Rabu, 28 Januari 2015

KOPI SENJA di BUMI DAMPIT





Anak juragan Jurik, si Jamila, memang cantik. Dia baik, mampu membaur pada siapa saja. Tidak terkecuali pada para pekerja di perkebunan kopi milik bapaknya.

Jamila sering datang ke gazebo tua di perkebunan kopi, sambil membawa jatah makan siang. Setiap kali dia tiba, para pekerja yang penuh dengan peluh keringat itu, berlomba menghambur ke arahnya.

Sama seperti hari ini, semua sudah mengelilingi Jamila. Ramai mengajaknya bercanda bersama. Namun, tidak semua pekerja seberani mereka.

Seorang pemuda tujuhbelas tahun, Junet namanya, duduk menjauh. Santai dia melahap makan siang yang dibungkus daun pisang. Damai sekali. Namun di dalam hati terkecil Junet, sebenarnya dia ingin bisa seperti kawan-kawan, bercanda dengan si Jamila. Tetapi tidak. Junet muda, hanya bisa diam menjauh, sambil sesekali menatap pujaannya lamat-lamat diantara sela tubuh kawannya.

***

“Junet.”

Suara seorang gadis membuyarkan lamunan Junet seketika itu juga. Dia mendongak ke arah suara. Oh, Tuhan! Itu adalah Jamila, gadis pujaannya.

“Junet kok ada di sini?”

Junet menjawab gagap, “I, iya. Ee, anu, ini memang kegiatan rutinku di hari libur.”

“Ah, Junet ini jangan terlalu kaku sama Jamila. Kita inikan seumuran. Anggap saja kita adalah teman baik.” Jamila tersenyum, manis sekali. Membuat sebuah debaran kecil berani menyentuh jantung Junet.

Junet menelan ludah. Belum sempat dia menjawab kalimat Jamila, gadis cantik nan molek itu sudah duduk di sampingnya. Dekat sekali. Bahkan teramat dekat, hingga siku mereka saling bersentuhan.

“Sebenarnya tujuanku datang di tebing ini, adalah itu.” Junet mengangkat telunjuknya. Menunjuk pada awan-awan keemasan yang berpendar di ujung bumi. Indah. Itulah senja di tanah Dampit, senja di perkebunan kopi.

“Iya, itu benar-benar indah sekali, Jun.”

Junet menuang air termos panas mengepul ke dalam sebuah cangkir yang telah terisi kopi hitam dan gula. Meraih sebuah sendok teh, lalu mengaduk kopinya perlahan. Jamila mengamati sendok itu menari-nari dalam cangkir. Dihitungnya, tepat tigapuluh adukan kemudian berhenti.

“Maaf, aku tidak membawa cangkir lebih. Kukira hari ini tidak akan ada tamu yang datang secara tiba-tiba. Jadi..”

“Ah, tidak apa-apa, Jun. Ini saja kita minum berdua. Ohya, mengapa harus tigapuluh adukan? Apakah dengan begitu kenikmatan kopi akan lebih terasa nikmat bagimu?”

“Tidak.”

“Lalu?”

Junet membenamkan hatinya sejenak pada hening. Tatapan matanya mulai melindap. Keharuanpun semakin menyebar pada saraf-saraf otaknya.

Senja yang tinggal sepenggal, kini mulai terperangkap di antara Junet dan Jamila. Menunggu sebuah jawab dari sebuah tanya. Mengapa harus tigapuluh adukan?

“Bapakku dulu sering mengajakku kemari. Duduk di padang ilalang, menyeduh kopi dengan tigapuluh adukan. Tidak kurang ataupun lebih. Kamu tahu mengapa Bapakku mengajakku kemari, Mila?”

Jamila menggeleng, “tidak.”

Junet menghela nafas sepenggal.

“Ini tempat di mana Bapak dan kekasihnya berpisah dahulu. Wanita itu pergi dalam luka. Meninggalkan perih di hati Bapak.”

“Lalu, mengapa mereka berpisah jika saling mencintai?”

“Kekasih Bapak dinikahkan secara paksa dengan lelaki pilihan orang tuanya. Maklum, Mila. Bapakku orang miskin, sedangkan wanita itu anak orang kaya. Keberuntungan cinta tidak akan berpihak pada perbedaan status sosial.”

“Karena itukah kau menghindariku selama ini, Jun? Karena status sosial kita.”

Junet terkejut, bagaimana Jamila bisa tahu tentang hal itu? Dia diam sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan cerita pilunya. “Mila, pernikahan Bapakku sangat bahagia. Emakku itu istri yang sangat pengertian. Dia tahu hati Bapak tidak sepenuhnya ada pada pernikahan mereka. Selama ini, Emaklah yang menemani Bapak duduk di sini. Membiarkan suami tercintanya mengenang sang kekasih dalam semak-semak senja. Aku tahu itu sangat menyakitkan hati Emak, tetapi dia itu wanita yang sabar dan tangguh. Benar-benar tulus mencintai apapun masa lalu suaminya.”

“Kau belum menjawab pertanyaanku.”

“Mila, Emakku meninggal dalam pelukanku. Memberikan dua pesan  terakhir. Satu, jangan pernah bermain cinta dengan anak gadis orang kaya, lalu kedua, temani Bapak melewati kerinduannya di tebing ini.”

Jamila terhenyak. Ternyata itulah alasan Junet menjauh darinya. Padahal sebenarnya, Jamila mengharapkan sapaan Junet setiap hari. Pemuda itu membuatnya penasaran, membuatnya semakin merindu. Jamila sadar telah jatuh hati.

Tentang kebiasaannya di tebing ini, tentang senja, juga tentang kopi tigapuluh adukan, Jamila sebenarnya sudah tahu itu semua.

“Karena itu, Mila. Begitu Bapak meninggal, kini kenangan itu akulah yang bertanggung jawab melanjutkannya. Kenangan tentang kekasih yang sangat dicintai Bapak, tentang cinta Emak yang tak terbatas, juga tentang penyesalan bahwa aku telah jatuh hati pada dirimu. Aku tak ingin mengulang sebuah luka yang sama seperti Bapak dan Emak, Mila. Tidak.”

“Tapi, bukankah masih ada kemungkinan? Kita bisa..”

“Sstt. Lihatlah senja itu, Mila. Dia sangat cantik bukan?”

Jamila diam terpaksa. Junet tersenyum dengan binar mata yang berkaca-kaca. Kemudian lambat laun, matahari yang telah uzur itupun, tenggelam ditelan bumi Dampit. Menyisakan perih pada dua muda mudi di ujung tebing padang ilalang.



 -A.M.10.14-






Tidak ada komentar:

Posting Komentar