Kamis, 29 Januari 2015

ZACKYAH






Mata gadis yang telah menungguku itu mengerjab dua kali saat tangan ini terulur di hadapannya. Ia memandangku dalam-dalam. Mungkin tengah ada puluhan pertanyaan di kepalanya yang tertutup kerudung jingga sepanjang pergelangan tangannya itu.

“Maaf,” ujarnya sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada dan menunduk. Ah, iya, aku lupa jika ajaran agamanya tidak memperbolehkan seorang lelaki dan perempuan yang bukan muhrim saling bersentuhan.

Sebuah pertemuan yang biasa. Setelah itu, selama lima hari berturut-turut ia selalu bersamaku, sebagai asisten dokter hewan di tempatku berkerja. Ia sedang belajar di sini.

Tak ada banyak hal yang terlontar dari bibir mungilnya yang polos itu, selain pertanyaan-pertanyaan seputar pekerjaan. Ia hanya tersenyum, mengedipkan mata berkali-kali sambil melempar pandangannya jauh entah ke mana. Senyumnya sangat indah. Senyum terhangat yang belum pernah kutemui sebelumnya.

Kini, pesonanya itu tiba-tiba bersepai saat kutemui dirinya berada di sebuah bar malam tempat tongkrongan favoritku. Malam ini, ia begitu panas. Rambut gelombang yang tergerai memanjang sebatas pinggang, baju ketat merah marun yang hanya menutupi hingga sebatas paha, lalu bibir polos yang layaknya milik balita itu kini tersapu warna merah menyala. Ia benar-benar tampak beda! Kemolekan yang selalu ditutupinya dalam gamis panjang itu kini diumbar, bebas.

Ah, benarkah itu ia? Selama ini, ia terlihat sebagai seorang muslimah yang taat. Tak pernah lalai menjalankan ibadahnya. Bahkan di waktu luang, kulihat ia sering membaca sebuah buku kecil, yang mereka sebut itu Al-Qur’an. Ketika kutanya mengapa ia masih saja sempat membaca kitab sucinya, ia menjawab dengan mata yang berbinar-binar, “Aku merindukan-Nya, setiap menit!” Dan saat itu, aku menjadi kagum padanya.

Tapi malam ini ... Ah, entahlah.

Tanpa berani mendekat, aku hanya mengamatinya dari tempat dudukku. Ia masih bergumul dengan lelakinya. Memeluk-meluk, mencium-cium. Tertawa lepas sambil terus menegak minumannya. Ia benar-benar menjadi gadis yang berbeda, bagaikan api dan air! Panas dan menyejukan ....

Keesokan harinya, wajah anggun itu kembali. Ia masih tetap sama, seperti lima hari lalu yang penuh kedamaian. Bulir-bulir rona wajahnya begitu bercahaya. Membuatku menjadi sangat penasaran, apakah yang tengah ia sembunyikan di dalam hatinya itu? Benarkah ia seorang gadis muslim yang mempesonakan mata, lalu berubah menjadi binal di kala malam? Entahlah. Kuputuskan untuk berbicara dengannya jika aku mampu menemuinya kembali nanti malam. Iya ..., tak mungkin sekarang. Karena saat ini, sosok alimnya itu seakan memiliki sebuah tembok kokoh yang takkan bisa kupanjat.

***

“Zacky? Ka-kamu Zackyah, bukan?”

Seperti biasa, mata itu mengerjab. Namun kali ini sebuah kerlingan nakal mengikuti. Ia tersenyum, lalu tertawa keras hingga sebulir air mata menyembul di sudut penglihatannya. Aku tak mengerti kenapa, apakah mungkin ia tengah menertawakan dirinya sendiri yang telah kepergok olehku?

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku sambil berteriak. Suara dentum musik sangat menyabotase telinga kami berdua saat ini.

“Bersenang-senang!”

“Mana kekasihmu? Yang kemarin malam?” Kali ini kudekatkan bibir ke telinganya, agar ia bisa mendengar lebih jelas. Ah, aroma parfumnya mendebarkan jantung.

“Lelaki?”

Ia tertawa, lagi.

“Tak ada lelaki. Hanya mereka yang mau menyewaku! Aku butuh uang, Kawan!”

Aku terdiam. Ia merengkuh bahuku, matanya melirik nakal.

“Apa kau mau?”

“Apa?”

“Bersamaku, malam ini?” ujarnya, berbisik lembut di cupingku.

Degam riuh yang menggema di sekeliling kami tiba-tiba raib. Entah apa yang kurasakan saat ini. Senang ataukah sedih? Waktu begitu cepat merengkuh kami. Tanpa tersadari, aku sudah larut dalam pelukannya.

***

Ia diam. Wajahnya biasa-biasa saja. Seolah tak pernah terjadi sesuatu antara kami malam itu. Entahlah, aku hampir gila karenanya. Sosok malamnya yang menggairahkan, lalu sosok alimnya yang anggun seperti sekarang. Yang manakah ia sebenarnya?

Pagi tadi, ketika kami bersitatap, ia tersenyum lembut penuh arti. Apakah itu kode? Atau apa? Ia tak berbicara sedikit pun. Seperti biasanya, hanya seputar pekerjaan kami. Ah, Zacky, aku makin penasaran dengan dirimu.

***

“Ada apa?”

Zackyah merengkuh daguku, membuat mata ini bertemu dengan matanya yang indah.

“Ada apa? Kok ngelamun?” tanyanya kembali.

Ah, apakah harus kutanyakan perihal dirinya kala pagi? Hmm, tidak ... lebih baik jangan. Aku tak ingin ia nanti tersinggung lalu pergi. Aku terlanjur nyaman dengannya tiap malam, seperti ini.

“Ng-nggak ada apa-apa, kok.”

“Keluar, yuk. Kita lanjut yang lainnya.”

Kuanggukan kepala. Malam ini, akan menjadi malam yang benar-benar panjang untuk kami berdua. Iya, aku tak peduli lagi tentang siapa dirinya ....

***

Tengah malam, dari hotel kami langsung memutuskan pulang. Kuantarkan Zackyah. Rumah itu tak terlalu besar. Halamannya luas, tak ada pagar yang membatasi. Layaknya rumah-rumah pedesaan yang memanjang ke arah belakang. Di halaman yang kami lalui, pepohonan mangga tumbuh subur di kedua sisi, lalu beberapa melati dan anggrek ikut mewarnai pesona taman yang luas itu. Sejenak, tercium aroma harum bunga yang tertiup angin.

Ia masih merangkulku erat. Tertawa dan bercanda. Suaranya yang nyaring seakan membelah hening yang tengah pingsan malam ini. Sesampainya di depan tangga teras, kami saling memandang sejenak. Ia tersenyum, cantik sekali. Sungguh, kebahagiaan yang luar biasa bisa bersamanya malam ini.

Lalu tiba-tiba, sebuah suara memekik dari arah pintu masuk.

“Astaghfirullohal’adzim!”

Kulemparkan jala mata ke arah datangnya suara. Ia ada di sana, berdiri dalam balutan gamis panjang bunga-bunga dan kerudung hijau polos yang menutupi dada. Wajahnya masih sama, anggun dan bercahaya. Lebih cantik dari gadis yang tengah kupeluk saat ini.

“Za-Zackyah?” ujarku penuh keterkejutan. Dan suara tawa kecil yang nakal, terdengar dari gadis di sampingku.



-A.M.010115-

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar