Gambar diundu dari serupasmasa.files.wordpress.com
1.
BAPAK dan anak itu, kami mulai sering melihatnya
akhir-akhir ini. Entah datang dari mana, tiba-tiba saja rumah mereka sudah
menempati tanah kelahiran kami. Bahkan beberapa saudara kami mati tergilas oleh
kesombongan mereka. Kami hanya bisa meratap, menangisi kepergian
saudara-saudara kami. Kedengkian, amarah dan umpatan kami lontarkan pada mereka
berdua. Namun telinga keduanya takkan mampu menjamah suara-suara pilu kami. Karena
itulah, kami hanya bisa melihat bapak-anak itu sambil menggigil dalam
persembunyian kami.
2.
MUNGKIN, sudah banyak kawan yang tertawa melihat keadaan
saya saat ini. Hidup menjadi bagian dari sampah. Ke mana pun saya melangkah,
pandangan mereka menusuk. Tatapan dingin yang meriakkan rona jijik. Bisik-bisik
mereka yang mencemooh, selalu menghiasi sunyinya mimpi-mimpi saya yang beberapa
hari ini mulai sedingin malam. Pedih. Seperti inikah balasan mereka pada saya? Padahal
dulu mereka mengiba-iba dan mengelu-elu. Mencari muka dan menjilati tangan-kaki
saya. Sekarang, saat segalanya hilang, mereka melupakan saya.
Apakah seperti itu, semua manusia di dunia ini?
3.
HARI ketika mereka berdua datang ke tanah ini, teriakan
tentang gempa menggagahi malam yang lindap, saat di mana kami semua tengah
keluar rumah mencari makan. Roda-roda hitamnya menggetarkan tanah, lalu
melindas satu-persatu saudara yang terlambat melata untuk menghindar. Kemudian,
tanpa rasa dosa sedikit pun mereka meletakkan rumah beroda itu di atas
jasad-jasad saudara kami.
“Kita akan menetap di sini,” ujar bapak itu pada
anaknya dengan tersenyum. Iya, dengan tersenyum! Itulah yang membuat kami
geram. Di mana-mana semua sama. Manusia tidak memiliki hati.
4.
SAYA sekarang sadar dan paham. Melihat perlakuan
mereka, seolah melihat diri saya di depan sebuah cermin. Dulu saya pun
demikian. Hidup tanpa hati. Bisa jadi mereka yang pernah saya hina dan pandang
dengan mata jijik, mendoakan keburukan untuk saya. Dan mungkin, inilah karma
untuk saya.
Suatu hari saya pernah mengusir wanita tua dari
rumah peninggalan suaminya yang berhutang banyak pada saya. Wanita tua itu
menangis-nangis memohon pengampunan. Mempertanyakan di mana letak hati saya.
Namun dengan keangkuhan yang gagah, saya masih saja tetap mengusirnya.
Juga pernah saya membabat habis tanah milik lelaki
saingan saya. Dengan sedikit uang pelicin, saya bayar semua preman hukum untuk
mengesahkan tanah itu sebagai tanah milik saya. Dan ketika lelaki itu marah
dengan menunjuk-nunjuk wajah tertawa saya, dia berteriak, “Dasar manusia dekil!
Dasar manusia batu!”
Saya belum paham benar apa arti kata yang dia
lontarkan siang itu.
5.
SEANDAINYA kami bukan makhluk lemah dan lamban seperti ini,
ketika keduanya datang dan memporak-porandakan tanah kami, pasti taring dan
kuku-kuku tajam sudah mencabik mereka malam itu. Kami ingin mereka belajar dari
kesalahan rasnya yang sudah-sudah. Telah banyak kaum kami yang terusir dari habitat
yang disediakan Tuhan. Tanpa welas asih mereka menguasai tanah, rerumputan,
pohon-pohon nan rindang, dan bahkan nyawa kami.
Jika sudah seperti itu, apakah masih pantas
manusia dikatakan memiliki nurani?
6.
SEKARANG saya telah jatuh, dan hanya anak inilah satu-satunya
harta saya. Anak yang telah saya rampas haknya untuk menikmati dunia. Kini, ia
sudah takkan bisa mendapatkan kebahagiaannya. Sudah tak lagi tertawa sesering
dulu ia perlihatkan pada saya. Ini dosa saya, membuatnya hidup menggelandang
bersama saya. Berjalan dari satu tempat ke tempat lain untuk menemukan sedikit
kejayaan.
Satu hal yang saya kenang sepanjang hidup saya
kelak, ketika pertama kalinya ia menatap keterpurukan saya, ia hanya memeluk
tanpa berkata apa-apa. Itulah pertama kalinya saya bisa meneteskan air mata.
Namun saya bahagia.
Tuhan telah memberi saya secuil hati untuk bisa
saya nikmati bersamanya.
-A.M.100115-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar