Senin, 27 Februari 2017

HILANGNYA KEKASIHKU, KOPER, DAN SURAT-SURAT


KEKASIHKU tiba-tiba saja hilang, padahal banyak surat yang ingin aku baca. Sebuah gulungan koran dilempar di depan pintu oleh seorang pemuda dekil. Anjing tetanggaku mengambilnya. Liurnya menetes dan menyatu dengan kertas-kertas. Aku merasai kemualan yang tidak terhentikan. Aku berlari ke samping rumah, memuntahkan hidangan makan pagi di atas rumput Ibu. Cucianku masih saja lembek dan basah, tetapi mendung berlarian di pucuk-pucuk daun kersen. Tidak ada angin pagi ini. Botol minuman mineral kesepian di atas meja. Pantat Ayah berkarat. Setiap dia melangkah, terdengar bunyi derit yang memilukan. Krek, krek, krek. Kruk, kruk, kruk.

Oh, Tuhan... Ayah sudah terlalu tua untuk jadi seoranh Napoleon!

Surat-surat bertumpuk dalam koper, belum aku baca. Beruang berbulu cokelat menangis di bawah ranjang tidur masa kanakku, manik hidungnya terbelah. Telapak kakiku lepas kebingungan, mataku berenang mencari koper berisi surat-surat.

"Ayah! Di mana koperku?!"

Pekarangan rumah tiba-tiba saja membungkam. Ayam-ayam menggiring anaknya pulang, memeluk kandang kayu. Reyot, kuyup, beku. Ayah berderit-derit sepanjang pagi dan aku berenang di daster Ibu.

"Ayah! Di mana koperku?!"

Aku ingin membuang berak. Ombak di daster Ibu semakin besar. Karang-karang mulai menjulang, mengamuk. Badai besar datang! Badai besar datang! Aku lari ketakutan. Di dalam kamar mandi Ayah masih berderit. Matanya sibuk membaca sebuah surat. Dia mendelik. Dia nampak seperti robot yang kehabisan oli.

Kutanya sekali lagi, "Ayah, di mana koperku?!"

Pantat Ayah akhirnya bungkam. Dia sudah bosan menderit-derit. Air di daster Ibu kering. Lautan tandus. Ada koper di dasarnya, berwarna hitam, surat-surat terombang-ambing di sampingnya. Kata-kata melayang satu per satu. Hei, itu koperku! Itu surat-surat kekasihku!

Di dalam koper, itu kepala kekasihku!!


Sidoarjo, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar