Mata gadis yang telah menungguku itu mengerjab dua kali saat tangan ini terulur di hadapannya. Ia
memandangku dalam-dalam. Mungkin tengah ada puluhan pertanyaan di kepalanya
yang tertutup kerudung jingga sepanjang pergelangan tangannya itu.
“Maaf,” ujarnya sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada dan
menunduk. Ah, iya, aku lupa jika ajaran agamanya tidak memperbolehkan seorang
lelaki dan perempuan yang bukan muhrim saling bersentuhan.
Sebuah pertemuan yang biasa. Setelah itu, selama lima hari berturut-turut
ia selalu bersamaku, sebagai asisten dokter hewan di tempatku berkerja. Ia
sedang belajar di sini.
Tak ada banyak hal yang terlontar dari bibir mungilnya yang polos itu,
selain pertanyaan-pertanyaan seputar pekerjaan. Ia hanya tersenyum, mengedipkan
mata berkali-kali sambil melempar pandangannya jauh entah ke mana. Senyumnya
sangat indah. Senyum terhangat yang belum pernah kutemui sebelumnya.
Kini, pesonanya itu tiba-tiba bersepai saat kutemui dirinya berada di sebuah bar malam tempat tongkrongan
favoritku. Malam ini, ia begitu panas. Rambut
gelombang yang tergerai memanjang sebatas pinggang, baju ketat merah marun yang
hanya menutupi hingga sebatas paha,
lalu bibir polos
yang layaknya milik balita
itu kini tersapu warna merah menyala. Ia benar-benar tampak beda! Kemolekan
yang selalu ditutupinya dalam gamis panjang itu kini diumbar, bebas.
Ah, benarkah itu ia? Selama ini, ia terlihat sebagai seorang muslimah yang
taat. Tak pernah lalai menjalankan ibadahnya. Bahkan di waktu luang, kulihat ia
sering membaca sebuah buku kecil, yang mereka sebut itu Al-Qur’an. Ketika
kutanya mengapa ia masih saja sempat membaca kitab sucinya, ia menjawab dengan
mata yang berbinar-binar, “Aku merindukan-Nya, setiap menit!” Dan saat itu, aku menjadi kagum padanya.
Tapi malam ini ... Ah, entahlah.
Tanpa berani mendekat, aku hanya mengamatinya dari tempat dudukku. Ia masih
bergumul dengan lelakinya. Memeluk-meluk, mencium-cium. Tertawa lepas sambil
terus menegak minumannya. Ia benar-benar menjadi gadis yang berbeda, bagaikan
api dan air! Panas dan menyejukan ....
Keesokan harinya, wajah anggun itu kembali. Ia masih tetap sama, seperti
lima hari lalu yang penuh kedamaian. Bulir-bulir rona wajahnya begitu
bercahaya. Membuatku menjadi sangat penasaran, apakah yang tengah ia
sembunyikan di dalam hatinya itu? Benarkah ia seorang gadis muslim yang
mempesonakan mata, lalu berubah menjadi binal di kala malam? Entahlah.
Kuputuskan untuk berbicara dengannya jika aku mampu menemuinya kembali nanti malam. Iya ..., tak mungkin sekarang. Karena
saat ini, sosok alimnya itu seakan memiliki sebuah tembok kokoh yang takkan
bisa kupanjat.
***
“Zacky? Ka-kamu Zackyah, bukan?”
Seperti biasa, mata itu mengerjab. Namun kali ini sebuah kerlingan nakal
mengikuti. Ia tersenyum, lalu tertawa keras hingga sebulir air mata menyembul
di sudut penglihatannya. Aku tak mengerti kenapa, apakah mungkin ia tengah
menertawakan dirinya sendiri yang telah kepergok olehku?
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku sambil berteriak. Suara dentum
musik sangat menyabotase telinga kami berdua saat ini.
“Bersenang-senang!”
“Mana kekasihmu? Yang kemarin malam?” Kali ini kudekatkan bibir ke telinganya, agar ia bisa mendengar
lebih jelas. Ah, aroma parfumnya mendebarkan jantung.
“Lelaki?”
Ia tertawa, lagi.
“Tak ada lelaki. Hanya mereka yang mau menyewaku! Aku butuh uang, Kawan!”
Aku terdiam. Ia merengkuh bahuku, matanya melirik nakal.
“Apa kau mau?”
“Apa?”
“Bersamaku, malam ini?” ujarnya, berbisik lembut di cupingku.
Degam riuh yang menggema di sekeliling kami tiba-tiba raib. Entah apa yang
kurasakan saat ini. Senang ataukah sedih? Waktu begitu cepat merengkuh kami.
Tanpa tersadari, aku sudah larut dalam pelukannya.
***
Ia diam. Wajahnya biasa-biasa saja. Seolah tak pernah terjadi sesuatu
antara kami malam itu. Entahlah, aku hampir gila karenanya. Sosok malamnya yang
menggairahkan, lalu sosok alimnya yang anggun seperti sekarang. Yang manakah ia
sebenarnya?
Pagi tadi, ketika kami bersitatap, ia tersenyum lembut penuh arti. Apakah
itu kode? Atau apa? Ia tak berbicara sedikit pun. Seperti biasanya, hanya
seputar pekerjaan kami. Ah, Zacky, aku makin penasaran dengan dirimu.
***
“Ada apa?”
Zackyah merengkuh daguku, membuat mata ini bertemu dengan matanya yang
indah.
“Ada apa? Kok ngelamun?” tanyanya kembali.
Ah, apakah harus kutanyakan perihal dirinya kala pagi? Hmm, tidak ... lebih
baik jangan. Aku tak ingin ia nanti tersinggung lalu pergi. Aku terlanjur
nyaman dengannya tiap malam, seperti ini.
“Ng-nggak ada apa-apa, kok.”
“Keluar, yuk. Kita lanjut yang lainnya.”
Kuanggukan kepala. Malam ini, akan menjadi malam yang benar-benar panjang
untuk kami berdua. Iya, aku tak peduli lagi tentang siapa dirinya ....
***
Tengah malam, dari hotel kami langsung memutuskan pulang. Kuantarkan
Zackyah. Rumah itu tak terlalu besar. Halamannya luas, tak ada pagar yang
membatasi. Layaknya rumah-rumah pedesaan yang memanjang ke arah belakang. Di
halaman yang kami lalui, pepohonan mangga tumbuh subur di kedua sisi, lalu
beberapa melati dan anggrek ikut mewarnai pesona taman yang luas itu. Sejenak, tercium aroma harum
bunga yang tertiup angin.
Ia masih merangkulku erat. Tertawa dan bercanda. Suaranya yang nyaring
seakan membelah hening yang tengah pingsan malam ini. Sesampainya di depan tangga teras, kami saling memandang sejenak. Ia
tersenyum, cantik sekali. Sungguh, kebahagiaan yang luar biasa bisa bersamanya
malam ini.
Lalu tiba-tiba, sebuah suara memekik dari arah pintu masuk.
“Astaghfirullohal’adzim!”
Kulemparkan jala mata ke arah datangnya suara. Ia ada di sana, berdiri
dalam balutan gamis panjang bunga-bunga dan kerudung hijau polos yang menutupi
dada. Wajahnya masih sama, anggun dan bercahaya. Lebih cantik dari gadis yang
tengah kupeluk saat ini.
“Za-Zackyah?” ujarku penuh keterkejutan. Dan suara tawa kecil yang nakal,
terdengar dari gadis di sampingku.
-A.M.010115-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar