Hujan tengah menjajah tanah bumi. Sambil menenteng ransel kucelnya, Budi
berlari melesat. Jejakan kakinya menyibak genangan-genangan air di tanah becek,
menghasilkan bunyi merdu, seirama dengan denting sang hujan.
Entah sudah berapa kali pemuda kecil ini menggigil kedinginan. Tetapi basah
dan dingin tidak sekalipun dihiraukan. Bukan itu yang tengah dipikirkan Budi.
Tujuannya hanya ingin segera pulang, bertemu sang adik, dan memberikan hadiah
kejutan untuk dia.
“Dek Marno! Dek Marno!” teriak Budi ketika sudah sampai di depan pintu
rumah.
Emak datang tergopoh dari dalam, kaget dengan teriakan Budi. Alisnya
terlihat mengkerut tajam. Terbesit sedikit kekhawatiran dari raut wajah
perempuan paruh baya itu.
“Eneng opo toh, Bud? Kok pakai teriak segala.” tanya Emak.
“Dek Marno ke mana, Mak?”
“Itu lagi tidur di kamar. Memangnya ada apa kok nyari-nyari adikmu, le?”
Binar wajah Budi sangat ceria. Hatinya sungguh gembira. Janji kepada sang
adik sudah terpenuhi. Pelan-pelan dia membuka penutup ransel yang sudah
berkarat. Memang harus hati-hati, karena jika tidak bisa-bisa resleting tua itu
rusak.
“Ini Mak,” Budi mengambil bungkusan plastik hitam dari dalam ransel lalu
menyerahkannya pada Emak, “ini buku tulis sama pensil untuk dek Marno. Sudah seminggu
ini dia merengek minta dibelikan. Bukunya yang lama sudah habis.”
Melihat itu Emak jadi terharu. Mata tuanya mulai berkaca-kaca.
“Tenang Mak, ini uang yang Budi tabung sendiri. Bukan uang hasil jualan
koran dan bantu-bantu di pasar tadi.” Budi merogoh ranselnya kembali. Kali ini
dia mengambil sekumpulan uang yang dibungkus ke dalam plastik bening. “Nah,
kalau ini uang hasil kerja Budi hari ini, Mak.” katanya sambil tersenyum.
“Owala, le. Hatimu sungguh apik tenan.”
Emak memeluk Budi. Tangisannya pecah. Terisak-isak di bahu kecil anak sulungnya
yang baru berumur duabelas tahun itu.
Budi memang masih sangat belia. Tapi di dalam keluarga ini, sekarang dialah
yang menjadi tulang punggung keluarga. Apapun dia kerjakan untuk mendapatkan
uang. Bahkan, sebelum fajar menyingsing, Budi sudah berangkat ke pasar, bekerja
sebagai buruh angkut.
Ironis memang. Dalam usia yang masih pantas untuk mengenyam pendidikan
sekolah itu, Budi harus rela mengalah berhenti dan memilih bertarung dengan
kehidupan.
Mau bagaimana lagi? Karena jika tidak demikian, Emak, Marno dan Diah si
bungsu, tidak akan bisa hidup. Lalu, kemanakah si Bapak?
Banyak tetangga bercerita pada Budi, Bapak lari dengan perempuan lain.
Gadis muda dari gang sebelah, yang bekerja di cafe remang-remang. Tetapi Emak
lebih bijak lagi.
“Bapak tidak seburuk itu, le. Jadi jangan kau benci dirinya. Bapak hanya
sedang tersesat saja. Berdoalah kepada Allah, agar kelak dia bisa menemukan
kembali jalan pulang.”
Tetapi kalimat itu sudah satu tahun yang lalu dilontarkan Emak. Sekarang,
bukah hal utama lagi kemana Bapak pergi dan kapankah dia akan pulang. Yang
penting, Budi harus bekerja mencari uang demi sekolah Marno dan demi dapur
Emak.
***
Marno menatap kakaknya lamat-lamat. Sesuatu tengah menggelitik pikirannya.
Apa itu? Marno hanya tersenyum-senyum kecil, tampak sekali dia sedang bahagia.
Entah, apa yang sedang ada di hati Marno.
“Mas.”
“Apa?”
“Marno sayang sekali sama mas Budi.” Jawab Marno sambil senyum lebar,
memperlihatkan deretan giginya yang berlubang.
Mulut Budi sedikit terbuka karena heran mendengar ucapan Marno. Wah, tumben
sekali adiknya yang masih duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar itu berkata
hal-hal manis. Padahal biasanya hanya bisa merengek dan menangis minta ini itu.
“Sudah, jangan ngomong yang aneh-aneh. Ayo, mana pekerjaan rumahmu?” sahut
Budi yang sebenarnya sedang sedikit tersipu malu.
“Mas Budi ini sebenarnya pintar. Mengapa tidak melanjutkan sekolah saja?”
“Uang dari mana? Apa kamu mau menggantikan mas mencari uang, nanti mas yang
sekolah, gimana?”
Marno memajukan bibirnya. Budi tertawa sambil mengacak-acak rambut adiknya
yang mulai merajuk itu.
“Sudahlah, dengan menemani kamu belajar seperti sekarang, mas Budi juga
sedang ikut belajar. Gak usah kuatir mas nanti jadi lelaki yang bodoh, mas ini
pinter kok. Kalau di pasar, atau lagi jualan koran, aku masih sering baca-baca.
Bisa dibilang itu nambah ilmu juga toh?”
“Jika seandainya mas punya kesempatan untuk sekolah lagi, apa mas mau?”
“Wah, ya jelas mau. Sekolah itu penting sekali, buat bekal masa depan.”
Marno tersenyum melihat kakaknya menjawab dengan penuh semangat. “Ya udah
mas, kalau begitu, ayo belajar bareng Marno. Nanti kalau ada yang tidak
diketahui, tanyakan saja sama Marno ya.”
“Sombong sekali kamu.”
Mereka berdua tertawa. Emak yang melihat dan mengikuti percakapan mereka
sedari tadipun juga ikut tersenyum. Bangga dengan mereka berdua. Kakak beradik
yang saling kasih mengasihi.
***
Kertas-kertas dokumen berserakan di sebuah meja. Seorang wanita berkerudung
coklat tengah asik membaca kertas-kertas itu satu persatu. Diamati
perlahan-lahan. Tidak lama kemudian, diraihnya sebuah ponsel hitam. Jari
jemarinya yang lentik mulai asik menari di atas tombol-tombol kecil ponsel.
“Assalamu’alaikum. Bisa disambungkan kepada kepala sekolah SDN Petegan?”
***
Fajar hampir menampakan muka. Di bawah deras hujan yang garang, Budi tengah
hilir mudik mengangkut karung-karung berisi sayuran. Tubuh kecil Budi yang
kurus nan ringkih harus berjuang dari rasa dingin dan bertahan dari beban
berat. Sesekali dia berhenti mengusap air hujan yang menggantung di bulu mata.
Berat sekali hari ini. Tetapi semangat Budi tidak kendor. Teringat akan
tagihan dari si tukang sayur langganan Emak, Mpok Dilla. Sudah tiga hari ini
dia menagih hutang ke Emak.
Ah, tanggung jawab di pundak Budi semakin bertumpuk saja.
Beberapa menit kemudian, Budi akhirnya bisa rehat. Duduk di lantai sebuah
toko yang masih tutup, sambil mereguk sebotol air putih untuk menuntaskan
dahaganya. Setelah dirasa cukup membasahi tenggorokan, Budi bergegas meraih
ransel yang sedari tadi digantung di dinding toko. Diambilnya sebuah buku tebal
dan sebuah bolpoin hitam dari dalam ransel. Sambil menyandarkan tubuh pada
dinding toko, Budi serius melahap isi buku.
Itu adalah buku pelajaran untuk kelas tujuh. Dibeli Budi di loakan. Memang
demikianlah si Budi, tidak pernah berhenti semangat untuk belajar. Bagi
dirinya, bolehlah jika dia harus mengalah untuk putus sekolah demi keluarganya,
tetapi kata semangat untuk belajar adalah sesuatu yang tidak boleh terhenti
begitu saja hanya karena ketidakmampuan.
***
Hari sudah menjelang sore. Budi bergegas pulang. Baju yang basah terguyur
hujan tadi pagi kini sudah kering karena berjemur di terik matahari yang
menyengat untuk menjajahkan koran.
Begitu Budi membuka pintu pagar bambu dan meletakan sandal jepit bututnya
di lantai, Emak langsung menyambut dengan wajah berseri-seri. Bola-bola matanya
berair. Tampak seperti baru saja ada yang tumpah dari sana.
“Le, le.” Emak tergagap. Suaranya agar sedikit parau.
Budi heran, alis kecilnya mengkerut. “Ada apa, Mak?” tanyanya. Tetapi Emak
yang ditanya tidak segera menjawab. Entah karena tidak tahu hendak berkata apa
atau memang tidak mampu mulutnya bersuara. Dalam diamnya, Emak meraih tubuh
Budi dan memeluknya erat-erat.
Emak menangis. Terbenam dalam seguk-seguk yang serak. Dan tentu saja,
membuat si sulung Budi menjadi kelabakan. Ada apa dengan sang Emak?
“Oh ini ya yang bernama Budi.” Seorang wanita berkerudung tiba-tiba muncul
dari dalam rumah, tersenyum pada Budi.
Loh, siapa ya wanita itu? Mulut Budi terbuka lebar. Semakin heran dengan
apa yang sedang terjadi di rumahnya.
Adegan peluk dan tangis Emak reda. Semua akhirnya masuk kembali ke dalam
rumah dan melanjutkan perbincangan. Setelah dijelaskan dengan gamblang,
akhirnya jelas sudah, tentang siapa wanita berwajah ramah itu, juga sebuah
alasan mengapa Emak menangis seperti sedang kehilangan seorang suami.
Wanita itu adalah ketua pengurus dari Al-Khaafah. Sebuah yayasan yang peduli
dengan pendidikan anak usia sekolah. Mereka mencari anak-anak yang putus
sekolah dikarenakan faktor kemiskinan. Target utama adalah dusun-dusun
terpencil. Seperti dusun Petegan tempat tinggal keluarga Budi ini.
Kepala Budi berputar-putar mendengar cerita wanita itu. Bukan karena pusing
atau hal lain, tetapi karena terlalu gembira.
Benarkah apa yang dia dengar saat ini? Budi akan bersekolah lagi? Gratis?
Hingga jenjang Sekolah Menengah Atas?
Mimpikah? Bahkan cita-cita yang takut untuk diimpikannya itu sudah ada di
depan mata! Lalu bagaimana dia harus berlaku sekarang? Berteriak? Menangis?
Budi hanya diam. Kaku, dengan muka yang tersipu. Ada gembira, haru juga
perasaan yang entah harus bagaimana.
Nda, 290314
Tidak ada komentar:
Posting Komentar