Kamis, 29 Januari 2015

ANTARA NATASHA, MAWAR HITAM DAN KACAMATA





Pada kelas online LRF yang dibimbing oleh penulis Pringadi Abdi Surya, kami diberi tugas untuk membaca sebuah e-book kumpulan cerpen. Jujur, saya belum membaca seluruh cerpen yang ada di dalam e-book Kumpulan Cerpen Koran Tempo Minggu 2014 itu. Saya hanya memilah, satu persatu. Jika di awal pembuka saya tertarik dan merasa nyaman membaca, maka akan saya teruskan hingga ke ending.

Dari beberapa cerpen yang akhirnya ‘mampu’ terbaca oleh mata saya, Mawar Hitam karya Candra Malik adalah yang paling memikat. Bahasa yang disuguhkan penulis terasa beda dari yang lain. Kata-kata yang ia rangkum sangat segar tanpa harus meninggalkan keindahannya. Selain itu, daya pikat cerpen ini juga ada pada kejutan-kejutan kecil di beberapa narasi dan dialognya, yang membuat saya merasa betah membaca hingga ending. Saya bilang ini keren!

Selain Mawar Hitam, cerpen bertajuk Natasha pun memikat saya. Bahasanya sederhana, mengalir, dan twist ending yang ‘konyol’ membuat saya menyungging senyum setelah selesai membaca. Mengapa saya bilang ‘konyol’? Karena karakter Ayah Justino yang sok suci itu ternyata adalah seorang pecundang! Itulah mengapa saya tersenyum, karena banyak tipe manusia macam itu ada di sekitar kita. Benar-benar ada!

Cerpen Kacamata pun tak kalah menariknya dengan dua cerpen di atas bagi saya. Idenya unik. Model cerpen seperti inilah yang saya suka. Menampilkan sisi pandang lain dari sebuah obyek lalu mengangkatnya menjadi sebuah cerita yang memikat. Seperti cerpen Seseorang dengan Agenda di Tubuh (Pringadi Abdi Surya) dan Huruf Terakhir (Benny Arnas), cerpen-cerpen macam ini selalu bisa membekas di hati saya.

Saya akan merasa jenuh dan sakit mata ketika membaca cerpen yang berbahasa ‘njlimet’, menceritakan hal-hal yang tak mampu saya pahami, membosankan atau menggunakan bahasa tingkat tinggi. Contohnya seperti cerpen Kejadian-kejadian Pada Layar karya Ardy Kresna Crenata, Partikel-partikel Tuhan karya Leopold A. Surya Indrawan, dan Neraka Kembar Rajab karya Triyanto Triwikromo. Mungkin sebagian orang menganggap cerpen-cerpen tersebut menakjubkan dengan ide dan pesan yang diselipkan, namun tidak bagi saya.

Apa yang bisa saya garisbawahi sebagai bahan pembelajaran setelah membaca cerpen-cerpen tersebut?

Satu hal, dan ini sangat penting untuk catatan saya sebagai penulis pemula, bahwa pembaca lebih menyukai suguhan cerita yang bisa mereka pahami. Pembaca tidak butuh bahasa-bahasa yang tinggi dalam sebuah bacaan (kecuali jika pembaca itu memang berasal dari kalangan kalangan tertentu dan latar belakang berbeda dengan saya yang biasa-biasa saja ini). Pembaca menginginkan dirinya bisa masuk ke dalam cerita, menghayati dan mencerna apa ynag disampaikan. Kenikmatan pembaca adalah yang utama, maka ketika cerpen itu tidak bisa dipahami, mereka cenderung meninggalkannya.

Hal ini selaras dengan makna, apakah tujuan kita menulis? Menyampaikan sebuah cerita, bukan? Nah, bagaimana jika cerita yang kita sampaikan itu tidak tersampaikan dengan baik pada pembaca kita

Tiga kata, kita telah gagal.

Sidoarjo, 220114
Ajeng Maharani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar