Oleh: Ajeng Maharani
Saya pernah mencintai seekor anjing, yang lebih anjing daripada anjing yang paling anjing. Saya juga pernah mencintai sebatang pohon, yang lebih teduh dari pohon-pohon yang paling teduh, tapi saya tidak pernah mencintai selarik puisi yang berwujud lelaki semacam dirimu, yang di kepalanya ditumbuhi kata-kata, kota mimpi yang menjulang tinggi, dan para tokoh cerita yang meraung-raung meminta keadilan atas nasib buruk mereka yang kamu tulis dengan semena-mena.
Berjumpa denganmu semacam kutukan yang harus saya hadapi. Kamu datang layaknya sebaris kabut dini hari, yang kemudian lenyap saat pagi mulai meninggi dan anak-anak angin yang baru saja menetas, dengan sukacita meniupi tubuhmu hingga lenyap. Kamu selayaknya layang-layang yang mengapung di langit tanpa seutas tali. Selayaknya udara yang tidak mungkin tergenggam. Tapi saya, bagaimanapun layaknya dirimu diumpakan, saya tetap ingin menyimpan cinta itu dalam mata saya.
Hingga hari ini, kamu duduk diam dengan sebatang rokok terapit di jari-jari lentikmu (bagaimana bisa seorang lelaki memiliki jari-jari yang panjang seperti itu?), bergumam tidak jelas dengan bibir merah mudamu yang menawan. Sementara saya berdiri di punggungmu, menekuni punggung itu tanpa sedikit pun berkedip. Membaui aroma tembakaumu yang membumbung angkuh di dalam kotak tempat kita dipertemukan.
Ada yang sedang jatuh cinta padaku, ujarmu dengan sekali tarikan napas. Aku tidak menyukai itu. Aku tidak suka dicintai. Aku ini lebih suka dibenci dan dikhianati.
Saya terhenyak mendengar ceracaumu yang aneh. Padahal kamu manusia. Bagaimana bisa seorang manusia tidak suka dicintai? Bukankah cinta yang akan membuat seluruh manusia di dunia ini bisa hidup bahagia?
Kau tahu kenapa aku lebih suka dibenci dan dikhianati, tanyamu kemudian. Asap-asap tembakau itu kini telah lenyap. Di jarimu yang lentik, sebatang rokok juga sudah menghilang.
Tidak tahu, jawab saya.
Karena aku seorang penyair.
Apa hubungannya antara cinta dan profesimu?
Karena seorang penyair butuh kebencian dan caci-maki agar bisa menulis puisi.
Omong kosong. Penyair juga butuh cinta agar puisi-puisi mereka terdengar indah.
Cinta hanya akan membuat seorang penyair menjadi tumpul.
Kamu gila!
Hidup butuh kegilaan. Kau tahu itu dengan sangat benar.
Di dalam kotak itu, kita tetap tidak saling memandang walaupun kita berbicara. Kamu terus saja mengungkapkan argumen-argumen yang menurut saya begitu dungu, sementara saya terus menekuni punggungmu tanpa berkedip. Lama kita bertahan dalam keadaan semacam itu. Hingga kotak yang menampung kita luruh, lalu hujan turun dengan derasnya, menerjang kotak dan membuat kita kuyup.
Kamu segera berlari, mencari teduh, dan meninggalkan bola matamu di tempat itu. Bola matamu meleleh, tapi saya tidak tahu, apakah itu hujan atau air mata milikmu (ataukah justru itu sebuah puisi kesedihan?). Dan saya, dalam kuyup, masih saja berdiri. Tidak beranjak. Memandangi bola matamu yang masih terus saja mengucurkan hujan, atau air mata, ataukah puisi kesedihan.
***
Malam ini kamu mendatangi saya dengan tiba-tiba. Semu bibirmu tidak lagi semerah muda ketika itu, saat kita sama-sama terperangkap di dalam sebuah kotak. Bibir itu memucat, dan likat. Seakan kamu benar-benar telah kehilangan kehidupan.
Kenapa kamu datang ke rumahku, tanya saya.
Aku tidak tahan lagi. Ada yang sangat mencintaiku. Perasaan itu menusuk-nusuk dadaku.
Kamu dengan lemah melempar bokongmu di atas sofa milik saya. Napasmu terengah-engah. Kamu berlari, tanya saya. Kamu menjawab itu dengan mengangguk-angguk. Berikan aku segelas air putih, ujarmu kemudian. Lesat saya menghambur ke dapur, merasai iba pada keadaanmu malam ini. Padahal kamu, yang saya ketahui penuh dengan kehidupan di dalam kepalamu. Tapi malam ini, kepala itu terlihat kosong.
Segelas air putih saya sodorkan ke arahmu. Kamu meraihnya dengan beringas, meneguknya penuh birahi. Gelas itu seketika kosong dan kamu menaruhnya kasar di atas meja saya, menimbulkan suara getar yang menghantam dada.
Aku bisa mati jika lama-lama seperti ini, katamu.
Bagaimana kamu tahu kalau kamu akan mati?
Karena cinta itu. Karena dia mencintaiku.
Dia? Kamu tahu siapa orangnya?
Mendadak, kamu menatap saya dalam-dalam. Dada saya berdentum. Tidak, jangan menatap saya demikian. Saya bisa mati mendahului dirimu.
Tidak tahu. Aku tidak tahu siapa yang sedang mencintaiku.
Saya menarik napas lega. Itu konyol, balas saya. Kamu tidak tahu siapa yang telah menghantam tubuhmu dengan perasaan cintanya, tapi kamu seolah-olah merasa kalau dia itu benar-benar ada!
Tidak, tidak. Aku tidak bohong. Aku bisa merasakannya.
Baiklah. Katakanlah itu benar. Apa yang akan kamu lakukan padanya. Misalnya, aku yang memiliki perasaan cinta itu? Apa kamu akan memarahiku? Membunuhku? Menguliti tubuhku dalam puisi-puisimu?
Kamu terdiam. Menatapku lagi.
Apa?
Entahlah. Kalau kau yang mencintaiku, rasanya itu tidak mungkin. Kau tidak akan mencintaiku.
Dari mana keyakinan macam itu datang? Bisa jadi aku mencintaimu diam-diam. Aku seorang perempuan. Kamu seorang lelaki. Cinta bisa saja hadir di antara kita!
Cinta tidak akan pernah hadir di antara kita! Tidak akan!
Kenapa?
Karena aku tidak melihat kau sebagai perempuan.
Saya tercengang.
Aku melihat kau sebagai sebuah buku. Buku yang layak aku baca.
Saya terhenyak. Benar-benar terhenyak dan membeku. Buku? Baiklah. Jawabanmu itu telah membuat saya patah hati, bahkan sebelum saya menyatakan cinta kepadamu.
***
Hari demi hari kamu semakin nampak hampir mati. Matamu cekung. Tubuhmu menggigil. Kulitmu pucat masai. Rambutmu yang panjang itu mulai rontok, helai demi helai.
Bagaimana keadaanmu, tanya saya ketika saya mengunjungi kotak itu lagi. Kotak itu telah tegak kembali. Apakah kamu yang telah menguatkannya?
Aku akan mati. Sebentar lagi, jawabmu lemah. Suara-suara telah hilang dari dalam mulutmu.
Tidak bisakah kamu menerima perasaan itu dan hidup kembali seperti biasa?
Tidak.
Aku hanya heran, kenapa kamu begitu membenci rasa cinta?
Kamu diam beberapa saat. Matamu yang sayu menekuri atap kotak. Awan-awan ungu semburat tidak beraturan di atas sana.
Sejak aku lahir, aku tidak pernah menelan rasa cinta dalam perutku. Ibuku membenci diriku. Dia bilang, aku seharusnya tidak lahir ke dunia, agar dia bisa menikah dengan orang kaya. Tapi aku lahir dan Ibu ditinggal pergi kekasihnya.
Kamu tidak punya seorang ayah?
Ayahku banyak. Ayahku berganti-ganti. Setiap malam, ayah-ayah itu menggonggong di perut ibuku. Jika ayah-ayah itu tidak datang, ibuku akan marah. Berteriak-teriak dan memaki-maki padaku. Aku bisa hidup karena setiap kali, aku menelan makian Ibu. Dan itu sangat mengenyangkanku.
Aku tidak tahu harus berkata apa.
Tidak perlu berkata apa-apa. Sebentar lagi aku akan mati. Aku tidak akan mampu mengingat setiap huruf yang akan keluar dari bibirmu.
Saya diam sejenak, hampir menangis. Sesungguhnya, ujar saya kemudian, dengan terbata-bata, kamu sedang butuh dicintai, tapi kamu menyangkal itu. Air mata itu leleh. Deras dan deras. Kamu mendekat ke arah saya, menyeka pipi saya.
Jangan menangis.
Bagaimana aku tidak akan menangis?
Menangis hanya akan membuatmu lemah, ucapmu. Memeluk saya. Erat dan hangat. Dada saya berdentum-dentum tak keruan. Bagiamana saya tidak akan menangis, sementara kenangan-kenangan akan dirimu, dan rasa cinta itu, masih berdiri kokoh di telapak tangan saya?
Hanya perpisahan semacam ini yang bisa aku berikan padamu. Maaf, aku belum sempat membaca dirimu seluruhnya.
Suaramu mulai melemah. Semakin lemah dan lemah. Napasmu juga. Kamu terdengar jauh. Sangat jauh. Padahal kita tengah berada dalam satu pelukan, dalam satu kotak yang langit-langitnya dikelilingi awan-awan ungu.
Seandainya saja kita bertemu jauh lebih lama ... Mungkin, aku bisa belajar mencintaimu, bisikmu.
Kemudian bisu.
Saya menggigil. Dan di ujung sana, bau hujan mulai tercium. []
Sidoarjo, 2017
hikayat itu kisah nyata ya?
BalasHapusBukan. Hikayat ikut dalam rana fiksi.
HapusKeren Mbak! Tapi belum bisa menebak siapa 'saya' dan 'kamu' dalam hikayat ini..,,😁😁
BalasHapusHaha. Sudah jelas, si kamu seorang penyair, si saya perempuan yg mencintai penyair. ^^ makasi sudah mampir ya say...
HapusKotak itu, tempat pertemuan, semacam komunitas kurasa. Perkumpulan aksara yang mempertemukan sang penyair dan si saya. Hehehe, sotoy kan saya.
BalasHapusMbak Ajeng, ini termasuk cerpen eksperimental ya? Dialog-dialognya tak ada tanda petik seperti biasanya.
BalasHapusMbak Ajeng, ini termasuk cerpen eksperimental ya? Dialog-dialognya tak ada tanda petik seperti biasanya.
BalasHapusKotak itu, tempat pertemuan, semacam komunitas kurasa. Perkumpulan aksara yang mempertemukan sang penyair dan si saya. Hehehe, sotoy kan saya.
BalasHapus