“Aku ingin bepergian
seorang diri, Ren. Bolehkah? Aku sedang ingin sendiri.”
“Mengapa?”
“Aku sedang limbung.
Maafkan aku. Ada hal yang sedang membuatku ragu.”
“Apa yang sedang tak
kau yakini, Van? Tentang pernikahan kita? Atau.. mungkinkah ada wanita lain di
hatimu?”
“Tidak, bukan wanita. Sedikit,
tetapi bukan itu, Ren.”
“Lalu apa?”
“Maaf, Ren. Aku belum
bisa bilang sama kamu. Beri aku waktu.”
Sekejab kau mendengus,
kulihat sekilat kecewa di matamu. Kau yang ceria dan berapi-api kini redup dan
membiru. Mungkin ada begitu banyak pertanyaan yang ingin kau buncah, namun kau
tahu bukan saatnya untuk melanjutkan percakapan kita malam ini.
Belum..
“Sabar ya, Ren. Aku
hanya butuh waktu untuk berpikir.”
***
“Kamu menikah sudah
berapa tahun? Lalu mana hasilnya? Ibu ini sudah tua, sudah kangen menimang
cucu. Sedangkan kamu anak lelaki Ibu satu-satunya. Jika sampai sekarang Irene
belum juga hamil, lebih baik kamu..”
“Ibu.. tolong jangan
menyudutkan aku dong.”
“Bukan begitu maksud
Ibu, Van. Ibu juga sayang sama menantu Ibu, tetapi ini beda perkara. Jangan
sampai garis keturunan keluarga kita terputus di rahim Irene.”
Kuteguk kopi di
cangkir putih yang telah menghangat. Sudah kuduga suatu saat Ibu akan berbicara
tentang ini. Dan aku, takkan sanggup jika harus dipaksa memilih antara Ibu atau
Irene.
“Le, bagaimana jika
besok Ibu meninggal dan kau belum bisa memenuhi permintaan Ibu?”
“Jangan berkata
seperti itu, Bu. Perkataan itu adalah sebuah doa.”
Kugenggam tangan Ibu
yang sudah mengkeriput karena dilahap usia. Jemarinya dingin. Penyakit jantung
Ibu sudah semakin beranak pinak di tubuhnya. Membuat tubuh itu makin kurus. Sari
pati kehidupan Ibu, hampir mengering.
“Bu, Ivan dan Irene
sudah berusaha semaksimal mungkin. Apapun sudah kami coba, namun Tuhan masih
berkendak lain. Tolong, mengertilah, jangan paksa aku harus memilih di antara
kalian.”
Ibu menarik lengannya.
“Kamu ini,” desisnya sambil melengos, “ternyata kamu lebih senang menjadi anak
yang durhaka dari pada berbakti pada Ibumu.”
“Ibu..”
Wanita yang telah
melahirkanku duapuluh delapan tahun lalu itu membisu. Matanya bahkan sudah
tidak mau lagi menatap raut wajahku yang kebingungan, karena tak tahu hendak
berkata apalagi.
***
Kesiur sang bayu
membangunkanku dari sang lelap. Sebongkah kabut mengambang di antara para samun
yang tengah tertidur. Kuangkat tubuhku bangun dari sadai. Lalu memecah suara
hening yang bergantungan di pucuk-pucuk daun jati, dan menyibak arah pandang ke
penjuru hutan.
Ini tempat kenanganku
bersama Irene. Hutan Pare-pare. Di sinilah aku berteduh dari dunia yang tengah
mengancam cinta kami. Berkemah, seorang diri. Mencoba mencari penyelesaian dari
masalah yang beberapa hari ini mengendap di pikiranku.
Empat tahun lebih
pernikahanku dengan Irena hampa tanpa diwarnai kehadiran seorang anak. Dan Ibu
yang merasa hampir habis masa hidupnya di dunia, tengah menuntut kehadiran bayi
kecil, secepatnya. Jika Irene tak mampu memberi, Ibu memintaku mendapatkannya
dari wanita lain.
Itu artinya, aku harus
menikah lagi. Dan aku tak sanggup melakukannya.
Irene memang wanita
yang kuat, namun bukanlah hakku untuk menghancurkan mimpi indahnya tentang
sebuah pernikahan sekali seumur hidup, dan tidak akan pernah ada orang ketiga
di antara kami.
Tetapi, Ibu juga
adalah nafasku. Namun..
Ah, aku ingin
menghilang saja. Sungguh, aku takkan sanggup menolak permintaan Ibu. Adakah,
siapapun di sana, yang bisa membantuku terlepas dari beban berat ini?
Aku teramat lelah.
***
“Mas..”
“Mas Ivan, bangun.
Sudah pagi.”
Aku terbelalak. Irene
tiba-tiba sudah ada di hadapanku. Bagaimana mungkin?
“Irene?” tanyaku,
“bagaimana kamu tahu aku ada di sini?”
Irene menyambut
pertanyaanku dengan sebuah senyuman, “kamu ini bagaimana? Bukankah aku ini
istrimu. Jelaslah aku tahu di mana kamu saat sedang gundah seperti saat ini.”
Kuraih tubuh Irene dan
langsung memeluknya. “Aku kangen.”
“Kamu tak perlu takut
lagi untuk bercerita, semalam Ibu menelepon dan mengungkapkan semuanya.”
“Benarkah?”
Seketika kulepas
pelukanku, menatap mata jernih wanita ayu yang telah menjadi bagian hidupku
ini. “Lalu?” tanyaku penuh kecemasan.
“Mas, aku ini istrimu.
Itu artinya Ibu adalah ibuku juga. Apapun permintaan beliau itu adalah sebuah
amal bagi kita, anak-anaknya.”
“Kau..?”
Irene menganggukkan
kepalanya. “Aku memang tidak bisa memberikan keturunan untuk keluargamu, tetapi
bukan berarti aku tidak bisa memberikan sedikit hati demi kebahagiaan Ibu.
Menikahlah kau, Mas. Turuti permintaan Ibumu.”
“Irene..”
Degup sukmaku berlaju kencang. Jiwa cintaku
pada Irene semakin bergucang hebat. Dia benar-benar wanita yang luar biasa.
Irene sempurna.
Kupeluk tubuh Irene
kembali. Kini tubuh itu terasa semakin dingin. Bahkan lebih dingin dari box freezer berwarna merah maroon di
rumah kami. “Kau kedinginan?” bisikku padanya.
“Tidak. Bukankah
sekarang kau sudah membuatku hangat?”
“Tidak, sayang. Justru
kaulah yang membuat hatiku hangat.”
Irene semakin
mengeratkan pelukannya. Bahkan di saat dia menerima beban berat yang seharusnya
mampu mencabik hatinya menjadi keping-keping itu, Irene tidak tampak menangis
sedikitpun.
Ah, apakah benar aku
akan tega memperlakukan Irene yang berhati baik ini sejahat itu nanti.
Membiarkannya melihatku bergandengan tangan, bermesraan, bahkan bercinta dengan
wanita lain?
Tidak!
Jiwaku berontak. Aku bukanlah lelaki serendah itu!
Iya, benar. Aku adalah
suaminya. Hidupnya, jiwa dan perasaannya adalah tanggung jawabku untuk menjaga
itu semua. Benar, akulah yang memutuskan ke mana arah jalan kami.
“Ren, ayo kita lari
saja.”
Irene melepaskan
pelukan. Wajahnya tersirat rasa kejut akan perkataanku barusan. “Maksudmu?”
“Iya, kita lari. Pergi
jauh dari Ibu dan semuanya. Kita hidup sendiri, hanya berdua.”
“Mas Ivan..”
“Tidak, Ren. Aku tak
bisa melakukan permintaan Ibu dan membuat hatimu bernanah tiap malam. Aku
mencintaimu. Aku tak mau dengan wanita lain, hanya kamu Ren!”
Bulir bening Irene
meleleh. Majahnya yang sejak tadi datang begitu pucat, kini tersembul rona
merah di pipinya. Dia pun terisak-isak sambil menganggukan kepalanya.
Kulihat matahari mulai mengendap-endap di sela-sela daun
jati hutan Pare-pare. Melindapkan suara siulan burung yang tengah bercumbu
mencari betinanya. Kuraba surih hutan, menyibak samun-samun yang hampir kering
tak terjamah embun. Aku dan sosok Irene yang sedingin salju pucat di tengah
hutan perawan, melesat pergi, raib ditelan rerimbun pohon.
***
Irene tersedu-sedu
meratapi nasib di atas pembaringannya. Sudah ada kehendak ingin mengakhiri
kehidupannya yang kini telah hampa. Namun Irene tahu, bukan hanya dia yang akan
pergi. Tetapi juga setitik benih yang kini tengah mendekam di rahimnya yang
subur makmur itu.
Sudah dua purnama Ivan
dinyatakan hilang di hutan Pare-pare. Dan beberapa menit lalu, kabar
diketemukannya Ivan sudah sampai pada dirinya.
Ivan, diketemukan mati
dengan tubuh garing, dan dalam keadaan memeluk sebuah arca tua yang tertutupi
salur-salur nan rimbun. Tak seorang pun mengetahui mengapa jasad itu tersenyum
begitu bahagia sambil mendekap batu. Iya, tidak ada seorang pun yang tahu.
Lalu kini, sia-sia
sudah pengorbanan Irene demi mendapatkan benih lelaki lain, hanya untuk membuat
binar cerah di wajah Ivan kembali. Semua sudah tak berarti. Karena lelakinya
yang mandul itu, sudah takkan kembali lagi ke dalam pelukannya.
Untuk selamanya...
Nda, 010414
Tidak ada komentar:
Posting Komentar