Sabtu, 31 Januari 2015

MIRAT




Pertama kali kau menceritakan kemarahanmu, aku sudah jatuh hati. Kau laksana segumpal daging yang terkecai, hancur menjadi puing karena kesakitan. Bau lenguhmu meruak, harum memikat. Menggairahkan! Kau yang berjalan hilir mudik dengan napas meledak-ledak, memburu kebencian yang emngambang di kamar kita.

“Kau bisa bayangkan, kan, bagaimana marahnya aku!” teriakmu. Matamu yang berbinar tajam—seolah ingin memamah tubuhku, menatap dengan begitu angkuhnya. Lalu kau mengendapkan langkah, memiringkan kepala ke arah kiri, kemudian berbisik lembut dengan memicing mata, “Rasanya, aku ingin memakan dagingnya. Apa kau mau?”

Kau terkekeh. Kebengisan yang menggema. Telingaku tersayat. Tapi, aku merasa puas melihatmu demikian, Kirei.

Siang yang mencekam. Keringat dinginmu mengalir deras. Aku tetap bergeming pada tempat yang telah kau tentukan. Hingga sore, saat senja yang telah kau laknat itu berani menunjukkan wajahnya padamu, akhirnya rencana-rencana yang kau susun sudah bulat. Sempurna. Sebulat matamu yang membuntang kesetanan.

***

Teriakan malam menggagahi bulan terdengar begitu senyap ketika lelaki itu datang. Seperti biasa, kulihat kau menggandeng tangannya dan memasuki kamar kita. Pikat-pikat kemolekan kau tebar. Aku tahu itulah keahlianmu. Anugerah yang diberikan Tuhan padamu, Kirei, dan kau tahu bagaimana cara menggunakkannya. Sangat tahu. Terlebih pada lelakimu.

Apa kau lihat itu, Kirei? Tangan-tangan rembulan yang hampir kehilangan binarnya malam ini pelan-pelan menyelar ke arah gairahmu. Namun, kutahu kau tak peduli. Seperti katamu siang tadi, kau ingin menelan bulat-bulat daging lelaki itu.

Dalam dinding-dinding lembab ini aku menunggumu, Kirei. Berdiri menggantung. Hingga akhirnya mataku melumat tubuh lelakimu yang kelojotan. Napas yang terkapah-kapah dan mata yang terbeliak, nanap. Setelah itu, erangan kepedihannya membuncah, diiringi desah kenikmatan dari tenggorokanmu.

Hening menggigit. Tubuh yang terkapar. Dalam tawa kepuasan kau menatapnya penuh kebencian.

“Kau tahu, aku benci dikhianati!” desismu geram dengan seulas senyum jahat pada bayanganmu sendiri, yang memantul di tubuhku.

Ah, Kirei, ini lelaki ketiga yang kau tanam belulangnya di belakang rumah. Aku selalu menjadi saksi paling bungsu dari mereka. Lalu, sampai terakhir kembali kulihat, Malaikat Maut terbahak di balik tirai jendela.


-oOo-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar