Pertama kali kau menceritakan kemarahanmu, aku
sudah jatuh hati. Kau laksana segumpal daging yang terkecai, hancur menjadi
puing karena kesakitan. Bau lenguhmu meruak, harum memikat. Menggairahkan! Kau
yang berjalan hilir mudik dengan napas meledak-ledak, memburu kebencian yang
emngambang di kamar kita.
“Kau bisa bayangkan, kan, bagaimana marahnya aku!”
teriakmu. Matamu yang berbinar tajam—seolah ingin memamah tubuhku, menatap
dengan begitu angkuhnya. Lalu kau mengendapkan langkah, memiringkan kepala ke
arah kiri, kemudian berbisik lembut dengan memicing mata, “Rasanya, aku ingin
memakan dagingnya. Apa kau mau?”
Kau terkekeh. Kebengisan yang menggema. Telingaku
tersayat. Tapi, aku merasa puas melihatmu demikian, Kirei.
Siang yang mencekam. Keringat dinginmu mengalir
deras. Aku tetap bergeming pada tempat yang telah kau tentukan. Hingga sore,
saat senja yang telah kau laknat itu berani menunjukkan wajahnya padamu,
akhirnya rencana-rencana yang kau susun sudah bulat. Sempurna. Sebulat matamu
yang membuntang kesetanan.
***
Teriakan malam menggagahi bulan terdengar begitu senyap
ketika lelaki itu datang. Seperti biasa, kulihat kau menggandeng tangannya dan
memasuki kamar kita. Pikat-pikat kemolekan kau tebar. Aku tahu itulah
keahlianmu. Anugerah yang diberikan Tuhan padamu, Kirei, dan kau tahu bagaimana
cara menggunakkannya. Sangat tahu. Terlebih pada lelakimu.
Apa kau lihat itu, Kirei? Tangan-tangan rembulan
yang hampir kehilangan binarnya malam ini pelan-pelan menyelar ke arah
gairahmu. Namun, kutahu kau tak peduli. Seperti katamu siang tadi, kau ingin
menelan bulat-bulat daging lelaki itu.
Dalam dinding-dinding lembab ini aku menunggumu,
Kirei. Berdiri menggantung. Hingga akhirnya mataku melumat tubuh lelakimu yang
kelojotan. Napas yang terkapah-kapah dan mata yang terbeliak, nanap. Setelah
itu, erangan kepedihannya membuncah, diiringi desah kenikmatan dari
tenggorokanmu.
Hening menggigit. Tubuh yang terkapar. Dalam tawa
kepuasan kau menatapnya penuh kebencian.
“Kau tahu, aku benci dikhianati!” desismu geram
dengan seulas senyum jahat pada bayanganmu sendiri, yang memantul di tubuhku.
Ah, Kirei, ini lelaki ketiga yang kau tanam belulangnya
di belakang rumah. Aku selalu menjadi saksi paling bungsu dari mereka. Lalu,
sampai terakhir kembali kulihat, Malaikat Maut terbahak di balik tirai jendela.
-oOo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar