Pada kelas online LRF yang dibimbing oleh penulis Pringadi Abdi Surya, kami diberi tugas untuk membaca sebuah e-book kumpulan cerpen. Jujur, saya belum
membaca seluruh cerpen yang ada di dalam e-book Kumpulan Cerpen Koran Tempo
Minggu 2014 itu. Saya hanya memilah, satu persatu. Jika di awal pembuka saya
tertarik dan merasa nyaman membaca, maka akan saya teruskan hingga ke ending.
Dari beberapa
cerpen yang akhirnya ‘mampu’ terbaca oleh mata saya, Mawar Hitam karya Candra
Malik adalah yang paling memikat. Bahasa yang disuguhkan penulis terasa beda
dari yang lain. Kata-kata yang ia rangkum sangat segar tanpa harus meninggalkan
keindahannya. Selain itu, daya pikat cerpen ini juga ada pada kejutan-kejutan
kecil di beberapa narasi dan dialognya, yang membuat saya merasa betah membaca
hingga ending. Saya bilang ini keren!
Selain Mawar
Hitam, cerpen bertajuk Natasha pun memikat saya. Bahasanya sederhana, mengalir,
dan twist ending yang ‘konyol’ membuat saya menyungging senyum setelah selesai
membaca. Mengapa saya bilang ‘konyol’? Karena karakter Ayah Justino yang sok
suci itu ternyata adalah seorang pecundang! Itulah mengapa saya tersenyum,
karena banyak tipe manusia macam itu ada di sekitar kita. Benar-benar ada!
Cerpen Kacamata
pun tak kalah menariknya dengan dua cerpen di atas bagi saya. Idenya unik.
Model cerpen seperti inilah yang saya suka. Menampilkan sisi pandang lain dari
sebuah obyek lalu mengangkatnya menjadi sebuah cerita yang memikat. Seperti
cerpen Seseorang dengan Agenda di Tubuh (Pringadi Abdi Surya) dan Huruf
Terakhir (Benny Arnas), cerpen-cerpen macam ini selalu bisa membekas di hati
saya.
Saya akan merasa
jenuh dan sakit mata ketika membaca cerpen yang berbahasa ‘njlimet’,
menceritakan hal-hal yang tak mampu saya pahami, membosankan atau menggunakan
bahasa tingkat tinggi. Contohnya seperti cerpen Kejadian-kejadian Pada Layar karya
Ardy Kresna Crenata, Partikel-partikel Tuhan karya Leopold A. Surya Indrawan,
dan Neraka Kembar Rajab karya Triyanto Triwikromo. Mungkin sebagian orang
menganggap cerpen-cerpen tersebut menakjubkan dengan ide dan pesan yang
diselipkan, namun tidak bagi saya.
Apa yang bisa
saya garisbawahi sebagai bahan pembelajaran setelah membaca cerpen-cerpen
tersebut?
Satu hal, dan ini
sangat penting untuk catatan saya sebagai penulis pemula, bahwa pembaca lebih
menyukai suguhan cerita yang bisa mereka pahami. Pembaca tidak butuh
bahasa-bahasa yang tinggi dalam sebuah bacaan (kecuali jika pembaca itu memang
berasal dari kalangan kalangan tertentu dan latar belakang berbeda dengan saya
yang biasa-biasa saja ini). Pembaca menginginkan dirinya bisa masuk ke dalam cerita,
menghayati dan mencerna apa ynag disampaikan. Kenikmatan pembaca adalah yang
utama, maka ketika cerpen itu tidak bisa dipahami, mereka cenderung
meninggalkannya.
Hal ini selaras
dengan makna, apakah tujuan kita menulis? Menyampaikan sebuah cerita, bukan?
Nah, bagaimana jika cerita yang kita sampaikan itu tidak tersampaikan dengan
baik pada pembaca kita
Tiga kata, kita
telah gagal.
Sidoarjo, 220114
Ajeng Maharani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar