CERITA IBU
Hujan semakin lebat, kota kami
mati. Gelap.
“Mereka tinggal di sana.”
“Di mana, Bu?”
“Di sudut-sudut kota. Di
pohon-pohon rindang. Di atap rumah. Bahkan, di kolong tempat tidur kita ....”
Seram. Aku mengigil di samping
tubuh ibu, di atas pembaringan satu-satunya di rumah kami.
“Me-mengapa mereka di sana?”
“Mereka sedang menunggu, Nak.”
“Menunggu ... Menunggu apa?”
“Menunggu waktu yang tepat.”
“Untuk apa, Bu?”
“Entahlah, Ibu juga tak tahu.
Tapi ....”
“Tapi?”
“Jangan suka berbohong. Mereka
paling benci manusia pembohong. Mereka akan menculikmu jika kau berbohong pada
Ibu, sama seperti bapakmu.”
Aku mengembus napas, lega. Aku
tak pernah berbohong, jadi takkan mungkin mereka mengambilku juga.
“Saat hujan dan kota mati seperti
ini, adalah saatnya mereka berkeliaran, Nak. Berhati-hatilah.”
Kuanggukkan kepala.
“Sekarang tidurlah, besok kita
akan pergi ke rumah nenekmu.”
Aku semakin membenamkan kepala ke
bantal. Mata ini berusaha terpejam, namun kantuk itu belum datang juga. Sepi,
hujan di luar sepertinya sudah hampir reda. Hening. Tiba-tiba kamar ini serasa
kosong. Kuangkat kepala.
“Bu ...?”
Tak ada suara.
“Bu ...?”
Kutelan ludah. Ibu telah hilang.
SUARA
Kau mendengarnya, suara rintihan.
Kau terus berusaha mencari, namun suara itu seolah tersembunyikan oleh ruang
waktu yang tak mampu kaujamah. Sesuatu yang bukan duniamu. Kau pun menyerah,
hendak melangkah pergi. Pagi hampir menetas, kau memutuskan untuk segera
mengakhiri segalanya.
“Jangan pergi, kumohon.”
Suara itu terdengar kembali.
“Jangan pergi ....”
Kini kau berhenti. Langkahmu diam
di tanah basah yang baru saja terguyur hujan. Pohon-pohon pinus yang menjulang
tinggi menatapmu tajam, kau merasa mulai asing di duniamu sendiri.
“Jangan pergi. Kembalilah ke
tempatmu, kumohon.”
Lagi-lagi suara itu merintih.
“Si-siapa kamu?”
Kau mulai panik. Tanganmu
bergemetaran. Hutan yang bersuara, tak mungkin itu ada. Kau merasa ini hanya
khayalanmu saja. Kau kembali melangkah, dan suara itu terus mengikuti di
belakangmu. Kau mulai kesal. Teramat kesal.
“Pergi! Jangan ganggu aku. Aku
harus segera menemukan Adelea!”
Iya ... Adelea, kekasihmu yang
telah diculik itu ada di ujung hutan ini. Disekap dan mungkin saja dianiaya
oleh mereka, para lelaki yang memintamu mengirim sekoper uang. Kau pun
bergegas. Suara itu menghilang.
Tempat pertemuan yang ditentukan
sudah ada di depan matamu. Sebuah rumah kayu dengan cerobong asap yang
mengepul. Hatimu ragu, kau mencoba untuk mendekati jendela terlebih dahulu. Mengintip.
“Kau akan menyesal,” ujar suara
itu lagi, ia kembali dengan sosok yang bersayap. Dan ia benar, kau akhirnya
menyesal. Marah. Dadamu bergemuruh. Hatimu yang penuh cinta itu terluka. Kini,
di matamu yang meleleh itu, kau melihat tubuhmu yang berlumuran darah terkapar
di lantai, sementara kekasihmu dan dua lelaki sedang asyik menghitung uang.
-A.M.260115-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar