaknya, membuat
Alya tersentuh. Baik keluarga maupun sahabat, selalu berpesan agar Alya
memiliki kemauan hidup yang kuat. Agar dia dan anaknya bisa selamat. Karena
itulah, sedikit demi sedikit akhirnya Alya mau mengerti makna cobaan yang
diberikan Tuhan padanya. Diapun memupuk kekuatan pada hatinya, dengan
banyak-banyak berserah diri dan berdoa kepada Sang Pencipta.
Pertengahan September, dua minggu setelah gadis kecilku lahir, Alya
melahirkan. Seorang teman kerja menelponku dengan suka citanya. Dia menangis.
Aku juga. Sebuah tangisan yang bahagia.
Bayinya laki-laki. Bermata bening dan berhidung mancung seperti ibunya. Dia
sehat. Pun demikian dengan Alya. Walaupun memang dibutuhkan waktu yang lebih
lama untuk penyembuhan, tetapi semua berjalan sesuai harapan. Tuhan mengabulkan
doa-doa kami.
Alhamdulillah. Terima kasih untuk segalanya Tuhanku. Engkaulah yang Maha
Pemberi. Maha Segalanya. Ujianmu pada Alya mengetuk pintu hati kami.
Mungkin basi saat kita mendengar ungkapan “hidup adalah sebuah perjuangan”.
Tetapi pernahkah kita kembali menengok, seberapa besarkah perjuangan kita pada
hidup?
Alya yang lemah, suami Alya dengan keterbatasannya, lalu keluarga mereka
itu jugalah yang telah membuktikan, bahwa hidup itu benar-benar butuh sebuah
perjuangan. Dan kekuatan doa adalah kekuatan untuk menjalaninya. Tidak ada hal
yang tidak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak, bahkan sebuah vonis manusia
yang pintar sekalipun. Maka, memintalah padaNya, agar kita terselamatkan dan
diberi kekuatan menjalani segala cobaan.
Jan 15, 2014
14:36
Kepada “ALYA”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar