Pesan itu masih berlangsung hingga ketiga bocah kecilnya pulang sekolah pukul sepuluh pagi. Matanya meleleh, sulungnya bertanya, "Mama nangis, ya?" tapi ia hanya menggeleng-geleng saja. Si kecil, yang masih berusia lima tahun, menghambur dari pintu dapur dan menggelayut manja di punggungnya. Kepala mungil itu merebahkan diri di bahunya, sementara kedua tangan kecil itu, merengkuh lehernya, seolah berkata: Semua akan baik-baik saja, Mama, ada kami di sini. Ia segera menghapus air matanya, menciumi tangan mungil itu.
Denting ponselnya lagi-lagi menyeruak. Kembali ia melihat, menarik napas.
'Aku mau, Mbak, ketemuan, tapi Mbak harus bisa menjaga nama baik diriku.'
Derana menarik bibirnya. Nama baik? Ia mendesis di dalam hati. Nama baik macam apa yang ingin dijaga, sementara dirinya sendiri tidak bisa menjaga itu.
'Mbak juga tahu, kan, kalau aku di sini posisinya sebagai korban suami Mbak.'
Korban? Ya ..., korban. Lalu, disebut apa aku?
Derana memanggang dadanya dan hampir meledak, tapi lagi-lagi, perempuan berambut ikal itu berusaha menekan-nekan hingga ledakan itu tersumbat kembali.
'Kita ketemuan di rumah mertuaku, ya, Mbak Upi. Kalau boleh, aku minta nomor teleponnya, biar nanti lebih enak untuk komunikasi.'
'Iya, Mbak. Nanti sore setelah aku pulang kerja, aku akan ke rumah mertuamu. Dan tolong, jaga nama baikku, ya?'
'Tenang, Mbak. Aku tidak mungkin membunuh atau menjambaki rambutmu. Aku jauh lebih dewasa dan terkontrol daripada itu.'
Setelah mengetik kalimat itu, Derana bangkit dari lantai dapur, berjalan menggandeng bocah lima tahunnya dan bersiap berangkat.
° 2 °
POV DERANA
Dada perempuan itu sepuluh kali lebih besar dari milikku. Kulitnya cokelat gelap. Tidak ada satu pun noda bekas jerawat di wajahnya, bersih dan mulus, walau tetap ada guratan-guratan usia di bagian bawah mata dan sedikit di pipi. Postur tubuhnya montok, sedikit lebih pendek dariku. Rambutnya lurus, menggantung dengan lihai. Dan bokongnya, gumpalan lemak di bagian belakang tubuhnya itu terlihat begitu sesak saat ia duduk di sofa tunggal milik mertuaku. Hampir tidak muat.
Alis perempuan itu tergambar sempurna. Demikian pula dengan alas bedak dan pulasan bibirnya. Aku yakin, ia seorang pesolek yang handal. Dan aroma parfumnya, kuat dan menguar di udara yang kuhirup.
Ia datang dengan begitu sopan. Menyalami kedua mertuaku dan kakak iparku. Ia juga pandai berbasa-basi. Tertawa-tawa lebar, bertanya tentang kabar keluarga mertua dan juga tentang anak-anakkuapakah sehat ataukah tidak. Aku menghadapinya dengan keramah-tamahan yang hampir sama indahnya dengan miliknya. Berbasa-basi sejenak, dan balik bertanya tentang kedua anaknyasebelum ia bercerita tentang anaknya, aku sudah melihat foto profil Blackberry-nya yang menunjukkan jika ia juga seorang ibu.
"Aku janda, Mbak," ujarnya. Tebakanku benar.
Aku tidak bertanya berapa usianya, tapi dari wajah, gaya, dan penampilannya, serta usia kedua anaknya yang lebih tua dari ketiga anakku (mungkin SMP dan SMA, tapi entahlah), aku yakin perempuan itu lebih tua dariku. Jauh di atasku.
Ah, seketika aku ingat. Suamiku itu memang penyuka wanita yang lebih berumur darinya. Tante-tante, dengan wajah yang garang dan nakal. Suamiku begitu mengilai Sofia Latjubah (ia menyebutnya Tante Sofie) dan Cut Tari. Ia bisa gila saat kedua artis perempuan itu muncul di televisi.
Sebelum akhirnya Upi bersedia bertemu dengankuaku memintanya untuk bertemu dan berbicara, aku ingin kami duduk bertiga dan menanyai apa yang mereka, Upi dan suamiku, kehendaki setelah iniberkali-kali ia mengatakan: Apa Mbak bisa menjaga nama baikku? Mbak juga tahu, kan. aku di sini adalah korban. Aku ditipu suamimu. Lelaki itu sakit, Mbak. Kelainan jiwa. Sakit!
Kelainan jiwa dan pesakitan.
Ah, julukan itu sangat cocok sekali ....
Ah, baiklah. Aku tahu sekali, manusia adalah makhluk konyol. Termasuk juga diriku. Cinta membuat kami bodoh. Mabuk kepayang. Lupa akan segala hal. Apakah itu milik wanita ataukah lelaki lain ataukah bukan. Lalu ketika dikhianati, kami berubah menjadi makhluk yang paling pandai mencaci dan mengumpat. Makhluk yang menggenggam bara di dadanya.
Menanggapi kata-kata Upi yang tidak ingin nama dan kehidupannya berubah menjadi petaka gara-gara hal ini, aku berusaha menjadi baik. Kukatakan padanya semua akan baik-baik saja. Dan aku berjanji, ketika kami bertemu nanti, tidak akan terjadi hal-hal yang memalukan bagi dirinya. Ia pun menyetujui perjumpaan kami.
Rumah Upi ternyata lebih dekat dengan rumah mertua dan kakak iparku. Aku pun memutuskan bertemu dengannya di rumah mereka. Dengan susah-payah kuboyong ketiga anakku dengan menaiki motorbahkan motor itu tidak memiliki rem tangan, hanya rem kaki yang bahkan tidak sempurna. Perasaanku yang menginginkan keadilan membuatku berani melalui itu semua. Padahal sebelumnya aku begitu takut berjalan berempat di jalan raya, yang tentu saja dipenuhi mobil, truk, dan motor yang lesat begitu cepat.
Setiap saat, aku berusaha mengajak anak-anakku berbicara. Sekadar bertanya apakah mereka mengantuk atau tidak. Aku juga bercerita dan bernyanyi-nyanyi, juga sering mengecek posisi duduk anak keduaku yang ada di tengah, lalu melirik wajah si kecil dari spion sebelah kiri, berharap ia tidak mengantuk. Aku memang sudah mengikatkan sweater cokelat agar ia menyatu denganku, tapi tentu saja akan lebih sulit lagi jika bocah itu tertidur. Dalam hati aku berkata (berkali-kali aku mengatakan ini): Aku harus kuat! Aku harus kuat! Aku harus kuat dan bisa!
Dan sungguh, aku benar-benar telah melakukannya, dalam dua jam perjalanan yang sangat melelahkan! Tangan kananku berkali-kali kram dan punggungku terasa sakit, tapi pada akhirnya, aku bersyukur kami semua baik-baik saja.
Setelah tawa basa-basi itu mereda, Upi akhirnya membuka pembicaraan mengenai dirinya dan suamiku. Bagaimana mereka bertemu, apa saja yang mereka lakukan, ke mana, kapan dan di mana saja mereka pergi. Upi bahkan tidak segan-segan meceritakan adegan ranjang mereka. Ia bercerita dengan kemarahan yang meluap-luap. Ia bahkan mengatakan, tidak sedikit pun merasa kehilangan lelaki itu, karena pada saat mereka berhubungan, ia juga memiliki hubungan dengan lelaki lain. Mendengarnya, aku ingin muntah. Bagaimana bisa perempuan bisa melakukan hal-hal seperti itu? Berhubungan dengan lebih satu lelaki, tetapi marah saat ia tahu dikhianati?
"Maaf, ya, Mbak. Kalau boleh tahu, bagaimana kegiatan ranjangmu dengan suamimu? Apakah biasa-biasa saja, atau ...."
Aku sedikit terkejut saat Upi melontarkan pertanyaan itu. Mungkin perasaan yang sama juga dirasakan oleh mertua dan kakak ipar. Bagaimana bisa perempuan yang sudah berkelamin dengan suami orang lain itu begitu berani mempertanyakan kegiatan ranjang pada istri lelakinya? Dalam mataku, Upi berubah menjadi monster betina yang menjijikkan.
Sebenarnya, Upi adalah wanita yang baik, ramah, dan menyenangkan dalam bertutur kata. Mungkin karena amarahnyalah sehingga ia begitu berani. Bisa jadi juga karena rasa penasarannya tentang kehidupan lelakinya harus dibayar tuntas.
"Suamimu itu libidonya besar, loh, Mbak. Maunya juga aneh-aneh." Upi berkata lagi, tanpa rasa malu. Aku membalasnya dengan senyuman, lalu melirik wajah ibu dan bapak mertuaku. "Kami baik-baik saja, kok, Mbak. Kalau soal itu, aku juga sudah tahu,” balasku kemudian.
Upi mengangguk-angguk. Entah apakah anggukannya itu bertanda ia percaya ataukah tidak, aku tidak tahu. Aku tidak peduli. Karena apa yang kukatakan pun bukanlah suatu kebenaran. Sudah barang tentu kamiaku dan suamikutidak sedang baik-baik saja dalam urusan ranjang.
Sudah dua tahun lelaki itu tidak menjamahku. Ah, tidak. Tepatnya jarang menjamahku. Sudah sering kutanyakan perihal ini. Ia menjawab kalau dirinya sedang lelah. Sepulang kerja, ia hanya ingin langsung istirahat, merebahkan tubuh dan menenggelamkan matanya pada layar ponsel. Ia juga sering menyuruhku memijat kakinya.
Sejak kelahiran anak ketiga kami, aku mengikuti progam KB suntik. Hingga akhirnya memutuskan berhenti lima bulan lalu. Aku ungkapkan padanya; Bukankah percuma aku suntik KB, sementara kau tidak menggunakanku? Dan ia hanya terdiam saja. Hanya berdehem, seperti biasa. Ketika lima bulan yang lalu itu, aku melalui malam tanpa sentuhannya sama sekali. Sama sekali.
Lima bulan itu juga ia banyak berubah. Lebih buruk dari biasanya. Ia kembali pulang hingga tengah malambahkan sering hingga pukul dua atau tiga pagi, dan sering beralasan pergi ke luar kota karena tugashal sama yang pernah ia lakukan saat berselingkuh dengan Hanna. Ia juga sering menerima telepon dan membiarkannya berdering lama. Hal yang tidak pernah dilakukannya. Biasanya, iia akan langsung menjawab. Terkadang, dering telepon aneh itu ia amati dalam-dalam, berkata: Siapa ini? Dan berpura-pura berkata Hallo? berkali-kali, padahal aku melihat ia menekan tombol end. Itu lucu sekali. Dan aku membiarkannya saja ia bertingkah konyol seolah-olah aku bodoh dan tidak tahu apa-apa. Ketika ada kesempatan, aku suka mengecek nomor masuk itu. Pada kenyataannya, ia selalu menghapusnya. Ini jelas suatu perkara yang mencurigakan.
Dalam urusan perempuan, ia tidak pernah berubah.
"Jadi, bagaimana, Mbak?" Upi mengejutkan lamunan sekilasku. Aku mengedip-kedip. "Apa suamimu mau datang kemari?"
Aku mengerut alis. Upi benar. Bagaimana dengan lelaki itu.
Dengan segera aku mengecek ponsel. Tidak ada balasan, padahal chat itu sudah dibacanya. Sebelum Upi datang, aku sudah menghubunginya, menunjukkan semua chat dan fotonya bersama perempuan itu. Aku yakin, saat ini, ia pasti sedang kebingungan, dan mencari-cari alasan untuk bisa menghindar.
"Belum dibalas," ujarku.
"Dia takkan berani kemari, Mbak. Dia takut sama aku. Semua kartunya ada di aku." Upi berkata dengan tatapan mata yang merendahkan.
Ya, mungkin Upi benar. Lelaki selalu seperti itu. Berani berkelakuan, tapi tidak berani bertanggung jawab. Dalam urusan seperti ini, kebanyakan lelaki adalah pengecut sejati. []
---bersambung---
Lanjut, Mbak....😆😆😆
BalasHapus