Kamis, 29 Januari 2015

PENANTIAN NUA ULU





(1)

KETIKA mereka dipisahkan, air mata anak lelaki itu meleleh deras. Sambil digendong oleh bapaknya, dia terus menangis dengan mengangkat telunjuknya ke arah pepohonan merbau yang tinggi menjulang. Bapaknya tetap berjalan dalam diam. Tak memedulikan jeritan sang anak, yang terbang melindap, menerobosi dedaunan.  
Kala itu, sebongkah musim basah mengambang. Hujan mengguyur hutan pagi tadi. Dalam pandangan yang tak nyata, sesosok gadis kecil menatap kepergian keduanya semakin menjauh. Mengintip dengan kegelisahan, di balik dedaunan yang basah kuyup.
Waktu terus berjalan. Gadis itu kini telah tumbuh menjadi remaja. Setiap hari berdiri di tengah belantara, sambil melambungkan doa pada roh-roh nenek moyang, agar kelak dipertemukan kembali dengan sahabatnya, Sahune.

***

Angin berseru-seru padanya di antara tanah-tanah basah yang baru terguyur hujan semalam. Degup jantung gadis berkulit cokelat kehitaman dengan rambut ikal nan kasar itu mengencang. Denyutnya berlarian.
“Dia telah datang, Nua Ulu. Dia telah datang!”
“Benarkah? Benarkah pemudaku telah kembali dari kota?”
Desir angin mengangguk. Nua Ulu mengembangkan senyum. Tanpa banyak bertanya lagi, gadis itu melesat. Meninggalkan deru angin yang tengah tertawa ringkih, melihat rona merah di pipi Nua Ulu.

-oOo-

Sahune ada di sana. Duduk di tengah-tengah gerombolan orang-orang dusun yang sebagian masih telanjang dada.
“Kau telah kembali, Sahune. Kau semakin gagah dengan baju kotamu,” gumam Nua Ulu. Matanya berkesip takjum. Memandang sosok pemuda yang telah lama ia rindukan, kini sudah nampak di depan matanya.
“Benarkah itu dia, Nua Ulu?” tanya seekor burung boano yang bertengger di reranting.
Nua Ulu mengangguk. Wajahnya berseri-seri.
“Iya, itu Sahune. Dia telah kembali.”
“Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang? Kau tak ingin menemuinya?”
“Ti-tidak ... Tidak, Boano, aku masih gemetaran. Aku malu.”
Gadis itu berjongkok. Menyembunyikan tubuhnya di balik pohon. Denyut nadinya masih terus merenyut kencang. Kenangan-kenangan bersama Sahune melintas di benaknya. Waktu itu mereka masih kecil, empat tahun. Mereka sering berburu kelinci di hutan. Atau memanah burung untuk santapan siang.
Setelah perpisahannya dengan Sahune hari itu, Nua Ulu hanya menanti dengan menebar harapannya. Roh-roh hutan, burung-burung boano, dan angin yang bertiup riang, sering ia ajak bercerita tentang kisahnya bersama Sahune. Mereka suka menggoda Nua Ulu saat ia tiba-tiba saja berwajah layu karena merindu. Atau ketika sedang menangis pilu di sela-sela ketiak malam.
Lima belas tahun bukanlah waktu yang sebentar. Tinggal di dalam hutan, menanti Sahune kembali untuk menepati janjinya.
“Nua Ulu, kelak, saat kita dewasa, aku akan menikah denganmu!” ujar Sahune suatu waktu.
“Percaya diri sekali kau. Apa mas kawin yang akan kau berikan padaku, Sahune?”
“Lihatlah kelak. Aku akan memenggal kepala manusia, untuk membuktikan kejantananku pada keluargamu!” Sahune berkata sambil berkacak pinggang dan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. Sombong.
Nua Ulu tersenyum malu.
“Hei, sedang apa kau di sini?”
Gadis manis itu terperanjat. Jantungnya hampir saja gugur. Tiba-tiba ia melihat Sahune sudah berdiri di sampingnya.

“A-aku ...,” Nua Ulu tergagap. Bibirnya digigit. Kelu.
“Tunggu sebentar. Siapa namamu? Sepertinya, wajahmu tak asing bagiku.”
Ia menelan ludah. Matanya berkesap-kesip. Debarannya makin mengencang. Apa benar Sahune mengingat dirinya?
“Na-namaku ..., Nua Ulu.”
“Hmm ....” Sahune berusaha keras menyibak ingatannya. “Rasanya aku sudah lupa dengan nama itu.”
Nua Ulu melenguh kekecewaan. Keduanya sejenak terdiam.
Langit mulai menghitam. Awan-awan mendung bertebaran. Tiupan angin basah mulai menjamah tubuh Sahune. Gigil.
“Sebentar lagi hujan. Pulanglah. Kau tinggal di mana?”
“Hutan.”
“Hutan?”
Nua Ulu mengangguk.
“Memangnya, ada pemukiman lagi di dalam sana?”
Nua Ulu menggeleng. Sahune mengernyitkan dahi.
“Oke. Baiklah. Kalau kau punya waktu, datanglah kemari lagi besok. Aku membuka sekolah gratis di dusun ini. Ajak juga anak-anak dari dusunmu, kita bisa belajar bersama di sini.”
Mata gadis itu berbinar. Ia mengangguk dengan riang.
Rintik hujan mulai berjatuhan. Sahune berlari pergi dari hadapan Nua Ulu. Gadis itu mengulum senyum. Bisik-bisik burung boano yang sedari tadi mendengarkan percakapan mereka tak ia hiraukan. Kemudian, dengan langkah riang nan ringan, gadis hitam itu pun berjalan pulang.




(2)

Kegelapan menggantung. Sahune bermandi peluh. Sebuah mimpi membuat tidurnya tak nyenyak.
“Sahune! Sahune! Aku di sini ... Temukan aku!”
Sahune terperanjat. Napasnya terkapah-kapah. Keringatnya merembes dari liang-liang pori, membasahi kaosnya yang berwarna biru gelap.
Paginya, Sahune berpamit kepada Kepala Suku, untuk memasuki belantara. Ada sesuatu yang ingin dia temui di dalamnya. Sang Kepala Suku mengernyitkan kedua alisnya, heran. Mencoba ingin menebak apa yang ingin dicari oleh pemuda yang masih mengalirkan darah sebangsanya itu.
Waktu Sahune kecil, bapaknya sering bercerita tentang kehidupan kota. Bapaknya adalah anak ketua suku di Dusun Bonara. Beliau tak pernah mau untuk meneruskan kedudukan bapaknya. Cita-citanya hanya satu. Ingin pergi ke kota, mengumpulkan ilmu dari peradaban, untuk dibawa pulang ke dusun.
Maka pergilah kedua orang tua Sahune ke kota, dengan membawanya. Tahun-tahun yang berat. Bapaknya meninggal di musim hujan ke sepuluh, ketika kota sudah menjadi rumah baru bagi Sahune. Sebelum lelaki tersayang itu menutup mata, dia meninggalkan pesan teruntuk anak lelaki satu-satunya.
“Sahune, lanjutkan harapan Bapak. Saat kau lulus kelak, kembalilah ke tanah asal kita dilahirkan, bantu kerabat kita agar tak jadi suku yang bodoh dan tertinggal.”
Di antara isakan tangisnya, Sahune mengangguk.
Kini, ketika usianya sudah dua puluh dua tahun, Sahune pun akhirnya pulang ke tanah kelahiran. Guna melanjutkan apa yang pernah dicita-citakan oleh bapaknya. Itu pun berarti, sebuah takdir yang telah dinantikan oleh Nua Ulu akhirnya tiba pula.

-oOo-

Matahari masih setengah malu-malu ketika Sahune meninggalkan jejaknya pada tanah Dusun Bonara. Bukan hal yang mudah bagi dirinya untuk kembali menelusuri hutan yang sudah tak mengenalnya lagi.
Dulu, Sahune bisa mengerti bahasa angin, dedaunan berisik yang suka memperbincangkan kebusukkan manusia kota yang tega menelanjangi hutan, atau tangisan hujan yang mengabarkan kematian dari surga. Dia juga mampu mencium aroma keringat dan ketakutan dari binatang-binatang buruannya. Mengejar tanpa takut dengan cakar, paruh atau pun erangan dari mereka. Namun saat ini, Sahune merasa berada di dunia yang tak dia kenal. Asing dan gelap.
“Kau mencari siapa?”
Suara seorang gadis menepuk pendengarannya dari arah belakang. Sahune berpaling. Dilihatnya gadis kemarin senja. Pemuda itu sedikit terkejut.
“Ba-bagaimana bisa ..., ka-kau ada ....”
“Hutan ini rumahku. Kau lupa?”
Sahune mengangguk.
“Jadi, kau sedang mencari siapa?”
“Kau?”
“Aku? Mengapa?”
Pemuda itu agak ragu. Dia canggung hendak bertanya tentang mimpinya semalam.
“Hmm, apa benar kita tak pernah bertemu sebelumnya?”
Mata Nua Ulu memicing. Hanya sebentar. Kemudian ia melenguh.
“Ah, sudahlah. Kau benar-benar telah melupakan aku.”
Gadis itu membalikkan badannya, hendak berlalu dari hadapan Sahune. Kekecewaan membuatnya pasrah.
“Kau dilupakan?” desis angin berbisik di cuping Nua Ulu. Mata gadis itu mulai mengembun. Setitik air berayun-ayun.
“Tunggu!”
Sahune meraih lengan Nua Ulu. Jantung pemuda itu tiba-tiba berdenyut lebih kencang. Hampir pecah. Bayangan-bayangan berkelebat. Sosok gadis kecil yang berlarian di hadapannya. Belantara yang semakin pekat. Teriakan yang memekik. Lalu gadis kecil itu raib!
Sekumpulan manusia berkulit hitam dengan panah dan tombak yang terhunus menjajaki hutan yang menangis.
“Nua Ulu! Nua Ulu!”
Dia ikut berteriak. Isak yang menyayat. Ketakutan, pun kerinduan yang teramat pada pemilik nama Nua Ulu. Kemudian pekik itu pun terdengar lantang. Sekonyong-konyong dari rimbunan lalang, muncullah sesosok pria menggendong jasad seorang gadis tanpa kepala, dengan dada terbelah. Jantungnya sudah tak ada.
Sahune menangis. Nua Ulu tersenyum getir namun lembut. Sosoknya perlahan mulai samar lalu menghilang bersamaan sebuah bisikan lembut untuk Sahune, “Aku sangat merindukanmu, Sahune. Terima kasih kau sudah mengingatku lagi ....”



-END-



Tidak ada komentar:

Posting Komentar