“Apa yang akan kau
tarikan untuk kali ini, Rimbi?”
Yoga mematri kedua bola penglihatannya ke
arahku. Wajahnya sayu—laksana bulan pucat yang saat ini tengah mengintip kami
di rerimbun malam.
Aku tak kuasa
merengkuh kesakitannya. Bahkan jiwaku pun tengah tersayat belati pilu.
Ketidakberdayaan ..., dan juga ketidakadilan ....
“Kau lihat bulan
gendut yang tak sempurna itu, Ga?” Aku tengadah—menatap sang penguasa langit
malam. Temaramnya kuning pucat. Tidak seceria hari-hari biasa. Entah, apa
mungkin dia juga tengah berduka ... “Kau sadar tidak? Sepertinya bulan juga
tengah bersedih untuk kita,” lanjutku.
“Apa yang akan kau
tarikan malam ini, Rimbi?” Yoga mempertanyakan kembali perihal yang sama.
Rautnya masih sayu. Tidak tampak secuil gairah pada matanya.
Seperti biasa, di
pantai inilah kami berada. Di saat kami tengah jenuh dengan dunia kerja dan
seabrek tanggung jawab sebagai manusia, kami lari kemari—Pantai Balekambang.
Dan setiap malam, sebuah tarianku pasti akan menemani Yoga menatap bulan
lamat-lamat.
“Cinta, Ga ..., aku
akan menarikan tarian cintaku kepadamu.”
Yoga mencibir. Aku
mahfum. Sedikit pun tidak kuperdulikan dirinya yang tengah terbuai rasa kecewa.
Jemari tanganku mulai melenggok mengayun semilir bayu—yang menjamah bulir-bulir
lesu kami. Kaki-kaki telanjangku menyeret pasir pantai, menekuknya pada
kuda-kuda tari. Lalu mataku memejam. Menikmati suara debur ombak yang
bersetubuh dengan kegelapan.
Aku menari ....
Lihatlah Ga, ini cintaku. Sebuah rasa yang terbuncah dari
jiwa wanita penari. Dengarlah Ga, ini alunan nadaku. Berdenting indah seperti
suara hati yang selalu memekikkan namamu. Kau dengar Ga? Sukmaku berseru, “aku
mencintaimu ..., aku mencintaimu ....” Itulah rasaku untukmu ...
Sambil bersenandung
tentang cinta, aku terus mengayun dan mendekap malam. Meyapa bulan, bintang dan
air laut, dalam sebuah tarian.
Tiba-tiba Yoga berdiri
dan memelukku. Merengkuh tubuh yang telah haus akan kasih sayang ini dengan
begitu kuatnya. “Aku mencintaimu, Rimbi. Aku tak mau jika harus berpisah
denganmu!” pekiknya.
Kurasakan lelaki itu
begitu rapuh. Membenamkan seguknya—yang semakin menggila—di atas bahuku.
Tubuhnya bergetar. Degup jantung yang kurasakan di lenganku begitu hebat
berdetak cepat.
Iya, lelakiku tengah
mencaci dirinya sendiri, yang tidak mampu memperjuangkan cintanya pada wanita
penari yang kotor ini ....
***
“Kau mau menikahi
wanita penari itu? Kowe wes gila yo, Le? Dia itu tidak pantas menjadi
bagian keluarga kita. Bibit, bebet, bobotnya juga rendah. Mau diletakkan kemana
martabat keluarga kita nanti, Ga?”
Kudengar samar-samar
suara ibu Yoga memekik di ruang keluarga. Hati ini rasanya tersayat sembilu.
Suda kuduga jika keluarga Yoga—yang berbau ningrat—tidak akan menerima
keberadaan wanita penari panggung sebagai menantunya.
Rumah Yoga memang
indah dan besar. Ornamen-ornamen khas Jawa Tengah berserakan menghiasi isi
ruang tamu tempatku dan bapak Yoga duduk berhadap-hadapan. Bau kayu cendana
bercampur aroma kembang sedap malam mencekik penciumanku. Belum lagi bertambah
aroma rokok kelobot yang tengah
dihisap bapak Yoga.
Rasanya aku mau
muntah!
“Kowe lahir tanggal berapa, Nduk?
Wetonmu opo?” tanya bapak Yoga
tiba-tiba.
Sejenak aku terkejut.
Namun akhirnya aku tahu maksud dari pertanyaannya. Dengan berusaha melembutkan
nada suara, aku menjawab pertanyaan bapak, “saya Rabu Kliwon, Pak.”
Bapak Yoga memicingkan
matanya ke arahku—sepersekian detik saja. Lalu dengan sigap tangannya meraih
buku tua—dengan sampul yang hampir rusak dimakan uzur—di hadapannya. Buku itu
sudah kulihat sejak bapak menemaniku di sini. Seolah sengaja disiapkan untuk
menghadapi kedatanganku, meminta restu untuk menikahi anak kebanggaannya.
Bibir bapak
berdecap-decap. Jari jemarinya digerakan, seolah sedang menghitung sesuatu.
Aroma kelobot—rokok tradisional dari pembungkus jagung yang diraciknya
sendiri—masih menusuk hidung. Kepalaku semakin terasa pening.
“Lebu katiup angin ....” lelaki tua itu berdesis pelan. Wajahnya
yang sejak tadi menekuri sang buku, kini menatap tajam ke arahku. Mata uzurnya
membulat, mengamati diriku dari kepala hingga kaki.
“Bagaimana hasilnya,
Pak?” sekonyong-konyong ibu Yoga datang dari samping dan segera mengambil
tempat duduk dekat bapak. Wajahnya terlihat cemas.
“Kau tidak bisa
menikah dengan anakku, Nduk. Nasib kalian
buruk.” Bapak menunjuk ke arahku, “kau bisa membawa sial pada keluarga kami
nantinya ....”
“Bapak!” Yoga menyelah
kalimat bapaknya.
“Hei, Yoga! Ini sudah
dihitung sama Bapakmu. Jumlah weton kalian jatuhnya pada lebu katiup angin ini loh, kamu mau hubungan kalian diteruskan dan
membawa keluargamu berantakan?!”
“Bukan hanya
penjumlahannya saja, Ga. Perhitungan weton kalian masing-masing pun tidak
bagus. Sisa angka enam dan sembilan. Sengsara, akan hidup susah nantinya.
Rejekimu kering, gak akan ada penghasilan yang mengalir. Kalian akan ....”
“Akh! Bapak dan Ibu
sama saja. Masa’ jaman sekarang masih saja percaya hal bodoh seperti itu!” Yoga
mulai marah.
Adu mulut antara anak
dan orang tuanya itu berputar-putar di kepalaku. Telingaku sakit. Namun hati
dan cintaku jauh lebih tersakiti saat ini.
Aku ingat sesuatu
tentang perhitungan weton yang dilakukan sebelum diputuskannya sebuah
pernikahan dalam adat Jawa. Sandang,
pangan, papan, loro, pati. Mereka selalu memperhatikan kelima kata itu.
Menghitung tanggal lahir kami, lalu memutuskan layak atau tidaknya kami
menikah.
Ah, rasa pening ini
semakin menyeruak. Genangan air mata yang sejak tadi berayun-ayun, akhirnya
meleleh juga. Aku ingin berteriak dan memaki. Ingin lari lalu menghilang
ditelan bumi. Aku sudah hampir lelah, menjalani hubungan asmara dengan lelaki
ningrat yang sangat kucintai itu ....
***
Sang bulan kini telah
disembunyikan awan malam. Pantai Balekambang makin terasa hampa tanpa sosoknya.
Sama seperti diriku, yang tengah sepi karena kehilangan nafas—raib, dicolong
aturan adat sang bapak.
“Kita kawin lari saja,
Rimbi ....”
“Kau bisa membunuh
kedua orang tuamu, Ga. Kau anak lelaki satu-satunya. Jangan korbankan harapan
keluargamu hanya demi wanita rendah seperti aku.”
Jari Yoga diletakkan
di bibirku, “sstt ..., jangan pernah lagi menyebut dirimu rendah, Rimbi.”
Mata kami saling
berpandangan. Kulihat jala penglihatan Yoga tengah menangkap bayanganku. Seolah
tidak ingin melepaskan raga yang hampir putus asa ini.
Kurebahkan kepalaku di
pangkuan Yoga. “Aku lelah, Ga. Ijinkan aku tertidur sebentar ya,” kataku
melirih. Yoga tersenyum menyambutku. Membelai rambut ikal ini dan berkata
dengan lembut, “aku mencintaimu, Rimbi.”
“Aku tahu, Ga. Aku
sangat tahu akan hal itu ....”
Kupejamkan mata,
sambil menikmati belaian kasih Yoga. Kutaburkan doa di hati, memohon kepada
Tuhan agar ketika aku membuka mata nanti, rasa cinta kepada Yoga ini akan
hilang. Takkan tersisa sedikit saja. Hingga akhirnya, aku tidak merasa sesakit
ini lagi ....
***
Kulihat wajah
kekasihku—Arimbi—tertidur pulas di pangkuan. Temaram cahaya bulan yang
remang-remang menjelajahi keayuannya. Sekilas bayangan dosa kurasakan.
Seharusnya sejak pertemuan pertama kami setahun lalu, aku tidak menjeratnya
masuk ke dalam kehidupanku. Karena pada akhirnya cinta ini tidak mungkin
disatukan.
Sudah jelas aku
mengerti jika bapakku adalah manusia kolot. Sedangkan ibu hanyalah wanita yang
membingungkan soal derajat di mata manusia. Bahkan sejak pertama kali nafasku
menjejakkan kakinya di bumi ini, bapak sudah menenamkan warisan kekolotannya di
otakku.
“Kita ini hidup di
tanah Jawa, Ga. Jadi yang kita junjung juga adat yang terun temurun dari
leluhur kita,” kata bapak suatu masa. Aku ingat betul hari itu, kami tengah
bercengrama di rumah eyang di Jombang.
“Mencari bojo itu mudah, tetapi mencari jodoh itu
yang susah. Butuh perhitungan yang cermat.” Sejenak bapak menyedot kelobot
kegemarannya bulat-bulat, menghembusnya pelan, lalu berkata kembali, “salah
perhitungan sediit saja, sudah bubar semuanya. Kamu kudu ingat dan belajar ilmu
Kaweruh Jendra Hayuningrat. Bukan
apa-apa, tetapi demi kebaikan hidup keluarga kita ....”
Saat itu aku tidak
begitu memperhatikan obrolan bapak. Kuanggap sesuatu yang tidak penting. Tetapi
aku baru tahu sekarang, ternyata bapak sangat serius dengan ilmu kejawen-nya.
Ah, aku tidak habis
pikir. Haruskah aku melepaskan cinta Arimbi hanya karena hal konyol itu?
Entahlah, aku juga sama lelahnya dengan kekasihku ....
***
Fajar telah menetas.
Dari balik surih laut dia mengintipku dan Arimbi yang baru terbangun dari lelap
semalam. Kulihat Arimbi mengucak matanya. Menggoyangnya beberapa kali, baru
kemudian melempar bola matanya ke arahku.
Dia tersenyum.
“Ini akan berakhir
bukan? Setelah ini cinta kita telah usai ...,” katanya.
Aku hanya diam.
“Ga, kita harus
ikhlas. Ini bukan jalan kita lagi.” Arimbi mengapit kedua telapak tangannya di
pipiku. “Ayo, Ga! Hidup bukan hanya untuk menyesali apa yang telah terjadi dan
apa yang akan kita hadapi nanti. Kamu harus kuat!”
Setelah berkata
demikian, Arimbi berdiri lalu berjalan menjauh dari tenda biru kami. Sebentar
dia membalikkan badan sambil melambaikan tangan ke arahku.
“Ga!” serunya, “ayo
kita berenang! Mandi air laut!”
Kulihat dia sudah
kembali ceria. Wajahnya berbinar-binar diterpa matahari pagi. Namun, aku tahu
benar, hatinya yang telah hancur itu akan terus menangis dalam keheningannya
sendiri.
Iya, selamat tinggal
wanita penariku. Dengan ini semua akan berakhir. Doaku hanya satu. Semoga
kelak, Tuhan akan memberimu cinta, yang jauh lebih bisa mempertahankan
kekuatannya daripada cinta kita ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar