(1)
KETIKA mereka
dipisahkan, air mata anak lelaki itu meleleh deras. Sambil digendong oleh bapaknya,
dia terus menangis dengan mengangkat telunjuknya ke arah pepohonan merbau yang
tinggi menjulang. Bapaknya tetap berjalan dalam diam. Tak memedulikan jeritan
sang anak, yang terbang melindap, menerobosi dedaunan.
Kala itu, sebongkah musim
basah mengambang. Hujan mengguyur hutan pagi tadi. Dalam pandangan yang tak
nyata, sesosok gadis kecil menatap kepergian keduanya semakin menjauh.
Mengintip dengan kegelisahan, di balik dedaunan yang basah kuyup.
Waktu terus berjalan. Gadis
itu kini telah tumbuh menjadi remaja. Setiap hari berdiri di tengah belantara,
sambil melambungkan doa pada roh-roh nenek moyang, agar kelak dipertemukan kembali
dengan sahabatnya, Sahune.
***
Angin berseru-seru padanya di
antara tanah-tanah basah yang baru terguyur hujan semalam. Degup jantung gadis
berkulit cokelat kehitaman dengan rambut ikal nan kasar itu mengencang.
Denyutnya berlarian.
“Dia telah datang, Nua Ulu.
Dia telah datang!”
“Benarkah? Benarkah pemudaku
telah kembali dari kota?”
Desir angin mengangguk. Nua Ulu
mengembangkan senyum. Tanpa banyak bertanya lagi, gadis itu melesat.
Meninggalkan deru angin yang tengah tertawa ringkih, melihat rona merah di pipi
Nua Ulu.
-oOo-
Sahune ada di sana. Duduk di
tengah-tengah gerombolan orang-orang dusun yang sebagian masih telanjang dada.
“Kau telah kembali, Sahune.
Kau semakin gagah dengan baju kotamu,” gumam Nua Ulu. Matanya berkesip takjum. Memandang
sosok pemuda yang telah lama ia rindukan, kini sudah nampak di depan matanya.
“Benarkah itu dia, Nua Ulu?”
tanya seekor burung boano yang bertengger di reranting.
Nua Ulu mengangguk. Wajahnya
berseri-seri.
“Iya, itu Sahune. Dia telah
kembali.”
“Lalu, apa yang akan kau
lakukan sekarang? Kau tak ingin menemuinya?”
“Ti-tidak ... Tidak, Boano, aku
masih gemetaran. Aku malu.”
Gadis itu berjongkok.
Menyembunyikan tubuhnya di balik pohon. Denyut nadinya masih terus merenyut
kencang. Kenangan-kenangan bersama Sahune melintas di benaknya. Waktu itu
mereka masih kecil, empat tahun. Mereka sering berburu kelinci di hutan. Atau
memanah burung untuk santapan siang.
Setelah perpisahannya dengan
Sahune hari itu, Nua Ulu hanya menanti dengan menebar harapannya. Roh-roh
hutan, burung-burung boano, dan angin yang bertiup riang, sering ia ajak
bercerita tentang kisahnya bersama Sahune. Mereka suka menggoda Nua Ulu saat ia
tiba-tiba saja berwajah layu karena merindu. Atau ketika sedang menangis pilu di
sela-sela ketiak malam.
Lima belas tahun bukanlah
waktu yang sebentar. Tinggal di dalam hutan, menanti Sahune kembali untuk
menepati janjinya.
“Nua Ulu, kelak, saat kita
dewasa, aku akan menikah denganmu!” ujar Sahune suatu waktu.
“Percaya diri sekali kau. Apa
mas kawin yang akan kau berikan padaku, Sahune?”
“Lihatlah kelak. Aku akan
memenggal kepala manusia, untuk membuktikan kejantananku pada keluargamu!”
Sahune berkata sambil berkacak pinggang dan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi.
Sombong.
Nua Ulu tersenyum malu.
“Hei, sedang apa kau di sini?”
Gadis manis itu terperanjat.
Jantungnya hampir saja gugur. Tiba-tiba ia melihat Sahune sudah berdiri di
sampingnya.
“A-aku ...,” Nua Ulu tergagap.
Bibirnya digigit. Kelu.
“Tunggu sebentar. Siapa
namamu? Sepertinya, wajahmu tak asing bagiku.”
Ia menelan ludah. Matanya
berkesap-kesip. Debarannya makin mengencang. Apa benar Sahune mengingat
dirinya?
“Na-namaku ..., Nua Ulu.”
“Hmm ....” Sahune berusaha
keras menyibak ingatannya. “Rasanya aku sudah lupa dengan nama itu.”
Nua Ulu melenguh kekecewaan.
Keduanya sejenak terdiam.
Langit mulai menghitam.
Awan-awan mendung bertebaran. Tiupan angin basah mulai menjamah tubuh Sahune.
Gigil.
“Sebentar lagi hujan.
Pulanglah. Kau tinggal di mana?”
“Hutan.”
“Hutan?”
Nua Ulu mengangguk.
“Memangnya, ada pemukiman lagi
di dalam sana?”
Nua Ulu menggeleng. Sahune
mengernyitkan dahi.
“Oke. Baiklah. Kalau kau punya
waktu, datanglah kemari lagi besok. Aku membuka sekolah gratis di dusun ini.
Ajak juga anak-anak dari dusunmu, kita bisa belajar bersama di sini.”
Mata gadis itu berbinar. Ia
mengangguk dengan riang.
Rintik hujan mulai berjatuhan.
Sahune berlari pergi dari hadapan Nua Ulu. Gadis itu mengulum senyum.
Bisik-bisik burung boano yang sedari tadi mendengarkan percakapan mereka tak ia
hiraukan. Kemudian, dengan langkah riang nan ringan, gadis hitam itu pun berjalan
pulang.
(2)
Kegelapan menggantung. Sahune
bermandi peluh. Sebuah mimpi membuat tidurnya tak nyenyak.
“Sahune! Sahune! Aku di sini
... Temukan aku!”
Sahune terperanjat. Napasnya
terkapah-kapah. Keringatnya merembes dari liang-liang pori, membasahi kaosnya
yang berwarna biru gelap.
Paginya, Sahune berpamit
kepada Kepala Suku, untuk memasuki belantara. Ada sesuatu yang ingin dia temui
di dalamnya. Sang Kepala Suku mengernyitkan kedua alisnya, heran. Mencoba ingin
menebak apa yang ingin dicari oleh pemuda yang masih mengalirkan darah
sebangsanya itu.
Waktu Sahune kecil, bapaknya
sering bercerita tentang kehidupan kota. Bapaknya adalah anak ketua suku di
Dusun Bonara. Beliau tak pernah mau untuk meneruskan kedudukan bapaknya.
Cita-citanya hanya satu. Ingin pergi ke kota, mengumpulkan ilmu dari peradaban,
untuk dibawa pulang ke dusun.
Maka pergilah kedua orang tua
Sahune ke kota, dengan membawanya. Tahun-tahun yang berat. Bapaknya meninggal
di musim hujan ke sepuluh, ketika kota sudah menjadi rumah baru bagi Sahune.
Sebelum lelaki tersayang itu menutup mata, dia meninggalkan pesan teruntuk anak
lelaki satu-satunya.
“Sahune, lanjutkan harapan
Bapak. Saat kau lulus kelak, kembalilah ke tanah asal kita dilahirkan, bantu
kerabat kita agar tak jadi suku yang bodoh dan tertinggal.”
Di antara isakan tangisnya,
Sahune mengangguk.
Kini, ketika usianya sudah dua
puluh dua tahun, Sahune pun akhirnya pulang ke tanah kelahiran. Guna melanjutkan
apa yang pernah dicita-citakan oleh bapaknya. Itu pun berarti, sebuah takdir
yang telah dinantikan oleh Nua Ulu akhirnya tiba pula.
-oOo-
Matahari masih setengah
malu-malu ketika Sahune meninggalkan jejaknya pada tanah Dusun Bonara. Bukan
hal yang mudah bagi dirinya untuk kembali menelusuri hutan yang sudah tak
mengenalnya lagi.
Dulu, Sahune bisa mengerti
bahasa angin, dedaunan berisik yang suka memperbincangkan kebusukkan manusia
kota yang tega menelanjangi hutan, atau tangisan hujan yang mengabarkan
kematian dari surga. Dia juga mampu mencium aroma keringat dan ketakutan dari
binatang-binatang buruannya. Mengejar tanpa takut dengan cakar, paruh atau pun
erangan dari mereka. Namun saat ini, Sahune merasa berada di dunia yang tak dia
kenal. Asing dan gelap.
“Kau mencari siapa?”
Suara seorang gadis menepuk
pendengarannya dari arah belakang. Sahune berpaling. Dilihatnya gadis kemarin
senja. Pemuda itu sedikit terkejut.
“Ba-bagaimana bisa ..., ka-kau
ada ....”
“Hutan ini rumahku. Kau lupa?”
Sahune mengangguk.
“Jadi, kau sedang mencari
siapa?”
“Kau?”
“Aku? Mengapa?”
Pemuda itu agak ragu. Dia
canggung hendak bertanya tentang mimpinya semalam.
“Hmm, apa benar kita tak
pernah bertemu sebelumnya?”
Mata Nua Ulu memicing. Hanya
sebentar. Kemudian ia melenguh.
“Ah, sudahlah. Kau benar-benar
telah melupakan aku.”
Gadis itu membalikkan
badannya, hendak berlalu dari hadapan Sahune. Kekecewaan membuatnya pasrah.
“Kau dilupakan?” desis angin
berbisik di cuping Nua Ulu. Mata gadis itu mulai mengembun. Setitik air berayun-ayun.
“Tunggu!”
Sahune meraih lengan Nua Ulu.
Jantung pemuda itu tiba-tiba berdenyut lebih kencang. Hampir pecah.
Bayangan-bayangan berkelebat. Sosok gadis kecil yang berlarian di hadapannya.
Belantara yang semakin pekat. Teriakan yang memekik. Lalu gadis kecil itu raib!
Sekumpulan manusia berkulit
hitam dengan panah dan tombak yang terhunus menjajaki hutan yang menangis.
“Nua Ulu! Nua Ulu!”
Dia ikut berteriak. Isak yang
menyayat. Ketakutan, pun kerinduan yang teramat pada pemilik nama Nua Ulu. Kemudian
pekik itu pun terdengar lantang. Sekonyong-konyong dari rimbunan lalang,
muncullah sesosok pria menggendong jasad seorang gadis tanpa kepala, dengan dada
terbelah. Jantungnya sudah tak ada.
Sahune menangis. Nua Ulu
tersenyum getir namun lembut. Sosoknya perlahan mulai samar lalu menghilang
bersamaan sebuah bisikan lembut untuk Sahune, “Aku sangat merindukanmu, Sahune.
Terima kasih kau sudah mengingatku lagi ....”
-END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar