Rabu, 22 Februari 2017

BUKIT DI BUAH DADANYA


ADA sekumpulan bunga di buah dadanya. Bunga-bunga yang bersiul, bunga-bunga yang melambaikan tangan, bunga-bunga yang tertidur, bunga-bunga yang berkedip. Merah. Ungu. Biru. Jingga. Abu-abu. Buah dadanya adalah bukit, dua buah bukit. Pohon-pohon menari. Buah-buah menggantung. Mangga. Belimbing. Kelapa. Ceri merah. Bukit di buah dadanya lindap dan hijau. Sekonyong-konyong aku berteduh, menidurinya, bergulung-gulung,  menarik selimut rumput, menikmati sekumpulan bunga yang mengedip genit, lalu terengah-engah, memandang langit di buah dadanya yang begitu biru, biru yang sempurna. Anak-anak berlarian menerbangkan layang-layang, tinggi, meliuk-liuk. Angin mengepak sayap, bermain petak umpet dengan bayi-bayi burung yang mencicit. Induk burung bertepuk tangan, paruhnya penuh cacing-cacing bertubuh gelap. Seekor anjing menggonggong keras, mengibas ekor cepat-cepat. Berlari mencari matahari. Sekumpulan kupu-kupu digertak jaring, terbang kalang-kabut, terjungkal-jungkal, disambut tawa bocah-bocah kegirangan. Ibu-ibu mereka menabuh pantat panci.  Teng teng teng! "Waktunya makan, bocah!" Teng teng teng! "Waktunya makan, bocah! Jangan seperti bapakmu yang lupa dengan rumah!"

Pagi di buah dadanya pikuk. Sementara dirinya, masih saja lelap, di sela-sela paha embun yang mulai menguap. []



Sidoarjo, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar