Jumat, 30 Januari 2015

Kami, Saya, dan Rumah yang Berjalan


 
Gambar diundu dari serupasmasa.files.wordpress.com


1.

BAPAK dan anak itu, kami mulai sering melihatnya akhir-akhir ini. Entah datang dari mana, tiba-tiba saja rumah mereka sudah menempati tanah kelahiran kami. Bahkan beberapa saudara kami mati tergilas oleh kesombongan mereka. Kami hanya bisa meratap, menangisi kepergian saudara-saudara kami. Kedengkian, amarah dan umpatan kami lontarkan pada mereka berdua. Namun telinga keduanya takkan mampu menjamah suara-suara pilu kami. Karena itulah, kami hanya bisa melihat bapak-anak itu sambil menggigil dalam persembunyian kami.

2.

MUNGKIN, sudah banyak kawan yang tertawa melihat keadaan saya saat ini. Hidup menjadi bagian dari sampah. Ke mana pun saya melangkah, pandangan mereka menusuk. Tatapan dingin yang meriakkan rona jijik. Bisik-bisik mereka yang mencemooh, selalu menghiasi sunyinya mimpi-mimpi saya yang beberapa hari ini mulai sedingin malam. Pedih. Seperti inikah balasan mereka pada saya? Padahal dulu mereka mengiba-iba dan mengelu-elu. Mencari muka dan menjilati tangan-kaki saya. Sekarang, saat segalanya hilang, mereka melupakan saya.

Apakah seperti itu, semua manusia di dunia ini?

3.

HARI ketika mereka berdua datang ke tanah ini, teriakan tentang gempa menggagahi malam yang lindap, saat di mana kami semua tengah keluar rumah mencari makan. Roda-roda hitamnya menggetarkan tanah, lalu melindas satu-persatu saudara yang terlambat melata untuk menghindar. Kemudian, tanpa rasa dosa sedikit pun mereka meletakkan rumah beroda itu di atas jasad-jasad saudara kami.

“Kita akan menetap di sini,” ujar bapak itu pada anaknya dengan tersenyum. Iya, dengan tersenyum! Itulah yang membuat kami geram. Di mana-mana semua sama. Manusia tidak memiliki hati.

4.

SAYA sekarang sadar dan paham. Melihat perlakuan mereka, seolah melihat diri saya di depan sebuah cermin. Dulu saya pun demikian. Hidup tanpa hati. Bisa jadi mereka yang pernah saya hina dan pandang dengan mata jijik, mendoakan keburukan untuk saya. Dan mungkin, inilah karma untuk saya.

Suatu hari saya pernah mengusir wanita tua dari rumah peninggalan suaminya yang berhutang banyak pada saya. Wanita tua itu menangis-nangis memohon pengampunan. Mempertanyakan di mana letak hati saya. Namun dengan keangkuhan yang gagah, saya masih saja tetap mengusirnya.

Juga pernah saya membabat habis tanah milik lelaki saingan saya. Dengan sedikit uang pelicin, saya bayar semua preman hukum untuk mengesahkan tanah itu sebagai tanah milik saya. Dan ketika lelaki itu marah dengan menunjuk-nunjuk wajah tertawa saya, dia berteriak, “Dasar manusia dekil! Dasar manusia batu!”

Saya belum paham benar apa arti kata yang dia lontarkan siang itu.

5.

SEANDAINYA kami bukan makhluk lemah dan lamban seperti ini, ketika keduanya datang dan memporak-porandakan tanah kami, pasti taring dan kuku-kuku tajam sudah mencabik mereka malam itu. Kami ingin mereka belajar dari kesalahan rasnya yang sudah-sudah. Telah banyak kaum kami yang terusir dari habitat yang disediakan Tuhan. Tanpa welas asih mereka menguasai tanah, rerumputan, pohon-pohon nan rindang, dan bahkan nyawa kami.

Jika sudah seperti itu, apakah masih pantas manusia dikatakan memiliki nurani?

6.

SEKARANG saya telah jatuh, dan hanya anak inilah satu-satunya harta saya. Anak yang telah saya rampas haknya untuk menikmati dunia. Kini, ia sudah takkan bisa mendapatkan kebahagiaannya. Sudah tak lagi tertawa sesering dulu ia perlihatkan pada saya. Ini dosa saya, membuatnya hidup menggelandang bersama saya. Berjalan dari satu tempat ke tempat lain untuk menemukan sedikit kejayaan.

Satu hal yang saya kenang sepanjang hidup saya kelak, ketika pertama kalinya ia menatap keterpurukan saya, ia hanya memeluk tanpa berkata apa-apa. Itulah pertama kalinya saya bisa meneteskan air mata. Namun saya bahagia.

Tuhan telah memberi saya secuil hati untuk bisa saya nikmati bersamanya.



-A.M.100115-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar