Dan ini adalah sebuah kota kecil, di mana telah kutinggalkan lama, tanpa
tahu itu berapa waktu sudah berjalan dalam denting detiknya. Aku tersesat,
mengembara dengan kelinglungan bodoh yang berdegup tanpa henti dalam
sekat-sekat hati. Kebencian, dendam lalu teramu pula amarah, bergulat diam,
memecah rasa cinta. Membuat sesuatu terganjal, mengiringi rohku yang
terlunta-lunta.
“Maafkan aku..”
Itu adalah kalimat terakhir yang tertinggal dalam jejak kepergianku. Entah,
apa mereka yang kutinggalkan dalam perih masih mengingatku atau tidak. Sungguh
tak pantas aku berharap bisa hadir dalam kenangan, karena kehadiranku hanya
memberi rasa kecewa yang teramat dalam.
Lalu, hari ini, perjalanan gontai yang kulalui kini berhenti pada sebuah
rumah besar berwarna lembayung tua, dengan pohon akasia yang menjulang rindang.
Itulah rumah kami, aku dan Mas Jun, juga Salwa. Di sanalah waktu bergulir
dengan kejam menarik ulur takdir kami bertiga.
***
“Ini Salwa, gadis duapuluh tiga tahun, bekerja di panti anak yatim piatu An
Nisa. Dia sangat ramah dengan siapapun, ulet, bertutur kata lembut. Sungguh Ibu
akan bahagia sekali jika kau memilih dia sebagai penerus garis keturunan kita.”
Aku ingat sekali hari itu, di mana pertama kalinya kami mengenal sosok
Salwa, walau hanya dari sebuah foto. Wajahnya ayu, terbesit kesan kesederhanaan
yang anggun dalam jilbab hijau muda yang dikenakannya. Sungguh tak salah jika
Ibu Mertua begitu jatuh hati pada gadis itu.
Mas Jun dan aku telah menikah hampir delapan tahun dan belum dikaruniai
seorang anak. Karena itulah, keluarga mendesaknya untuk memperistri Salwa,
gadis cantik anak dari salah satu sahabat kerabat. Mau tidak mau, setuju tidak
setuju, akhirnya Salwa pun menjadi bagian dari keluarga kecil kami.
Pernikahannya sederhana, tetapi lebih sakral daripada pernikahan megahku
bertahun-tahun lalu. Salwa hanya mengenakan kebaya putih yang teramat biasa,
kerudung putih yang lebih teramat biasa lagi, dan untaian bunga melati yang
juga hampir sama, sangat biasa. Tetapi binar wajah dan aura kecantikannya
memancar memukau semua yang hadir.
Dia mempesona. Dan aku iri. Kecemburuan yang bertahun-tahun tidak pernah
hadir dalam bingkai hatiku, saat itu berhasil mengetuk pintu, lalu
mencabik-cabik dengan kejamnya, hanya dalam hitungan menit. Kemudian perasaan
itu semakin membesar, saat Ibu Mertua menginginkan Salwa ikut berada dalam satu
atap bersama kami.
Aku hanya bisa pasrah tidak menolak. Mengikuti alur cerita yang mereka buat
untukku. Tanpa menampakan kesedihan atau melempar banyak tanya, hanya tersenyum
dan melihat, akan dibawa kemana dua pernikahan ini kelak. Terserah mereka saja!
Lalu apa? Dalam satu rumah, dua istri, satu suami. Begitu menyakitkan melihat
mereka bermesra-mesra sebagai pengantin baru. Tetapi apa kuasaku? Toh aku jugalah
yang mengijinkan pernikahan ini. Demi kami, demi Mas Jun yang sudah mendamba
momongan. Aku hanya bisa pasrah, belajar menerima kenyataan di depan mata.
Karena apa? Karena aku wanita mandul, sungguh tak pantas meminta lebih dari
ini.
Hanya saja, keimanan yang kubanggakan ternyata belum bisa menangkal benci
yang semakin meluap ketika mendengar Salwa akhirnya hamil. Ah tidak, bukan
karena itu sebenarnya. Jujur, aku ikut senang dengan kehamilan Salwa. Hanya
saja, wajah bahagia dan tangis haru yang tidak pernah aku dapatkan dari Mas Jun
saat mengetahui kabar tersebut, membuatku iri. Menyakitkan sekali. Rasanya
seperti sebuah paku besar menancap dalam-dalam pada perasaanku.
Menangis, meradang, semakin menumpuk dan bertumpuk kebencian. Aku lupa
siapa diriku. Apa tujuan pernikahan kami. Pun juga tentang komitmen yang
tertoreh di dalamnya. Yang terdengar hanya bisikan setan. Semakin Salwa dan Mas
Jun bahagia semakin aku marah pada mereka.
Hingga suatu hari, di mana laknat sudah menguasai hati dan pikiranku, sebuah
rencana muncul begitu saja.
Iya, hari itu, Salwa kudorong dari tangga beranak duapuluh. Dia bergulingan
jatuh ke lantai dasar. Kepala dan perutnya terbentur hebat. Merintih sebentar
kemudian pingsan. Darah menggenang. Kakinya yang putih pucat menjadi merah
karena teraliri darah yang muncrat deras dari selah keduanya. Aku puas menatap
dari atas. Menyunging senyum kemenangan. Tetapi nikmat dosa itu hanya sekejab.
Janin Salwa mati.
Mas Jun teramat marah padaku. Memang tidak ada teriakan maki dari mulutnya.
Hanya tatapan tajam dengan mata yang memerah, seraya berkata, “apa kamu puas
dan bahagia dengan begini, Ma?” Singkat. Tetapi berhasil membunuh detak
jantungku seketika.
Semua menjadi gelap. Murung. Pernikahanku mengering. Mas Jun sudah tidak
memperdulikan keberadaanku. Kesedihan, penyesal, dan entah apa lagi yang tengah
berkecamuk di perasaanku, ternyata jauh lebih menyakitkan daripada kebencian
itu sendiri. Lebih menyesakan. Sangat!
Berbulan-bulan aku menjadi sesuatu yang ada hanya karena sebuah ikatan, itu
saja. Tidak lebih. Hingga akhirnya, aku sudah tidak mampu menahan siksa malu
yang mencekik leherku, dan juga menggerogoti tulang-tulangku hingga linu, memutus
pergi meninggalkan segalanya.
***
“Mama?”
Seorang gadis kecil berkepang dua dengan rambut mungilnya menyapa,
membuyarkan kenangan pedih yang baru saja terbesit dalam ingatanku. Dia
melihatku? Bagaimana bisa? Tunggu, mengapa gadis ini memanggilku mama?
“Mama pulang? Rindu sama aku ya?” tanyanya lagi.
“Maaf nak, tante bukan mamamu.”
“Oh.” Wajahnya yang cerah tadi kini menjadi muram. Anak siapa ini?
Salwakah? Dia masih kecil, mungkin sekitar tiga atau empat tahun, entahlah.
“Iya, tentu saja tante bukan Mama, dia sudah meninggal saat melahirkanku.”
Mata beningnya mulai berkaca-kaca.
Aku menunduk, memegang kedua bahunya perlahan, dengan lembut sekali. “Siapa
namamu sayang?”
“Namaku Erica,” aku tersentak penuh kejut. Hei, itu namaku! “Bunda
memberikan nama Mama padaku, katanya biar aku, Bunda, dan Papa, tetap mengingat
keberadaan Mama yang pernah menjadi bagian dari keluarga kecil kami.” lanjutnya
kembali sambil terisak-isak.
“Siapa Bundamu nak?”
“Bunda Salwa.”
Sungguh aku kemudian terduduk lemas. Air mata yang seharusnya telah
mengering itu berhasil jatuh berkeroyokan. Tidak kusangkah ternyata Mas Jun dan
Salwa memaafkanku. Penyesalan yang terbawa serta dalam ketersesatanku, kini
luntur perlahan, lega rasanya. Mengalir
bersama bulir-bulir bening air mata.
Kupeluk gadis kecil Erica. Dia anakku, anak yang dijanjikan Salwa akan
diberikan dalam pelukanku, dulu sebelum dia menikah dengan Mas Jun.
“Terima kasih karena Mbak Rica sudah mengijinkan aku menikah dengan Mas
Jun. Sungguh besar hati Mbak yang cantik itu. Kelak, saat anak pertama kami
lahir, dia akan menjadi anakmu, Mbak. Asuh dan bimbinglah dia seperti anak
sendiri. Aku ingin berbagi kebahagiaan bersamamu, sama seperti engkau berbagi
kebahagiaan bersamaku saat ini.” Begitu janji Salwa. Sungguh aku teramat bodoh
karena mudah sekali mendengarkan bisikan setan. Mengikuti keegoan hati, tega melukai
mereka yang begitu memikirkan kebahagiaanku.
Tuhan, maafkan aku. Mungkin benar aku sudah tidak pantas mencicipi surgaMu
yang abadi keindahannya, karena berani mendahului takdir kematianku yang Engkau
gariskan. Tetapi ijinkanlah, setidaknya sekali untuk saat ini, doaku untuk mereka
yang masih memberiku cinta dan memilih menyimpan kenangan yang baik di hati
gadis kecil Erica.
Terima kasih Tuhan, sudah mempertemukanku dengan Erica. Kini, pengelanaanku
yang kekalpun, bisa kujalani dengan senyuman. Sungguh, Engkaulah yang Maha
Pemaaf atas semua dosa hamba-hambaMu yang hina seperti aku.
Nda, 301213
Tidak ada komentar:
Posting Komentar