Ayu membenamkan sengguknya pada bantal. Tangisnya belum
mereda sejak sore tadi. Mengapa?
Pertanyaannya selalu sama.
Seorang sahabat bercuap penuh kekhawatiran kepadanya, “mengapa
kau tetap nekat berjilbab walaupun suamimu tidak menyetujuinya?
Berhati-hatilah, ketika suami belum siap menerima perubahanmu, bisa jadi dia
akan mencari wanita lain yang bisa memuaskan pandangannya.”
Lalu seorang sahabat lagi mengiyakan, “iya, Yu. Sudah
banyak temanku yang diselingkuhi suaminya karena berjilbab. Alasannya, sudah
tidak cantik lagi, sudah tak bisa dipamerkan ke rekan-rekannya. Di rumah
tertutup, di luar tertutup, lalu apa yang bisa dinikmati?!”
Perasaannya menghambur. Melompat-lompat ingin berteriak.
Tekad hijabnya hampir pudar tergerus keraguan dan ketakutan. Apa benar suaminya
akan kehilangan cinta hanya karena sang istri mulai berjilbab?
Beberapa hari yang lalu, di suatu sore yang belum
menampilkan sang senja, Ayu dengan binar cerahnya mematut di depan cermin. Dua
jilbab baru yang dibeli dari pasar dicoba. Lama dia mengutak-atik kain panjang
itu. Setelah dirasa puas sesuai dengan hatinya, Ayu melangkah mendekati sang
suami.
“Pa, apa aku cantik?” tanya Ayu sambil tersenyum.
Suami diam sejenak. Hanya memandang tanpa sebuah ekspresi
sama sekali.
“Tidak.” jawabnya datar.
Ayu tersentak. Hatinya langsung layu. Sungguh bukan
sebuah jawaban yang ingin didengar dari mulut suaminya.
“Kenapa?”
“Ya karena Papa tidak suka wanita berjilbab. Mama tahu
tentang hal itu bukan?” suami menjawab dengan ketus.
Alis Ayu mengendur. Rasanya seperti tercabik beribu-ribu
kuku tajam harimau terbuas di dunia ini. Sakit. Hatinya bernanah sudah. Mati.
Semangat Ayu dalam naungan hijab sedang dipertanyakan
lagi. Sudah benarkah langkahnya memilih berjilbab walaupun suami tidak suka?
Dalam keheningan dukanya, Ayu mendecap doa kepada sang
Maha Kuasa, “ya Allah, kumohon, berikanlah petunjuk-Mu untuk hamba yang hina
ini.”
***
Pada malam yang lindap, Ayu bersetubuh dengan sajadahnya.
Menekuk sujud, mencari sebuah ketenangan dari tangan Tuhan. Bekas aliran air
mata sudah mengering. Tertumpah semua pada doa.
“Ayu, apa kamu sudah
lupa apa tujuan saat berniat menjilbabkan hati dan auratmu?”
Suara hati Ayu menggugah kekalutannya. Perlahan ia teringat
kembali akan kalimat-kalimat sang da’i pada sebuah pengajian.
“Jilbab itu hukumnya wajib bagi muslimah, sama kuatnya
dengan hukum sholat lima waktu. Ibadah kalian tidak akan sempurna tanpa jilbab,
tidak akan diterima oleh Allah. Masya’alloh. Apa sampeyan tahu bahwa dosa-dosa kaum wanita yang tidak berjilbab itu
akan menyeret bapakmu, suamimu, saudara lelaki serta anak lelakimu kelak ke
dalam api neraka! Naudzubillah..”
Deg! Hati Ayu tergetar kembali.
“Iya, selama ini aku
telah meremehkan kewajibanku kepada Sang Ilahi. Ketika cinta kepada-Nya telah
memanggil, apakah aku masih tetap bersikukuh pada sesuatu yang bahkan tidak
abadi? Bukankah dengan jilbab telahku buktikan betapa besar rasa cinta kepada
suami, menutup pandangan lelaki lain kepada diriku? Pun juga menyelamatkan
orang-orang yang kukasihi dari jilatan api neraka? Lalu, apa lagi yang membuat
ragu? Apa yang kutakutkan? Bukankah Allah masih menggenggam tangan kotorku
ini?.. Astaghfirullohal’adzhim.. Sungguh berdosa aku telah meragukan
panggilan-Nya hanya karena takut kehilangan cinta dari seorang manusia.”
Ayu pun menangis. Sujudnya semakin menekuk ke dalam,
memohon segala ampunan kepada Sang Maha Pencipta. Kemudian anak-anak embun yang
bergelantungan di ketiak-ketiak ranting dan dedaunan, turut mengharu biru.
Berdecap syukur kepada Sang Illah, karena seorang lagi manusia telah kembali
pada kodratnya sebagai hamba Allah. Semoga anak-anak gadis itu, lalu para istri
itu pula, segera menyadari makna hijab yang sebenarnya.
Aamiin, Ya
Robbal’alaamiin....
Nda, 210314
Tidak ada komentar:
Posting Komentar