Rabu, 28 Januari 2015

CINTA SANG GADIS PENARI




“Apa yang akan kau tarikan untuk kali ini, Rimbi?” 

Yoga mematri kedua bola penglihatannya ke arahku. Wajahnya sayu—laksana bulan pucat yang saat ini tengah mengintip kami di rerimbun malam.

Aku tak kuasa merengkuh kesakitannya. Bahkan jiwaku pun tengah tersayat belati pilu. Ketidakberdayaan ..., dan juga ketidakadilan ....

“Kau lihat bulan gendut yang tak sempurna itu, Ga?” Aku tengadah—menatap sang penguasa langit malam. Temaramnya kuning pucat. Tidak seceria hari-hari biasa. Entah, apa mungkin dia juga tengah berduka ... “Kau sadar tidak? Sepertinya bulan juga tengah bersedih untuk kita,” lanjutku.

“Apa yang akan kau tarikan malam ini, Rimbi?” Yoga mempertanyakan kembali perihal yang sama. Rautnya masih sayu. Tidak tampak secuil gairah pada matanya.

Seperti biasa, di pantai inilah kami berada. Di saat kami tengah jenuh dengan dunia kerja dan seabrek tanggung jawab sebagai manusia, kami lari kemari—Pantai Balekambang. Dan setiap malam, sebuah tarianku pasti akan menemani Yoga menatap bulan lamat-lamat.

“Cinta, Ga ..., aku akan menarikan tarian cintaku kepadamu.”

Yoga mencibir. Aku mahfum. Sedikit pun tidak kuperdulikan dirinya yang tengah terbuai rasa kecewa. Jemari tanganku mulai melenggok mengayun semilir bayu—yang menjamah bulir-bulir lesu kami. Kaki-kaki telanjangku menyeret pasir pantai, menekuknya pada kuda-kuda tari. Lalu mataku memejam. Menikmati suara debur ombak yang bersetubuh dengan kegelapan.

Aku menari ....

Lihatlah Ga, ini cintaku. Sebuah rasa yang terbuncah dari jiwa wanita penari. Dengarlah Ga, ini alunan nadaku. Berdenting indah seperti suara hati yang selalu memekikkan namamu. Kau dengar Ga? Sukmaku berseru, “aku mencintaimu ..., aku mencintaimu ....” Itulah rasaku untukmu ...

Sambil bersenandung tentang cinta, aku terus mengayun dan mendekap malam. Meyapa bulan, bintang dan air laut, dalam sebuah tarian.

Tiba-tiba Yoga berdiri dan memelukku. Merengkuh tubuh yang telah haus akan kasih sayang ini dengan begitu kuatnya. “Aku mencintaimu, Rimbi. Aku tak mau jika harus berpisah denganmu!” pekiknya.

Kurasakan lelaki itu begitu rapuh. Membenamkan seguknya—yang semakin menggila—di atas bahuku. Tubuhnya bergetar. Degup jantung yang kurasakan di lenganku begitu hebat berdetak cepat.

Iya, lelakiku tengah mencaci dirinya sendiri, yang tidak mampu memperjuangkan cintanya pada wanita penari yang kotor ini ....

***

“Kau mau menikahi wanita penari itu? Kowe wes gila yo, Le? Dia itu tidak pantas menjadi bagian keluarga kita. Bibit, bebet, bobotnya juga rendah. Mau diletakkan kemana martabat keluarga kita nanti, Ga?”

Kudengar samar-samar suara ibu Yoga memekik di ruang keluarga. Hati ini rasanya tersayat sembilu. Suda kuduga jika keluarga Yoga—yang berbau ningrat—tidak akan menerima keberadaan wanita penari panggung sebagai menantunya.

Rumah Yoga memang indah dan besar. Ornamen-ornamen khas Jawa Tengah berserakan menghiasi isi ruang tamu tempatku dan bapak Yoga duduk berhadap-hadapan. Bau kayu cendana bercampur aroma kembang sedap malam mencekik penciumanku. Belum lagi bertambah aroma rokok kelobot yang tengah dihisap bapak Yoga.

Rasanya aku mau muntah!

Kowe lahir tanggal berapa, Nduk? Wetonmu opo?” tanya bapak Yoga tiba-tiba.

Sejenak aku terkejut. Namun akhirnya aku tahu maksud dari pertanyaannya. Dengan berusaha melembutkan nada suara, aku menjawab pertanyaan bapak, “saya Rabu Kliwon, Pak.”

Bapak Yoga memicingkan matanya ke arahku—sepersekian detik saja. Lalu dengan sigap tangannya meraih buku tua—dengan sampul yang hampir rusak dimakan uzur—di hadapannya. Buku itu sudah kulihat sejak bapak menemaniku di sini. Seolah sengaja disiapkan untuk menghadapi kedatanganku, meminta restu untuk menikahi anak kebanggaannya.

Bibir bapak berdecap-decap. Jari jemarinya digerakan, seolah sedang menghitung sesuatu. Aroma kelobot—rokok tradisional dari pembungkus jagung yang diraciknya sendiri—masih menusuk hidung. Kepalaku semakin terasa pening.

Lebu katiup angin ....” lelaki tua itu berdesis pelan. Wajahnya yang sejak tadi menekuri sang buku, kini menatap tajam ke arahku. Mata uzurnya membulat, mengamati diriku dari kepala hingga kaki.

“Bagaimana hasilnya, Pak?” sekonyong-konyong ibu Yoga datang dari samping dan segera mengambil tempat duduk dekat bapak. Wajahnya terlihat cemas.

“Kau tidak bisa menikah dengan anakku, Nduk. Nasib kalian buruk.” Bapak menunjuk ke arahku, “kau bisa membawa sial pada keluarga kami nantinya ....”

“Bapak!” Yoga menyelah kalimat bapaknya.

“Hei, Yoga! Ini sudah dihitung sama Bapakmu. Jumlah weton kalian jatuhnya pada lebu katiup angin ini loh, kamu mau hubungan kalian diteruskan dan membawa keluargamu berantakan?!”

“Bukan hanya penjumlahannya saja, Ga. Perhitungan weton kalian masing-masing pun tidak bagus. Sisa angka enam dan sembilan. Sengsara, akan hidup susah nantinya. Rejekimu kering, gak akan ada penghasilan yang mengalir. Kalian akan ....”

“Akh! Bapak dan Ibu sama saja. Masa’ jaman sekarang masih saja percaya hal bodoh seperti itu!” Yoga mulai marah.

Adu mulut antara anak dan orang tuanya itu berputar-putar di kepalaku. Telingaku sakit. Namun hati dan cintaku jauh lebih tersakiti saat ini.

Aku ingat sesuatu tentang perhitungan weton yang dilakukan sebelum diputuskannya sebuah pernikahan dalam adat Jawa. Sandang, pangan, papan, loro, pati. Mereka selalu memperhatikan kelima kata itu. Menghitung tanggal lahir kami, lalu memutuskan layak atau tidaknya kami menikah.

Ah, rasa pening ini semakin menyeruak. Genangan air mata yang sejak tadi berayun-ayun, akhirnya meleleh juga. Aku ingin berteriak dan memaki. Ingin lari lalu menghilang ditelan bumi. Aku sudah hampir lelah, menjalani hubungan asmara dengan lelaki ningrat yang sangat kucintai itu ....

***

Sang bulan kini telah disembunyikan awan malam. Pantai Balekambang makin terasa hampa tanpa sosoknya. Sama seperti diriku, yang tengah sepi karena kehilangan nafas—raib, dicolong aturan adat sang bapak.

“Kita kawin lari saja, Rimbi ....”

“Kau bisa membunuh kedua orang tuamu, Ga. Kau anak lelaki satu-satunya. Jangan korbankan harapan keluargamu hanya demi wanita rendah seperti aku.”

Jari Yoga diletakkan di bibirku, “sstt ..., jangan pernah lagi menyebut dirimu rendah, Rimbi.”

Mata kami saling berpandangan. Kulihat jala penglihatan Yoga tengah menangkap bayanganku. Seolah tidak ingin melepaskan raga yang hampir putus asa ini.

Kurebahkan kepalaku di pangkuan Yoga. “Aku lelah, Ga. Ijinkan aku tertidur sebentar ya,” kataku melirih. Yoga tersenyum menyambutku. Membelai rambut ikal ini dan berkata dengan lembut, “aku mencintaimu, Rimbi.”

“Aku tahu, Ga. Aku sangat tahu akan hal itu ....”

Kupejamkan mata, sambil menikmati belaian kasih Yoga. Kutaburkan doa di hati, memohon kepada Tuhan agar ketika aku membuka mata nanti, rasa cinta kepada Yoga ini akan hilang. Takkan tersisa sedikit saja. Hingga akhirnya, aku tidak merasa sesakit ini lagi ....

***

Kulihat wajah kekasihku—Arimbi—tertidur pulas di pangkuan. Temaram cahaya bulan yang remang-remang menjelajahi keayuannya. Sekilas bayangan dosa kurasakan. Seharusnya sejak pertemuan pertama kami setahun lalu, aku tidak menjeratnya masuk ke dalam kehidupanku. Karena pada akhirnya cinta ini tidak mungkin disatukan.

Sudah jelas aku mengerti jika bapakku adalah manusia kolot. Sedangkan ibu hanyalah wanita yang membingungkan soal derajat di mata manusia. Bahkan sejak pertama kali nafasku menjejakkan kakinya di bumi ini, bapak sudah menenamkan warisan kekolotannya di otakku.

“Kita ini hidup di tanah Jawa, Ga. Jadi yang kita junjung juga adat yang terun temurun dari leluhur kita,” kata bapak suatu masa. Aku ingat betul hari itu, kami tengah bercengrama di rumah eyang di Jombang.

“Mencari bojo itu mudah, tetapi mencari jodoh itu yang susah. Butuh perhitungan yang cermat.” Sejenak bapak menyedot kelobot kegemarannya bulat-bulat, menghembusnya pelan, lalu berkata kembali, “salah perhitungan sediit saja, sudah bubar semuanya. Kamu kudu ingat dan belajar ilmu Kaweruh Jendra Hayuningrat. Bukan apa-apa, tetapi demi kebaikan hidup keluarga kita ....”

Saat itu aku tidak begitu memperhatikan obrolan bapak. Kuanggap sesuatu yang tidak penting. Tetapi aku baru tahu sekarang, ternyata bapak sangat serius dengan ilmu kejawen-nya.

Ah, aku tidak habis pikir. Haruskah aku melepaskan cinta Arimbi hanya karena hal konyol itu? Entahlah, aku juga sama lelahnya dengan kekasihku ....

***

Fajar telah menetas. Dari balik surih laut dia mengintipku dan Arimbi yang baru terbangun dari lelap semalam. Kulihat Arimbi mengucak matanya. Menggoyangnya beberapa kali, baru kemudian melempar bola matanya ke arahku.

Dia tersenyum.

“Ini akan berakhir bukan? Setelah ini cinta kita telah usai ...,” katanya.

Aku hanya diam.

“Ga, kita harus ikhlas. Ini bukan jalan kita lagi.” Arimbi mengapit kedua telapak tangannya di pipiku. “Ayo, Ga! Hidup bukan hanya untuk menyesali apa yang telah terjadi dan apa yang akan kita hadapi nanti. Kamu harus kuat!”

Setelah berkata demikian, Arimbi berdiri lalu berjalan menjauh dari tenda biru kami. Sebentar dia membalikkan badan sambil melambaikan tangan ke arahku.

“Ga!” serunya, “ayo kita berenang! Mandi air laut!”

Kulihat dia sudah kembali ceria. Wajahnya berbinar-binar diterpa matahari pagi. Namun, aku tahu benar, hatinya yang telah hancur itu akan terus menangis dalam keheningannya sendiri.

Iya, selamat tinggal wanita penariku. Dengan ini semua akan berakhir. Doaku hanya satu. Semoga kelak, Tuhan akan memberimu cinta, yang jauh lebih bisa mempertahankan kekuatannya daripada cinta kita ....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar