Rabu, 19 April 2017

KAMA DAN DERANA (prolog dan bab satu)


° PROLOG °

"Untuk apa kamu menikahi seorang perempuan?"

Kalimat itu pertama kali kudengar ketika Ibu menangis dan melemparkan sebuah piring ke arah Bapak. Piring itu menampar dinding dapur, pecah berkeping dan menghirukkan tengah malam. Aku mengintip dari balik kusen pintu kamar tidur dengan pipi yang sama basahnya dengan milik Ibu. Usiaku masih sepuluh tahun, dan setelah malam itu, Ibu pergi, membawaku beserta dirinya. Di dalam kereta api yang membawa tubuh kami melesat, Ibu berkata, "Kita tidak butuh bapakmu lagi, Ana. Kita bisa hidup tanpa laki-laki." Setelah itu Ibu kembali diam. Diam yang sangat menakutkan. Lalu hari ini, kalimat itu kulemparkan pada suamiku.

Ia duduk di satu ujung pembaringan kami, memandangiku dengan mata penuh kelemahan, sementara aku di ujung yang lain, menatapnya dengan mata kesedihan. Aku menunggunya. Ia tidak menjawab pertanyaanku. Aku mengiba, memintanya untuk menjawab, untuk apa ia menikahiku dulu.[]



"Tolong, jangan mendekat padaku, aku takut aku jatuh cinta kepadamu."

Aku berujar kepadanya. Ia tersenyum, merengkuh leherku. Dahi itu menempel lembut di keningku. Mata kami bertaut. Malu-malu. Ia kemudian berucap, "Jatuh cintalah sejatuh-jatuhnya sampai kamu lupa bagaimana menciptakan sebuah puisi yang indah." Dasar penyair, balasku. Mataku mulai panas. Mulai meleleh. Dan leleh ...

"Mula-mula," aku mendesah, "cinta akan selalu indah, tapi setelah itu--"

"Setelah itu, akulah yang akan menelan luka-lukanya."

"Bagaimana denganku?"

Ia mengangkat kepalanya. Mengulas senyum. Ia kemudian merengkuh kepalaku dalam dekapannya. Dadanya begitu hangat.

“Kamu hanya cukup berada di sampingku saja, selamanya ....[]


° SATU °

1/
Ia tidak pernah punya alasan setiap kali akan menyeduh secangkir coffee latte. Kegiatan itu adalah satu-satunya yang membuat Derana bahagia di sela-sela tugasnya sebagai wanita rumahan. Ia baru saja menuangkan air panas ke dalam cangkir hitam kebanggaannya ketika ponsel itu berdenting. Derana masih membiarkannya. Ia meraih sebuah sendok teh di tempat rak piring besi, lalu mengaduk kopinya. Uap kopi membumbung pecah-pecah saat gerakan berputar itu menimbulkan getaran konstan. Tiga belas adukan, lalu denting itu terdengar kembali. Kali ini lebih kerap, dan berhasil membuat perempuan tiga puluh tiga tahun itu menghentikan jari-jemarinya.

Derana meletakkan sendok teh itu di samping cangkir. Ia menghirup aroma kopinya dalam satu tarikan. Dirasakannya partikel-partikel bau itu meresap masuk ke dalam tubuhnya, bergetar-getar di dalam sana, membuat jiwa-jiwa lelahnya kembali terbangkitkan. Ia kemudian mengembus napas puas, memutar tubuh dan melangkah perlahan ke arah kamar tidur. Xiomi Redmi Note 3 berwarna perak itu tertidur di atas bantalnya. Cahaya kecil berwarna keunguan berkedip-kedip teratur. Ia mengulurkan tangan, meraih ponsel dan membuka kuncinya.

Ada sebuah pesan inbox Facebook, tapi ia tidak mengenali pengirimnya. Derana mengerut alis. Foto seorang perempuan. Rambut perempuan itu jatuh begitu lembut di bahunya.

Tanpa perasaan ragu, ia menekan layar. Pesan itupun terbuka. Derana membacanya, dan seketika, dalam hitungan beberapa detik saja, degup dadanya mengencang dan dunianya mulai kacau balau.

2/
Kama kelelahan dan seketika itu juga dia menjatuhkan tubuhnya ke samping perempuan itu. Keringat mengucur, dan napasnya naik-turun tak beraturan tetapi jauh di dalam dadanya, ada kepuasan luar biasa yang pada akhirnya berhasil direngkuh.

Perempuan itu memiringkan tubuh polosnya dan memeluk dada telanjang Kama. "Aku senang bisa bikin kau bahagia," ujar perempuan bermata sedikit runcing itu. Ada sebuah tahi lalat kecil di bagian mata kanannya, hampir-hampir tidak terlihat karena setiap saat, dia selalu memoleskan riasan tebal di sana untuk mempertegas garis matanya.

Dia tidak membalas kata-kata perempuan di sampingnya itu. Matanya tekun menelanjangi langit-langit kamar losmen. Ada sebuah noda air berwarna kecokelatan. Dia teringat pada tumpahan kopi semalam. Beruntung kopi itu sudah menghangat, jadi lututnya tidak merasakan kesakitan. Tapi saat kopi itu tumpah, Kama merasa ada sesuatu yang telah lenyap.

"Kita tidak bisa seperti ini terus, Kama! Kita butuh suatu pengakuan!"

Suara rengekan itu lagi.

Kama mendesah berat. Dia meraih lengan perempuan di sampingnya dan menjatuhkannya kembali kepada sang pemilik. Kama bangkit. "Ada apa?"  tanya perempuan di sampingnya sambil mengangkat kepala. "Aku harus pergi," jawab Kama sambil meraih kausnya yang terserak di lantai kamar.

"Secepat ini? Tumben?"

“Aku ingin nulis. Aku butuh tempat yang tenang.”

"Puisi?"

Perempuan itu meraih selimut lalu ikut berdiri dan mendekat. Dia merengkuh punggung Kama, tapi lelaki itu segera menjauh. Perempuan itu mengernyit.

"Hari ini kau lain."

Kama menatap perempuan itu. Mereka terdiam sejenak. Saling menekuni dengan perasaan ganjil masing-masing. "Aku memang selalu menjadi orang lain saat aku sama kamu," ucap Kama kemudian. Setelah itu, dia meraih ranselnya, meletakkan tiga lembaran uang berwarna merah di atas meja rias, dan beranjak membuka pintu.

"Lain kali, buatkan aku sebuah puisi yang mampu menggetarkan birahiku, Kama! Kadang aku butuh yang semacam itu!"

Kama menyungging senyum. Dia mengangkat telapak tangannya ke atas, sebelum tubuh tinggi itu lenyap ditelan lorong losmen.

3/
Derana berjalan gelisah di dalam dapurnya. Ia melirik jam dinding itu sekali. Pukul sembilan pagi. Ketiga anaknya belum pulang sekolah. Dalam kesunyian ia merasa seperti tersesat.

Di dalam kepalanya, ia masih ingat jelas tentang isi pesan itu. Juga percakapan-percakapan yang pada akhirnya terjadi antara mereka berdua. Perempuan itu bernama Upi, setidaknya, itu yang tertulis sebagai nama akun perempuan itu. Upi Rahmawati.

'Bagaimana jika itu terjadi pada suamimu, Mbak?'

Mula-mula, Derana tidak memahami baris pertama dari isi pesan tersebut. Ia kemudian mencoba mengingat-ingat, lalu ia menemukannya pada kejadian dua hari yang lalu. Ketika itu, Derana sempat memposting sebuah status di Facebook-nya.

‘Sebenarnya, kami, para istri, sebagai manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan, kami pun pernah jatuh cinta pada lelaki lain yang tentu saja memiliki banyak kelebihan yang tidak suami-suami kami miliki. (Sungguh, banyak lelaki lain di luar sana yang memiliki segala kebaikan dari segala kekuranganmu) Tapi apa kau sadar, kami justru merasa berdosa memiliki perasaan itu. Kami berusaha sekuat tenaga menguburnya, menahannya agar tidak meluap-luap, agar kami tidak menodai kemaluan-kemaluan kami. Itu milik kalian, para suami. Dan kami menjaganya demi kalian juga.

'Layaknya orang yang jatuh cinta, kami pun sama sepertimu, seperti suami-suami kami (ketika merasakan hal yang sama pada perempuan lain itu), kami juga ingin selalu dekat, berbicara, memiliki, dan bersentuhan. Sungguh! Tapi tidak. Iya, tidak. Kami masih menanam rasa percaya, bahwa kalian, suami-suami kami, masih memiliki kebaikan yang patut untuk kami hormati (kebaikan di balik keburukan, kami percaya itu ada).

'Jadi, ketika kami melakukan itu, sikap-sikap setia dan menjaga kehormatan kalian itu, apakah salah jika kami meminta kalian juga setia pada kami? Apakah salah jika kami meminta kalian juga menjaga kelamin-kelamin kalian demi kami?'

Ya, ingatan Derana masih sangat basah tentang dua hari lalu itu. Kala itu, ia begitu marah, begitu emosi, karena salah satu sahabatnya baru saja menelepon dengan berderai-derai dan berkata terbata-bata: SUAMIKU BERSELINGKUH, DE, APA YANG HARUS KULAKUKAN ...?

Derana segera menarik napas panjang, kemudian kembali menekuri layar ponselnya. Membaca.

'Ya, Tuhan, Mbak. Aku tidak menyangka jika lelaki itu sudah beristri dan memiliki anak. Sungguh, Mbak. Dia melakukan segala cara untuk mendekatiku. Dia bilang belum menikah padaku, Mbak.'

Degup Derana berpacu sangat cepat, tapi dengan sekuat tenaga, ia berusaha untuk tetap tenang dan tegar. Ia menurunkan layar ponselnya. Empat foto terpampang sangat jelas. Di dalam foto itu, ada perempuan itu dan suaminya, dalam posisi yang sangat mesra.

Lagi-lagi, Derana menarik napas.

'Aku sudah tidak terkejut jika suamiku melakukan itu, Mbak,' balasnya pada kotak pesan perempuan itu. 'Apakah Mbak cinta sama suamiku?'

' Aku tidak mencintainya lagi, Mbak. Aku marah.'

Ia diam. Menunggu.

'Ya, ampun, Mbak. Sungguh, jika aku tahu lelaki itu sudah berkeluarga, aku tidak akan mau menerima lelaki itu dalam kehidupanku!'

Sejak pertama ia membaca pesan, ia yakin jika perempuan itu sangat marah pada suaminya. Derana sedikit tersenyum. Sinis. Dalam hati ia menertawai kesialan perempuan itu, walaupun nasibnya juga tidak jauh lebih baik. Bertahun-tahun ia sudah ditipu suaminya. Sepuluh tahun pernikahan dan itu tidaklah sedikit.

Dalam keterkejutan menghadapi kenyataan, Derana masih berusaha memutuskan langkah-langkah berikutnya. Ia menyusun rencana. Berpikir. Pertama-tama, ia tidak ingin nampak lemah dan menyedihkan di mata perempuan itu. Aku harus terlihat kuat, batin Derana. Tidak, aku seharusnya memang sudah lebih kuat saat menghadapi kecurangan lelaki itu, karena ini bukanlah hal yang pertama, bukan? Aku sudah menjadi seorang wanita yang ahli melipat kemarahan. Sangat ahli!

'Sebelumnya maaf, ya, Mbak. Apa Mbak sudah pernah berhubungan badan dengan suamiku?'

Butuh waktu lebih lama bagi Upi, perempuan itu, untuk menjawab pertanyaan. Ia mencoba mahfum. Dan bersabar. Ia menunggu perempuan itu siap berkata jujur, sekaligus menata kesiapan hatinya sendiri.

'Iya, Mbak. Kami sering melakukannya. Semoga Tuhan memaafkan dosa-dosa kami.'

Sekali lagi ia mengembus napas panjang. Sangat panjang. Dan kali ini, matanya benar-benar meleleh. Ia mulai merasa kalah oleh dirinya sendiri.

4/
Apalagi yang lebih indah daripada puisi? Bagi Kama; langit biru yang sempurna, senja dan burung-burung yang berterbangan, gerimis yang ricis, embun yang menetas ketika fajar, daun-daun yang mengaji, angin yang menari-nari riang menerpa wajah, membawa sejuk dari puncak pegunungan.

Kama duduk di bangku taman itu, menikmati keramaian jalan raya pukul sembilan pagi lewat sepuluh menit. Dia tidak melakukan apa-apa. Hanya duduk, dan diam, dan menghisap batang rokok yang membara, dan menghirup bau tembakau yang bercampur debu, dan asap knalpot kendaraan, dan bau tubuh manusia-manusia yang lalu-lalang.

Noda kopi yang tumpah semalam itu terus dibawanya di dalam kepala. Kama tidak bisa menghapusnya, atau membuangnya begitu saja ketika dia berjalan ke tempat itu, atau membakarnya saja saat dia menyulut rokoknya tadi, agar ikut mengabu.

Wajah perempuan yang bersama dirinya di malam itu, ketika secangkir kopi hitam tumpah, melesat cepat. Lalu hilang. Melesat kembali. Hilang kembali. Begitu seterusnya. Kama merasa seperti sedang dikutuk.

"Kau tidak pernah bisa paham tentang cinta, Kama! Aku tahu kau bisa menulis puisi-pusi cinta paling menggetarkan, tapi kau tidak mampu menghargai perasaan cinta itu sendiri!”

Sial!

Kama menyentuh dahinya. Memijit-mijit perlahan. Laki-laki tidak layak menangis, kecuali seorang pengecut. Tapi pagi ini, Kama tidak mampu menahan semuanya.

"Kamu benar. Aku memang pengecut." []

--bersambung--



Bilik Cinta Rani
Yosh... Terima kasih karena sudah membaca ^-^ Novel ini sengaja ditayangkan di blog, karena terkadang saya butuh menulis hal-hal ringan, yang jauh dari hiruk-pikuk. Insya Allah akan terus di-update, semangatin terus ya, biar lancar. Dan... Yapp! Novel ini juga tayang di Wattpad. 
Sekali lagi buat para readers... Maturnuwun. Semoga selalu bahagia ^-^

5 komentar:

  1. Wooowww!! Harus kasih label 17+ 😁

    DItunggu lanjutannya..😄

    BalasHapus
  2. Aaaaaaaaakkkkk Kaaaa Ajeeeeng....... Lanjuuuut,

    BalasHapus
  3. Aaaaaaaaakkkkk Kaaaa Ajeeeeng....... Lanjuuuut,

    BalasHapus
  4. Tengkyu sudah membaca say... Ini mau posting bab dua

    BalasHapus