Anak juragan Jurik, si Jamila, memang cantik. Dia
baik, mampu membaur pada siapa saja. Tidak terkecuali pada para pekerja di
perkebunan kopi milik bapaknya.
Jamila sering datang ke gazebo tua di perkebunan
kopi, sambil membawa jatah makan siang. Setiap kali dia tiba, para pekerja yang
penuh dengan peluh keringat itu, berlomba menghambur ke arahnya.
Sama seperti hari ini, semua sudah mengelilingi
Jamila. Ramai mengajaknya bercanda bersama. Namun, tidak semua pekerja seberani
mereka.
Seorang pemuda tujuhbelas tahun, Junet namanya,
duduk menjauh. Santai dia melahap makan siang yang dibungkus daun pisang. Damai
sekali. Namun di dalam hati terkecil Junet, sebenarnya dia ingin bisa seperti
kawan-kawan, bercanda dengan si Jamila. Tetapi tidak. Junet muda, hanya bisa
diam menjauh, sambil sesekali menatap pujaannya lamat-lamat diantara sela tubuh
kawannya.
***
“Junet.”
Suara seorang gadis membuyarkan lamunan Junet
seketika itu juga. Dia mendongak ke arah suara. Oh, Tuhan! Itu adalah Jamila,
gadis pujaannya.
“Junet kok ada di sini?”
Junet menjawab gagap, “I, iya. Ee, anu, ini memang
kegiatan rutinku di hari libur.”
“Ah, Junet ini jangan terlalu kaku sama Jamila.
Kita inikan seumuran. Anggap saja kita adalah teman baik.” Jamila tersenyum, manis
sekali. Membuat sebuah debaran kecil berani menyentuh jantung Junet.
Junet menelan ludah. Belum sempat dia menjawab
kalimat Jamila, gadis cantik nan molek itu sudah duduk di sampingnya. Dekat
sekali. Bahkan teramat dekat, hingga siku mereka saling bersentuhan.
“Sebenarnya tujuanku datang di tebing ini, adalah
itu.” Junet mengangkat telunjuknya. Menunjuk pada awan-awan keemasan yang
berpendar di ujung bumi. Indah. Itulah senja di tanah Dampit, senja di
perkebunan kopi.
“Iya, itu benar-benar indah sekali, Jun.”
Junet menuang air termos panas mengepul ke dalam
sebuah cangkir yang telah terisi kopi hitam dan gula. Meraih sebuah sendok teh,
lalu mengaduk kopinya perlahan. Jamila mengamati sendok itu menari-nari dalam
cangkir. Dihitungnya, tepat tigapuluh adukan kemudian berhenti.
“Maaf, aku tidak membawa cangkir lebih. Kukira
hari ini tidak akan ada tamu yang datang secara tiba-tiba. Jadi..”
“Ah, tidak apa-apa, Jun. Ini saja kita minum
berdua. Ohya, mengapa harus tigapuluh adukan? Apakah dengan begitu kenikmatan
kopi akan lebih terasa nikmat bagimu?”
“Tidak.”
“Lalu?”
Junet membenamkan hatinya sejenak pada hening. Tatapan
matanya mulai melindap. Keharuanpun semakin menyebar pada saraf-saraf otaknya.
Senja yang tinggal sepenggal, kini mulai
terperangkap di antara Junet dan Jamila. Menunggu sebuah jawab dari sebuah
tanya. Mengapa harus tigapuluh adukan?
“Bapakku dulu sering mengajakku kemari. Duduk di
padang ilalang, menyeduh kopi dengan tigapuluh adukan. Tidak kurang ataupun
lebih. Kamu tahu mengapa Bapakku mengajakku kemari, Mila?”
Jamila menggeleng, “tidak.”
Junet menghela nafas sepenggal.
“Ini tempat di mana Bapak dan kekasihnya berpisah
dahulu. Wanita itu pergi dalam luka. Meninggalkan perih di hati Bapak.”
“Lalu, mengapa mereka berpisah jika saling
mencintai?”
“Kekasih Bapak dinikahkan secara paksa dengan
lelaki pilihan orang tuanya. Maklum, Mila. Bapakku orang miskin, sedangkan
wanita itu anak orang kaya. Keberuntungan cinta tidak akan berpihak pada perbedaan
status sosial.”
“Karena itukah kau menghindariku selama ini, Jun?
Karena status sosial kita.”
Junet terkejut, bagaimana Jamila bisa tahu tentang
hal itu? Dia diam sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan cerita pilunya. “Mila,
pernikahan Bapakku sangat bahagia. Emakku itu istri yang sangat pengertian. Dia
tahu hati Bapak tidak sepenuhnya ada pada pernikahan mereka. Selama ini,
Emaklah yang menemani Bapak duduk di sini. Membiarkan suami tercintanya
mengenang sang kekasih dalam semak-semak senja. Aku tahu itu sangat menyakitkan
hati Emak, tetapi dia itu wanita yang sabar dan tangguh. Benar-benar tulus
mencintai apapun masa lalu suaminya.”
“Kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Mila, Emakku meninggal dalam pelukanku.
Memberikan dua pesan terakhir. Satu,
jangan pernah bermain cinta dengan anak gadis orang kaya, lalu kedua, temani
Bapak melewati kerinduannya di tebing ini.”
Jamila terhenyak. Ternyata itulah alasan Junet
menjauh darinya. Padahal sebenarnya, Jamila mengharapkan sapaan Junet setiap
hari. Pemuda itu membuatnya penasaran, membuatnya semakin merindu. Jamila sadar
telah jatuh hati.
Tentang kebiasaannya di tebing ini, tentang senja,
juga tentang kopi tigapuluh adukan, Jamila sebenarnya sudah tahu itu semua.
“Karena itu, Mila. Begitu Bapak meninggal, kini
kenangan itu akulah yang bertanggung jawab melanjutkannya. Kenangan tentang
kekasih yang sangat dicintai Bapak, tentang cinta Emak yang tak terbatas, juga
tentang penyesalan bahwa aku telah jatuh hati pada dirimu. Aku tak ingin
mengulang sebuah luka yang sama seperti Bapak dan Emak, Mila. Tidak.”
“Tapi, bukankah masih ada kemungkinan? Kita
bisa..”
“Sstt. Lihatlah senja itu, Mila. Dia sangat cantik
bukan?”
Jamila diam terpaksa. Junet tersenyum dengan binar
mata yang berkaca-kaca. Kemudian lambat laun, matahari yang telah uzur itupun,
tenggelam ditelan bumi Dampit. Menyisakan perih pada dua muda mudi di ujung
tebing padang ilalang.
-A.M.10.14-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar