Sekali lagi perempuan itu kutatap dengan iba. Selalu saja
terduduk di bawah pohon sono yang bahkan ranting-rantingnya telah dijemput
kematian, kering, tak kuasa tuk hidup kembali.
Sang perempuan tetap dengan baju putih kucel yang sama
dengan bulan-bulan lalu. Bercakap diam bersama sang hening yang merajut sunyi
di antara keduanya. Sesekali tertawa, sesekali bisu. Berkali-kali terkekeh
ringan dengan pandangan yang seperti hendak menyibak lalu lalang kendaraan di
jalanan yang tak pernah lengang.
Aku terkesima seketika. Apa karena terlalu sering
memperhatikan keberadaannya, atau karena memang mataku yang tengah sigap
memandang perutnya. Lihatlah itu, dia mulai membuncit. Siapakah gerangan yang
telah tak senonoh tega mencabuli perempuan gila di ujung lampu merah?
Ah, hatiku sakit. Bagai terhunjam beribu-ribu parang
tajam. Setega itukah mereka, lelaki itu?
***
Ini sudah hari ketujuh. Pikiranku masih terus berpusat
pada perut buncit sang perempuan gila. Bahkan sudah tiga hari ini tak tampak
dia di tempat duduknya.
Lalu ke manakah? Entah..
“Bunda kenapa? Kok akhir-akhir ini sering melamun?”
Suamiku datang menghampiri kesendirianku. Kutatap dia
lemah.
“Bunda memikirkan perempuan itu lagi?”
Aku mengangguk, “dia menghilang.”
“Menghilang bagaimana? Ah, mungkin saja dia berpindah
tempat nongkrong. Bukankah berjalan itu sudah kebiasaannya.”
“Tidak. Seharusnya setiap pagi saat aku berangkat kerja,
perempuan itu selalu ada di sana.”
Suami mengangkat bahunya tinggi-tinggi.
Kuhela nafas satu hembusan, “sepertinya dia sedang
hamil.”
“Ah, masa!” mata suamiku memelotot tajam, seakan tak
percaya benar dengan ucapanku.
“Siapa yang mau meniduri perempuan kotor seperti itu?”
“Entahlah, Yah. Jika memang ada dan nyata, justru yang
kupikirkan selama ini adalah, bagaimana dia bisa setega itu?” tanyaku, dan
tentu saja takkan mampu dijawab oleh suami.
Iya, bukankah manusia itu makhluk paling beradab? Tapi
lihatlah ini, pada kenyataannya, manusia tega memangsa manusia lain.
Mereka ibarat setan, iblis di atas iblis. Limbung, jika
tanpa agama di jiwa kotor mereka...
***
Hari kesebelas, perempuan gila itu kembali menduduki
singgasananya. Aku bernafas lega.
Namun sedikit mataku terusik kembali dengan penampakannya
yang semakin bersih. Iya, bersih dan lebih terawat dari terakhir kali aku
menjumpainya.
Rambutnya tidak gimbal, malah lembut terurai, jatuh
mengombak. Kulitnya yang telah melegam dibakar matahari, tampak licin
mengkilap. Lalu baju putih kumalnya musnah, berganti daster bunga berwarna biru
cerah.
Siapakah gerangan yang telah merawatnya?
Jika itu adalah sosok manusia yang berhati besar, mau
mempercantik sang perempuan yang hidup terluntah di jalan dengan pikirannya
yang kosong, lalu, mengapa dilepaskan kembali?
Pertanyaan-pertanyaan itu tercekat di hatiku. Ada suatu
kejanggalan tersungging di sana.
***
Semangkok bakso hampir bersih karena kulahap isinya. Ini
adalah jam istirahat para karyawan. Semua tengah asyik bercengkrama dengan
rekan sejawat. Namun tidak denganku, yang justru lebih tertarik dengan sosok
perempuan yang berdiri menyendiri di samping pohon pinang, tak jauh dari tempat
kami makan.
“Kau lihat perempuan itu, Sus. Sebentar lagi dia akan
melahirkan.” Pak Sarip si tukang mie ayam tiba-tiba membisikkan kalimat di
sampingku.
Memang benar, perutnya yang membuntal itu semakin besar.
Sudah hampir menetas.
“Mesak’e, kuwi kerjaannya si tukang-tukang becak iku, Dek Sus.” Kali ini Pak Darwan yang
menyelah. Lelaki empatpuluh tahun itu sepertinya paham benar dengan kisah pahit
sang perempuan.
“Gitu kok tega yo,
Pak? Kasihan,” jawabku.
“Ngunu kuwi dudu
manungso, Dek Sus. Mereka binatang.”
Benar, manusia berhati binatang tepatnya.
Ah, wahai engkau perempuan gila, ke arah manakah kelak
jabang bayimu itu kau bawa? Apakah masih ada sanak saudara yang memperdulikan
setiap jengkal hidup matimu? Ataukah mereka tengah berpura buta, apa memang
hatinya telah mati rasa padamu?
Begitulah. Pikiranku hanya bisa kembali mendarat pada
kata entah. Hanya bisa mendecap doa setiap kali bersujud pada kaki-Nya, agar
kebaikan datang kepadamu, hai perempuan gila.
***
Aku ingin menjadi
burung kenari yang terbang menjajah sang bumi. Menghilangkan derita gila yang
mencekik leherku...
Atau menjadi senja
kesumba yang menggagahi alam. Datang tanpa suara, pun pergi tanpa sisa, dilumat
gulita malam yang hitam pekat...
Bisa juga kuharap
berubah menjelma reranting pohon, bergelantungan tanpa arti. Menjadi dedaunan
rimbun, atau mungkin kelopak bunga sono yang kuning kecil-kecil, jatuh
diterbangkan angin, melepaskan segala sengguk pada kuasa-Nya...
Apakah kau ijinkan,
wahai Tuhan, kepada perempuan yang dianggap gila ini?
Hah, padahal aku tak
pernah jatuh pada kegilaan. Hanya sedang mengembara pada duniaku sendiri. Dan
mereka tidak pernah tahu tentang ciak miak alam pikiranku yang telah
bertingkat-tingkat lebih tinggi dari peradaban mereka...
Nda, 110314
( salah satu cerpen dalam buku antologi yang sedang saya godok dengan hati, Bismillah...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar