Kamis, 29 Januari 2015

CERITA IBU DAN SUARA



CERITA IBU

Hujan semakin lebat, kota kami mati. Gelap.

“Mereka tinggal di sana.”

“Di mana, Bu?”

“Di sudut-sudut kota. Di pohon-pohon rindang. Di atap rumah. Bahkan, di kolong tempat tidur kita ....”

Seram. Aku mengigil di samping tubuh ibu, di atas pembaringan satu-satunya di rumah kami.

“Me-mengapa mereka di sana?”

“Mereka sedang menunggu, Nak.”

“Menunggu ... Menunggu apa?”

“Menunggu waktu yang tepat.”

“Untuk apa, Bu?”

“Entahlah, Ibu juga tak tahu. Tapi ....”

“Tapi?”

“Jangan suka berbohong. Mereka paling benci manusia pembohong. Mereka akan menculikmu jika kau berbohong pada Ibu, sama seperti bapakmu.”

Aku mengembus napas, lega. Aku tak pernah berbohong, jadi takkan mungkin mereka mengambilku juga.

“Saat hujan dan kota mati seperti ini, adalah saatnya mereka berkeliaran, Nak. Berhati-hatilah.”

Kuanggukkan kepala.

“Sekarang tidurlah, besok kita akan pergi ke rumah nenekmu.”

Aku semakin membenamkan kepala ke bantal. Mata ini berusaha terpejam, namun kantuk itu belum datang juga. Sepi, hujan di luar sepertinya sudah hampir reda. Hening. Tiba-tiba kamar ini serasa kosong. Kuangkat kepala.

“Bu ...?”

Tak ada suara.

“Bu ...?”

Kutelan ludah. Ibu telah hilang.



SUARA

Kau mendengarnya, suara rintihan. Kau terus berusaha mencari, namun suara itu seolah tersembunyikan oleh ruang waktu yang tak mampu kaujamah. Sesuatu yang bukan duniamu. Kau pun menyerah, hendak melangkah pergi. Pagi hampir menetas, kau memutuskan untuk segera mengakhiri segalanya.

“Jangan pergi, kumohon.”

Suara itu terdengar kembali.

“Jangan pergi ....”

Kini kau berhenti. Langkahmu diam di tanah basah yang baru saja terguyur hujan. Pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi menatapmu tajam, kau merasa mulai asing di duniamu sendiri.

“Jangan pergi. Kembalilah ke tempatmu, kumohon.”

Lagi-lagi suara itu merintih.

“Si-siapa kamu?”

Kau mulai panik. Tanganmu bergemetaran. Hutan yang bersuara, tak mungkin itu ada. Kau merasa ini hanya khayalanmu saja. Kau kembali melangkah, dan suara itu terus mengikuti di belakangmu. Kau mulai kesal. Teramat kesal.

“Pergi! Jangan ganggu aku. Aku harus segera menemukan Adelea!”

Iya ... Adelea, kekasihmu yang telah diculik itu ada di ujung hutan ini. Disekap dan mungkin saja dianiaya oleh mereka, para lelaki yang memintamu mengirim sekoper uang. Kau pun bergegas. Suara itu menghilang.

Tempat pertemuan yang ditentukan sudah ada di depan matamu. Sebuah rumah kayu dengan cerobong asap yang mengepul. Hatimu ragu, kau mencoba untuk mendekati jendela terlebih dahulu. Mengintip.

“Kau akan menyesal,” ujar suara itu lagi, ia kembali dengan sosok yang bersayap. Dan ia benar, kau akhirnya menyesal. Marah. Dadamu bergemuruh. Hatimu yang penuh cinta itu terluka. Kini, di matamu yang meleleh itu, kau melihat tubuhmu yang berlumuran darah terkapar di lantai, sementara kekasihmu dan dua lelaki sedang asyik menghitung uang.



 -A.M.260115-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar